17 Trapped

2K 82 0
                                    



"Kabur?" Erwin yang baru keluar ruang meeting langsung meninggikan suaranya, "bagaimana dia bisa kabur?" tangan Erwin mengepal. "Cari dia sekarang juga. Bawa yang lain, minta bantuan siapa pun. Aku tidak mau kehilangan Zara."

"Akan segera kucari." Sanji di seberang sana menjawab.

Sambungan telepon diputuskan sepihak. Erwin menyerahkan ponselnya kembali pada Zeff. "Kita cari Zara."

"Tapi, sebentar lagi ada meeting ..." Zeff langsung menutup mulut saat Erwin menatapnya dengan tajam.

"Kalau begitu, kau yang hadiri pertemuan itu. Aku akan mencari Zara."

***

"Kamu yakin mau nginap di situ?"

Zara meletakkan ponselnya bersandar botol air mineral di atas meja. "Aku nggak bisa balik ke rumah ayahku."

Tinggal di apartemen jauh lebih baik ketimbang mendatangi ayahnya. Toh, tempat ini adalah tempatnya dulu tinggal saat masih bekerja, yang untungnya, belum ditempati orang lain. Jadi, kenapa tidak? Daripada kembali ke rumah Erwin.

Apartemen ini cukup nyaman meski tidak semewah rumah Erwin. Meski persediaan makan tidak sepenuh isi kulkas di wastu keluarga Sanders. Juga, tidak ada seorang pelayan pun yang akan melayaninya. Tapi, ini jelas opsi yang paling tepat.

Zara tidak mau menyusahkan Arin atau orang lain lagi. Dia harus berusaha menghindar sendirian. Menumpang di tempat orang lain pasti akan sangat menyusahkan. Zara takut kalau Erwin akan menyakiti orang yang telah membantu Zara. Makanya, Zara juga sudah mewanti-wanti Arin untuk berhati-hati. Karena kekuasaannya, Erwin bisa saja menculik Arin atau teman Zara yang lain. Karena itu, Zara memilih menggali nerakanya sendiri.

Kalau nanti Zara tertangkap, setidaknya, tidak ada orang lain yang akan terluka. Arin sudah cukup membantunya. Dia bahkan sampai mengirimkan Zara beberapa pakaian karena Zara keluar rumah Erwin tanpa membawa apa pun.

Jujur, Zara masih takut dengan sosok Erwin. Tapi, Zara juga harus mempersiapkan diri dengan konsekuensi apa pun yang akan diterimanya nanti.

"Lebih baik kamu pindah ke luar kota saja. Aku takut Mas Erwin nemuin keberadaan kamu, Zara. Kalau sampai hal itu benar terjadi, gimana? Mas Erwin pasti nggak akan maafin kamu, 'kan?" Arin mengeratkan pelukannya pada Milo. Mengelus-elus bulu cokelatnya. "Aku takut kamu diapa-apain."

Zara juga takut.

"Besok coba kupikirkan. Sekarang mending kamu tidur. Jangan lupa kunci semua pintu dan jendela. Waspada Arin. Aku takut sesuatu terjadi padamu."

"Iya, kamu juga hati-hati. Hubungi aku jika kamu butuh sesuatu."

Zara menjatuhkan badan ke sandaran sofa. Menghela napas berat. Kabur seperti ini bukan pertama kalinya bagi Zara. Tertangkap lebih mendominasi ingatannya. Membuat Zara tidak bisa berpikir jernih. Bayang-bayang ayahnya dan para pengawal itu menggerayangi kepalanya.

Andai ada tempat yang cukup aman untuk bersembunyi. Tapi, Zara tidak lagi punya tempat berpulang.

Merasakan kantuk, Zara memutuskan untuk membersihkan diri. Berjalan menuju kamar sembari membawa ponselnya. Melepas pakaiannya di depan kaki ranjang. Kemudian, menuju kamar mandi.

Air dingin malam-malam begini membuat rasa kantuknya seketika menghilang. Memang itu yang diinginkan Zara. Jujur saja, badan dan pikirannya lelah. Tidak habis-habis dunia ini bermain-main dengan kehidupannya.

Perempuan itu belum menyantap satu piring nasi pun sejak sarapan tadi. Perutnya lapar, tapi, otaknya lebih suka berdiam diri dan memikirkan tempat mana yang akan menjadi tujuannya untuk pergi besok. Malam ini, Zara berharap bisa tidur tenang sehingga besok dia bisa berpikir jernih.

Keluar dari kamar mandi, Zara tercekat saat melihat seseorang berada dalam kamarnya. Pria itu duduk di ranjang, memegang ponsel Zara. Mengutak-atik benda itu.

Zara sampai pusing saking terkejutnya.

"Aku kecewa ..." Erwin mengalihkan pandangannya dari ponsel Zara, berganti menatap perempuan yang masih anteng berdiri di depan kamar mandi dengan satu handuk membungkus tubuhnya itu. "Kau mudah sekali ditebak." Erwin meletakkan ponsel Zara ke atas ranjang dan berjalan menghampiri Zara. "Sudah puas bermain?"

Zara mundur, mengedarkam pandangan ke sekeliling kamarnya. Tidak ada benda apa pun di dekatnya. Tidak ada yang bisa Zara gunakan untuk melindungi diri. "Bagaimana Mas bisa masuk?" Zara sudah mengunci pintu depan tadi. Dan bagaimana Erwin tahu Zara berada di sini?

"Itu tidak penting." Erwin semakin mendekat. "Kenapa kamu kabur, Zara?"

"Mas tahu sendiri alasannya apa."

Erwin menutup matanya menggunakan satu tangan. Kemudian, menatap Zara dengan wajah memelas. "Karena aku memukulmu?"

Sama frustrasinya, Zara balas menatap mata yang malam ini kelihatan lelah itu. "Mas, aku benar-benar cuma memeriksa ruang kerja kamu karena ruangan itu terbuka. Aku tidak mengambil apa pun. Kamu pikir aku mau apa? Mencuri barang-barangmu? Hartamu?"

Pria itu menghela napas. "Pulang, Zara. Aku berjanji tidak akan menghukummu jika kamu ikut aku pulang sekarang."

"Tidak mau." Sambil memegangi simpul pada handuknya, Zara meneruskan ucapannya, "Mas bilang mau cerai. Kalau Mas terlalu sibuk mengurus surat-suratnya, aku bisa mengurusnya sendiri."

Zara menundukkan kepala saat melihat tangan Erwin terangkat. Apa lagi sekarang? Apa Erwin akan menamparnya?

Tidak ada yang terjadi setelah sekian detik. Zara membuka matanya dan menemukan Erwin telah berbalik. "Pulang atau aku benar-benar tidak akan mengampunimu. Bukan hanya kamu, Zara. Tapi, orang-orang yang kausayangi juga. Aku bisa membunuh ayahmu tanpa meninggalkan bukti."

"Mas Erwin!"

"Pakai bajumu. Aku tunggu di luar," pungkas Erwin, berlalu meninggalkan kamar Zara.

Perempuan itu berjongkok dan menutup mulut. Takut isakannya terdengar orang lain. Bagaimana sekarang? Dia benar-benar terjebak. Jika dia bersikap egois dengan tetap mencoba kabur, maka, ayahnya akan berada dalam bahaya. Zara tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi.

***

Iridescent (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang