Jakarta 2024. Satu tahun kemudian ...
Seolah bangkit dari kubur, Erwin kini duduk di kursi dalam dapur rumah Zara. Di samping stroller yang baru beberapa detik lalu Zara tinggalkan untuk mengecek ruang depan. "Apa yang harus kulakukan padamu?"
Kekhawatiran membuat darahnya berdesir dan kepalanya pusing. Zara berusaha terlihat tenang, tapi tidak bisa mengabaikan rasa frustrasi dalam dirinya yang membuat keringat menetes membasahi pelipis.
Erwin bukan hanya mengejutkannya dengan kenyataan bahwa pria itu masih hidup, tapi juga karena telah menemukan Zara dan berhasil masuk ke rumahnya.
Setelah sekian lama hidup dalam pengasingan, jauh dari orang-orang yang mengenalnya, juga menghindari kehidupan luar dengan mengurung diri di rumah ini, tidak heran jika Zara sulit memercayai apa yang dilihatnya sekarang. "Apa yang kauinginkan?"
Erwin tersenyum, Zara tidak berubah sama sekali. Sangat mudah memojokkan seseorang sepertinya. "Hubungi Danta," perintahnya.
Menghubungi Danta bukan soal sulit baginya, tapi Zara bahkan tidak pernah berbicara dengan pria itu sejak terakhir kali Danta mengirimnya ke rumah ini.
Memang Danta yang bertanggung jawab atas kebutuhan hidup Zara dan anaknya selama ini, tapi untuk menghubungi Danta secara mendadak, tidakkah pria itu akan curiga?
"Apa yang kautunggu, Zara?" Erwin menarik stroller itu mendekat. Meraih bayi yang tertidur lelap di sana, lalu menggendongnya.
Zara hampir saja berlari menerjang sebelum Erwin mengangkat satu tangan untuk menghentikannya.
Wajah bayi di gendongannya tampak sangat cantik dan lucu. Jelas tidak mirip Erwin. Bayi itu lebih mirip Zara. Dalam hati, Erwin memaki. Ia tersenyum tipis.
Namun, saat melihat mata dari bayi itu, Erwin seketika terdiam. Seolah melihat ada bagian dari dirinya yang dimiliki oleh anak yang dilahirkan Zara. Mata sipit dengan garis alis tebal, berwarna cokelat. Tidakkah itu adalah pancaran darinya? Mata yang indah itu ... Erwin sedikit merasa lega.
Nada sambung dari sebuah telepon genggam mengalihkan perhatian Erwin. Mengetahui panggilan itu diangkat, Erwin mengayunkan satu tangan, mengisyaratkan pada Zara agar mendekat.
Zara menurut, ia memberikan telepon itu kepada Erwin tanpa berkata apa pun.
"Ada apa, Zara?" Danta di seberang sana sedikit merasa terganggu. Zara seharusnya tahu kalau saat ini adalah jam kerja dan pekerja kantor mana pun tidak akan suka diganggu di waktu-waktu sibuk seperti ini.
Lagi pula, sejak kapan Zara berani menghubunginya?
"Bagaimana rasanya mencuri hidup orang lain?"
Danta terbelalak, waktu di sekitarnya seolah membeku dan berhenti berdetak. Suara yang dia dengar barusan jelas bukanlah suara yang yang akan ia harap muncul lagi di kehidupannya. Danta yakin telah membereskan segala hal. Termasuk membuang jasad Erwin.
Memastikan kalau Erwin benar-benar sudah mati.
Tunggu!
Bagaimana Danta bisa sebodoh ini sampai kecolongan?
"Bagaimana bisa kaumasih hidup?" aku yakin sudah membuang jasadmu ke tengah hutan agar binatang buas mana pun bisa mencabik-cabikmu sampai yang tersisa hanyalah tulang.
Ini yang membuat Erwin heran, Danta bisa mengumpulkan orang-orang di bawah kendalinya, tapi tidak pernah sekalipun dia berpikir bahwa orang yang menjadi bawahannya belum tentu akan seratus persen melakukan perintahnya tanpa berniat untuk berkhianat. Danta sangat mudah memercayai orang lain. Itu adalah kelemahannya.
"Secepatnya, aku akan mengambil apa yang memang adalah milikku." Sambungan telepon itu diputus secara sepihak. Erwin bahkan muak mendengar suara Danta.
Erwin menghampiri Zara yang masih bergeming di tempat yang sama.
Saat sudah berhadapan, Erwin menatap Zara dan bayinya secara bergantian. Kemudian, dengan suara pelan, dia bertanya, "Siapa namanya?"
Ada jeda selama sepersekian detik sebelum Zara menjawab, "Keenan."
Senyum tipis terlukis di wajahnya. "Cantik," celetuk Erwin. Ia menyerahkan bayi itu pada Zara, yang langsung diterima tanpa pikir panjang.
Meski ada begitu banyak pertanyaan yang muncul di benaknya, Zara memilih diam.
"Rumah ini cukup nyaman, aku mungkin akan kembali nanti malam. Siapkan kamar kosong untukku." Erwin melangkah menjauh, tapi sebelum dirinya benar-benar pergi, Erwin berkata, "masakkan sesuatu. Entah kapan terakhir kali aku memakan masakanmu. Aku jadi rindu," ungkapnya sembari menoleh ke arah Zara. Menyeringai hingga matanya tampak lebih sipit.
Seringai tipis itu membuat Zara melebarkan mata. Bertanya-tanya apakah yang dia lihat ini benar-benar Erwin yang dia kenal?
Rasanya Erwin tampak akrab dan asing secara bersamaan.
***
Allo, Guys, apa kabar?
Karena kalian minta extra part, ketimbang nerusin cerita di mana tokoh utamanya udah innalillahi, mending kita berhayal bagaimana kalau si tokoh itu masih hidup?
Menurutku ini bakalan lebih menarik. Bagaimana menurut kalian?
Oh, ya, latar waktunya aku ganti biar nggak ada plot hole. Hihi
Enjoy the story, Guys. Anggap ini sebagai prolog
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
ЧиклитPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...