*
*
*Part ini agak pendek karena aku lagi pusing mikir hidupku sendiri. Huhu ...
Semoga kalian suka.
Happy reading!
*
*
*Rintihan terdengar lirih di ruangan yang sudah setengah terang berkat cahaya dari jendela yang tirainya dibuka sedikit itu. Zara mencoba bangkit dari ranjang, namun, rasa sakit membuatnya nyaris tidak bisa bergerak. Punggungnya serasa mau remuk. Kulitnya perih. Zara tidak bisa menahan tangis.
Cambukan bertubi-tubi yang dia dapatkan malam kemarin membuat tubuhnya dipenuhi memar dan bercak darah. Sadar dirinya terbaring di kamar Erwin dalam posisi menelungkup, Zara segera berusaha untuk bangun.
Baju yang dia pakai kemarin malam teronggok di lantai, terkotori bercak kemerahan. Zara sendiri tertidur dengan hanya mengenakan pakaian dalam dan selimut yang menutupi tubuhnya. Zara menyentuh punggungnya dan kembali merintih. Apa lukanya separah itu sampai untuk bergerak saja rasanya susah?
Ah, ya Tuhan, rasanya seluruh tubuh Zara ingin hancur lebur.
Mendengar suara gagang pintu terbuka, Zara segera menarik selimut dan melingkarkannya ke seluruh tubuh.
Erwin berjalan masuk, behenti tepat di depan Zara. "Berbaringlah, aku akan memakaikan salep pada lukamu."
Jelas saja Zara memilih untuk menolak dan mengabaikannya. Bukan hanya tubuh, tapi, hatinya juga terluka. Erwin melakukan kekerasan terhadapnya. Dan ini sungguh keterlaluan.
"Zara, aku mohon, berbaring. Aku akan memakaikan salep pada lukamu agar lukamu cepat sembuh." Entah kenapa, suara Erwin terdengar putus asa.
Lagi, Zara memilih mengabaikannya dan melewati Erwin untuk menuju kamar mandi, namun, lengannya segera dicekal oleh pria itu.
"Lepas!" Zara menarik paksa dirinya, dan menjauh. Lalu, berbalik untuk kabur dari hadapan Erwin. Setidaknya dia bisa memiliki waktu sendiri di kamar mandi. Membersihkan lukanya atau menangis sepanjang hari.
"Zara ..."
Pintu kamar mandi ditutup, terdengar suara kunci terputar. Erwin mengusap wajah frustrasi. Kemudian, melempar salep yang tadi dipegangnya ke sembarang arah.
Terdengar suara keran air dinyalakan, namun, tidak cukup berisik untuk menyarukan suara tangis seseorang di dalam ruangan itu.
***
Sudah berjam-jam Zara diam di dalam kamar mandi. Erwin mondar-mandir di depan pintu dengan tidak sabar. Dia akui Zara terluka karenanya, namun, Erwin tak ayal merasa khawatir juga. Bagaimana kalau perempuan itu pingsan?
Erwin menggedor pintu itu. Tentu saja tidak ada sahutan. Tidak ada suara percikan air atau apa pun terdengar dari dalam. Membuat perasaan Erwin makin tidak keruan.
Dengan kakinya, Erwin menendang pintu kamar mandi dengan keras. Tiga kali percobaan, pintu itu baru mau terbuka. Erwin berlari menuju tengah ruangan. Zara tergelak di lantai dengan selimut masih melingkari tubuhnya.
Sigap, Erwin segera membopong tubuh istrinya itu keluar dari kamar mandi, meletakkannya di atas ranjang. "Zara." Erwin menepuk pipi perempuan itu. Namun, Zara sama sekali tidak terusik.
Erwin mengeluarkan ponsel. Menghubungi Sanji untuk segera memanggil dokter. Setelah teleponnya terputus, Erwin duduk di sebelah Zara. Menggenggam tangan istrinya yang dingin. Wajahnya pucat, dan bibirnya membiru.
"Bangun, Zara. Jangan seperti ini."
***
"Jangan bergerak dulu."
Zara tidak jadi merealisasikan keinginannya untuk duduk saat mendengar suara itu. Kembali memasrahkan tubuhnya pada kasur. "Mbak Devi sejak kapan di sini?"
"Erwin bilang kamu nggak enak badan, makanya aku disuruh jagain kamu. Dia harus pergi ke kantor." Devi mendudukkan bokongnya pada tepian ranjang, di samping Zara berbaring. "Udah enakan? Aku ambilin bubur dulu. Setelah itu akan kusiapkan obatmu."
Sebelum Zara sempat menjawab, Devi sudah lebih dulu pergi dari sisinya. Keluar dari kamar. Zara hanya bisa menghela napas berulang-ulang. Meyakinkan dirinya kalau semua kejadian yang terjadi sejak kemarin malam itu bukan mimpi buruk belaka. Punggungnya jelas masih perih sekarang.
Zara kembali menghela napas saat sadar kalau di satu punggung tangannya telah terpasangi infus.
Pernikahan ini salah, Zara tahu itu. Dan Erwin bukan seseorang yang bisa Zara beri kepercayaan. Erwin menyiksanya untuk alasan yang bahkan Zara sendiri tidak mengetahuinya. Apalagi alasan yang diperlukan Zara untuk menggugat suaminya itu?
Hubungannya dengan Erwin tidak akan pernah berjalan sesuai harapan. Erwin telah menunjukkan sifat aslinya. Zara memejamkan mata guna mengusir bayangan dirinya di ruang kerja Erwin, di depan rak, dicambuk berkali-kali. Suara ikat pinggang yang mengenai bajunya itu masih bisa Zara dengar dengan jelas.
Erwin adalah seorang monster.
***
"Sialan!" Erwin memukul mejanya dengan kepalan tangan.
"Nona Zara masuk ke ruangan Anda sepertinya karena melihat pintu ruang kerja Anda tidak terkunci." Zeff berasumsi.
Erwin menonton kembali rekaman CCTV dari layar iPad di genggamannya. Terlihat Dantalah yang membobol masuk ke dalam ruangannya. Memeriksa seluruh laci di meja kerjanya, bahkan, meneliti buku-buku yang terjejer dalam rak. "Danta, orang itu ..."
Saat Zara masuk, Danta bersembunyi di balik rak. Tidak sengaja menjatuhkan sebuah map, membuat isinya berantakan. Zara menghampiri sumber suara, namun, Danta kabur dari arah lain. Sialnya, Erwin datang terlambat. Erwin justru menangkap basah Zara yang sedang berusaha merapikan kertas-kertas yang berserakan di lantai itu.
"Sialan!" Erwin kembali mengumpat, karena hanya itu yang sanggup dia lakukan kini. Andai dia bisa mengontrol dirinya sendiri dan mendengar penjelasan Zara terlebih dahulu, maka, Erwin mungkin tidak akan melukai Zara sekejam itu.
"Apa yang akan kita lakukan padanya?"
Erwin menutup matanya, berusaha berpikir jernih. Dia tidak mau bertindak gegabah lagi. "Biarkan saja. Kita lihat seberapa jauh dia akan bertindak."
***
![](https://img.wattpad.com/cover/352290951-288-k587904.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
Chick-LitPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...