Zara terbangun di kamar Erwin. Tubuhnya tertutup selimut sampai batas dada. Sepatu yang tadi dikenakannya sudah menghilang entah ke mana.
Perempuan itu bangun, terduduk. Mengecek jam dinding di samping kanan tempat tidur. Pukul tiga dini hari? Berapa lama Zara terlelap?
Sofa kosong, kamar mandi juga sepertinya tidak sedang digunakan oleh siapa pun. Ke mana Erwin?
Perempuan itu bangkit dari ranjang, berjalan keluar kamar. Mengecek ruang kerja Erwin. Tidak ada tanda-tanda keberadaan suaminya di ruangan itu. Semua barang-barang yang ada di sana tertata rapi. Jelas tidak disentuh selama beberapa waktu terakhir.
Lampu lantai bawah juga mati. Sepertinya tidak ada orang di sana.
Zara hampir terlonjak ketika bahunya dipegang oleh seseorang dari arah belakang. Tubuhnya didorong untuk masuk ke ruang kerja Erwin yang masih terbuka. Kemudian, orang itu mendesak tubuh Zara hingga punggung Zara menempel dinding.
Pintu dikunci.
Satu tangan Erwin masih memegang lengan atas Zara, memastikan Zara untuk tidak menjauh dari jangkauannya sedikit pun. Sementara, satu tangannya yang lain bertumpu pada dinding di sebelah kepala Zara. Membuat Zara bersikap waspada. Tapi, karena Erwin hanya menatapnya tanpa melakukan apa pun, Zara akhirnya hanya diam dan membalas tatapan itu.
Napas Erwin yang menerpa wajah Zara terasa hangat dan lemah. Kedekatan di antara mereka membuat Zara bergidik. Tapi, pikirannya lebih fokus ke sesuatu yang lain. "Mas baik-baik saja?" tanyanya.
Lama tidak mendapat jawaban, Zara mengangkat tangan, berniat menyentuh wajah suaminya itu. Namun, Erwin segera mencekalnya. "Kamu melihat segalanya."
Dahi Zara mengerut.
Dengan rona frustrasi, Erwin bertanya, "Kejadian di lift itu ... apa yang kamu pikirkan tentangku, Zara?"
Entah mengapa suara Erwin terdengar gemetar. Dan wajahnya memelas dengan tidak berdaya. Matanya seolah ingin menumpahkan air mata, namun, ditahannya sedemikian rupa.
"Kamu sakit." Itu tidak terdengar seperti pertanyaan. Karena Zara jelas menyaksikan sendiri bagaimana keadaan Erwin saat itu. Dia tahu bahwa ada yang tidak beres dengan suaminya.
Erwin mendesahkan napas panjang, kemudian menjatuhkan sikunya bertumpu pada dinding. Membuat jarak antara dia dan Zara semakin terkikis. Membuat Zara mengencangkan leher dan berusaha agar wajahnya tidak sampai menyentuh wajah Erwin.
Tunggu, Zara mencium aroma yang aneh. Apa Erwin minum?
"Mas?"
Terdengar helaan napas kasar lagi. Erwin menjauhkan wajahnya dengan tangan masih bertumpu pada dinding. "Kita cerai saja."
***
Berhari-hari, Erwin tidak pulang. Entah menginap di kantor atau hotel, Zara tidak tahu. Pria itu tidak mau berbicara dengannya sama sekali. Bahkan, saat harus berpapasan di kantor, Erwin seolah tidak sudi memandang Zara.
Entah apa yang terjadi.
Sejak kejadian di lift itu, sikap Erwin berubah 180 derajat. Tidak ada lagi obrolan ringan. Bahkan, Zara tidak pernah lagi dipanggil masuk ke ruangan pribadi suaminya itu. Saat ada berkas yang harus dia serahkan, Zeff yang akan mengambil berkas itu sebelum Zara menyerahkannya ke Erwin. Semua rapat dan kegiatan lain yang dihadiri Erwin, yang biasanya ditemani oleh Zara, kini tergantikan oleh Shakira.
Zara muak. Dia benar-benar tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Apa salahnya kali ini?
Sampai suatu hari, Zara memutuskan untuk memastikan sendiri kenapa Erwin mengacuhkannya. Zara nekat masuk ke ruangan Erwin saat Zeff sedang tidak ada. Membawa sebuah berkas sebagai alasan.
Erwin tampak duduk di kursi kebesarannya. Di balik punggungnya, gedung-gedung pencakar langit bercokol seperti sekumpulan pencagak tanamam tomat di persawahan. Di hadapannya, berkas-berkas bertumpukan. Memenuhi meja panjang itu selayak santapan sehari-hari.
Menyadari kehadiran seseorang, mata Erwin yang tadi fokus pada notebook-nya, beralih memandang ke arah pintu. Menemukan Zara tengah berjalan perlahan menuju mejanya.
Jelas sekali kehadiran Zara tidak diinginkan. Terlihat dari reaksi Erwin yang langsung membuang muka.
"Ini berkas hasil meeting kemarin. Shakira memintaku untuk menyerahkannya padamu."
"Letakkan di situ."
Zara meletakkan berkas itu ke atas meja. Memperhatikan Erwin yang sibuk dengan kegiatannya sendiri. Kacamata menggantung di cekung hidungnya. Terlihat jelas, lelah dan pusing bercampur menjadi satu.
Melihat Zara malah terdiam di tempatnya berdiri, Erwin tampak terganggu. "Ada yang mau kau bicarakan?"
Zara mengulum bibir. "Soal perceraian ..."
"Aku akan mengurus hal itu secepatnya. Kau tinggal tunggu saja." Erwin membenarkan letak kacamatanya. "Pergilah jika urusanmu sudah selesai."
Zara tidak serta-merta menuruti perintah Erwin. Perempuan itu masih bergeming memperhatikan suaminya menyibukkan diri dengan berkas-berkas demi menghindari percakapan dengannya. "Bukan itu yang ingin kutanyakan."
"Lalu, apa? Jangan lupa kau di sini bekerja. Aku tidak mau memberimu gaji buta hanya karena kau adalah istriku. Jangan buang-buang waktu."
"Kenapa kau tiba-tiba ingin bercerai."
Erwin menegakkan kepala. "Bukankah itu yang kau inginkan sejak awal?"
Ya, Zara memang ingin berpisah dengan Erwin secepat mungkin. Tapi, Erwin selalu marah saat Zara mengatakan akan bercerai sebelumnya. Sekarang dia sendiri yang ingin berpisah. Tidakkah Zara pantas untuk merasa heran?
"Kamu yang bilang mau meminta keturunan dariku dan tidak akan melepaskanku sampai hal itu terjadi. Kenapa tiba-tiba ingin bercerai?"
Dengan mata menyipit, perhatiannya kembali berpulang pada Zara. "Kamu siap memberikan aku keturunan?"
Zara mengerjap. "Bukan begitu. Aku hanya ingin bertanya."
Sepertinya tidak akan pernah ada kata siap dalam pikiran Zara untuk hal itu. Jelas karena tidak peduli apa pun yang terjadi, sikap Erwin tidak akan berubah. Hanya keajaiban yang bisa membuat pria itu mau menerima dan mencintai Zara.
Bahkan, kalau Zara memberinya anak, seperti apa yang Erwin inginkan, pada akhirnya Zara akan diusir juga. Mereka memang tidak akan pernah bisa menjalin hubungan selayaknya pasangan suami istri.
"Pergilah, Zara. Aku sedang sibuk. Kau menganggu."
"Tapi, Mas ..."
Erwin mencopot kacamatanya dan meletakkannya di meja dengan kasar. Membuat Zara langsung menutup mulut. Pria itu berdiri dari duduknya. Menghampiri Zara, sekonyong-konyong mengangkat tubuh Zara dan mendudukkannya di meja. Kedua tangan Erwin berpegangan pada sisi meja di antara kedua kaki Zara. Membuat Zara tidak bisa berkutik. Zara langsung bersiaga.
"Kenapa kau keras kepala sekali?" Erwin berkata lirih. "Kau benar-benar merepotkanku."
Erwin menegakkan kepala. Satu tangannya terangkat, menyelipkan rambut Zara, dan menelusup ke tengkuk perempuan itu. Zara kembali mengerjap saat wajah Erwin mendekat. Apa dia berusaha untuk mencium Zara? Tapi, kenapa?
Zara mendorong tubuh Erwin pelan. Cukup untuk menghentikan pria itu sebelum dia benar-benar melakukan apa yang ingin dilakukannya. "Baiklah, ayo bercerai."
Ini adalah kesempatan emas, bukan? Zara tidak perlu bersusah payah meminta cerai. Erwin sendiri yang akan menceraikannya. Harusnya Zara diam saja dan menerima, bukannya bertanya.
Erwin menegakkan tubuhnya. Menurunkan Zara dari meja dan kembali duduk di kursinya.
"Akan kubawa surat ceraianya nanti malam."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
Literatura FemininaPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...