29 Melebur

2.1K 60 3
                                    

Pagi hari saat Erwin sedang duduk di ruang makan, pintu kamarnya akhirnya terbuka setelah semalaman terkunci dari dalam. Zara keluar masih memakai baju yang sama dengan yang terakhir kali dia kenakan. Membuat Erwin tahu kalau perempuan itu bahkan tidak berselera untuk mandi atau ganti baju.

Turun dari tangga, perempuan itu melenggang ke ruang depan, melewati ruang makan tanpa menoleh sedikit pun. "Buka pintunya!" Zara berdiri menantang dua penjaga yang bersiaga di depan pintu utama. Menghadangnya.

Dua penjaga itu masih bergeming selama beberapa saat sampai pandangan keduanya jatuh pada sesuatu di belakang tubuh Zara. Aura yang dominan itu, Zara mengenalinya.

Saat dua penjaga itu akhirnya menyingkir dari pintu, Erwin berganti menghadang langkah Zara sebelum Zara benar-benar bisa keluar. "Mau ke mana kamu?"

Zara menatap suaminya tanpa berniat menjawab. Semua rasa kecewa akibat pengkhianatan seolah terpancar jelas dari matanya, dan Erwin bisa merasakan seolah tatapan itu bisa menghunuskan pedang pada jantungnya kapan saja.

Sebenci itukah Zara pada Erwin?

"Jawab aku, Zara, mau pergi ke mana kamu?"

Karena setelah sekian saat tidak mendapat jawaban juga, Erwin akhirnya berjalan mendekati istrinya. Memegang salah satu lengannya dan memaksa perempuan di hadapannya itu untuk tidak membuang muka, agar menatapnya dengan benar. "Zara, jawab aku!"

Zara menyentak lengannya hingga pegangan Erwin terlepas. "Semua orang membohongiku dengan sempurna." Matanya masih perih, dan menangis di pagi buta seperti ini jelas akan membuat keadaannya makin tidak enak. Badan Zara lemas berkat tidak makan dan tidak tidur semalaman penuh. Zara bahkan tidak mengonsumsi minuman satu gelas pun. Namun, perempuan itu lebih fokus memikirkan hal lain ketimbang keadaannya saat ini.

Mendengar penuturan Zara, waktu di sekitar Erwin seolah membeku. Menjebaknya dalam dimensi lain yang hanya diisi dirinya dengan Zara dan seluruh kebencian perempuan itu terhadapnya. Erwin berusaha menyingkap kabut di antara keduanya, "Aku tidak perlu menjelaskan apa pun. Semua yang kamu dengar dari orang itu adalah benar, tapi Zara, dengarkan aku sekali saja. Aku memang menikahimu demi mendapatkan segala hal yang kuinginkan selama ini. Agar aku bisa mengusir orang-orang yang seharusnya memang tidak masuk ke kehidupanku sejak awal."

"Benar, 'kan?" Zara menginterupsi perkataan Erwin. "Semua orang, semua orang menipuku dengan hebatnya. Bahkan, suamiku sendiri. Satu-satunya orang yang bisa kuharapkan. Setelah semua yang terjadi aku berusaha untuk memercayaimu. Sekali saja. Sekali lagi, aku ingin percaya kalau aku bisa merubah Mas Erwin, bahwa pernikahan ini suatu saat nanti akan menemukan titik indahnya. Namun, aku salah. Apalagi yang bisa kuharapkan dari orang seperti kalian?" semua sekat yang dari dulu menghalanginya dari Erwin, kini kembali hadir dalam bentuk yang lebih gagah. Seolah tidak akan terbantahkan, tidak terpatahkan oleh apa pun juga.

Erwin menarik napas. Mencoba agar tidak kehilangan kendali. "Katakan padaku apa yang bisa kulakukan agar kamu tetap berada di sini sampai aku mendapatkan apa yang kumau."

Zara tertawa hambar, pahit dan sakit di hatinya tidak lagi bisa dibendung sekarang. "Lebih baik aku mati daripada harus berhubungan dengan orang sepertimu."

Tidak ada yang lebih paham bagaimana temperamentalnya Erwin, selain Sanji dan Zeff. Dua orang yang tengah berdiri di belakang Erwin itu tampak menghela napas pelan. Menyayangkan sikap Zara yang keras kepala. Terkadang pendirian perempuan itu membuat Sanji sempat merasa takjub. Namun, hal itu tidak berarti di hadapan Erwin. Hal seperti itu seharusnya tidak ditunjukkan pada orang bernama Erwin.

"Lagi-lagi ..." Erwin menutup wajahnya dengan satu tangan. Sementara satu tangan lain berada di pinggang. Gestur yang seolah menjelaskan betapa frustrasinya dia saat ini. "Lagi-lagi sikap keras kepalamu itu. Kenapa kamu selalu membuatku harus bertindak kejam, Zara?"

Iridescent (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang