38 Tanda Tanya Besar

945 38 1
                                    

"Berhenti bicara omong kosong, lepaskan Zara!"

Napas Erwin semakin lama kian sesak. Entah karena lelah atau apa. Dia memegang dadanya. Erwin yakin dadanya tidak terkena pukulan tadi, hanya bagian tubuh lain, bukan termasuk bagian vital, jadi harusnya, cedera yang dia alami pun tidak terlalu parah.

"Hannah bilang dia ingin bertemu denganmu, karena itu aku mengajaknya ke sini." Danta berjalan ke samping Zara. "Dia sudah lama ingin bertemu denganmu." Ia bersitatap dengan Zara. Mengelus satu bahu perempuan yang kini memandangnya dengan kerutan di dahi itu.

Semakin Erwin mendekat, napasnya kian tidak beraturan. Seolah seluruh udara perlahan diambil dari teritorialnya. Bayangan kabut asap menyergap, membuat Erwin kesulitan bernapas.

"Tidakkah kau merindukan dia?" Danta berjalan mendekat. "Dia masih sering mengatakan ingin menikah denganmu." Dia tertawa mendengus. Merasa lucu sekaligus jijik. "Persis seperti dulu. Hannah yang mencintai Erwin."

Erwin tercekat. Kini napasnya benar-benar berhenti selama sepersekian detik. Bayangan wajah seorang gadis muncul dalam ingatannya. Sebuah suara mengalun lembut dari awang-awang. "Aku ingin tinggal denganmu, hanya denganmu, selamanya."

Tidak, itu bukanlah suara tanpa wajah. Suara itu berasal dari sang gadis yang dalam ingatannya tengah menatap Erwin dengan mata sayu. Erwin terjatuh, berlutut. Memegang dadanya yang sesak.

Sementara Danta hanya menyaksikannya tanpa berniat untuk melakukan apa pun. Zara ikut panik, dia berusaha melepaskan tali yang mengikat tubuhnya. Untung saja Danta tidak benar-benar mengikatnya, jadi Zara bisa segera mencapai Erwin. Menegakkan tubuh suaminya itu dan melihat kondisinya.

Erwin bisa menyaksikan Zara duduk di depannya. Bibir perempuan itu bergerak-gerak gusar, tangannya tidak kalah panik mencengkeram bahu Erwin. Namun, yang bisa Erwin dengar hanya bunyi, "Ngiing." yang memekakkan telinga.

"Mas Erwin!" Zara menangkup kedua pipi suaminya. Memaksa pria itu untuk menatapnya. "Bernapas! Bernapaslah!"

Kejadian ini persis seperti saat Erwin tiba-tiba pingsan di dalam lift dulu. Erwin sesak napas, bahkan jantungnya seolah berhenti berdetak selama sepersekian detik, lalu jatuh pingsan hanya karena lift yang mendadak berhenti.

Zara takut Erwin akan pingsan lagi. Dulu, dia bisa menyelamatkan Erwin dengan memberinya napas buatan. Zara tidak yakin apakah dia akan bisa menolongnya lagi.

Suara Zara samar-samar menyadarkannya. Erwin mengikuti instruksinya untuk mengingat bagaimana caranya bernapas.

Susah payah, Erwin mengambil napas dan mengeluarkannya. Mengikuti instruksi Zara.

Perlahan, keadaannya membaik. Sesak di dadanya berangsur menghilang. Namun, badannya jadi sangat lemah. Zara memeluknya erat. Hangat yang merengkuhnya membuat mata Erwin memberat.

"Bahkan di saat seperti ini pun, selalu saja ada seseorang di sampingmu." Danta tersenyum getir. Menyadari kalau dirinya telah salah dalam menganalisis situasi. Tidak peduli apa pun yang Zara katakan, nyatanya perempuan itu tetaplah istri Erwin.

"Sudah cukup!" Zara mendongak, menatap Danta sembari memohon.

Danta tertawa terbahak-bahak. Suaranya menggelegar dan terdengar sangat menakutkan. Membuat Zara merinding. Zara mendekap Erwin makin erat. Jika Danta kehilangan kendali dan berniat mencelakai Erwin, maka Erwin bisa terluka parah. Zara tidak mungkin bisa melawan Danta.

Tawanya berangsur mereda. Danta menghela napas samar. "Baiklah, karena kamu sendiri yang memintanya, Zara. Aku akan membiarkan kalian pergi kali ini." Danta berjalan menjauh, duduk di kursi yang tadi diduduki Zara.

Derap yang kian mendekat membuat Danta tersenyum miring. "Akhirnya datang juga. Para pengawal Erwin."

Sanji dan Zeff masuk, berjalan cepat menuju ke arah Danta. Zeff yang sudah tidak bisa menahan amarahnya langsung mencengkeram kerah baju Danta.

Namun, Zara segera melerai, "Jangan pedulikan dia. Bawa Mas Erwin keluar dari sini dulu. Dia membutuhkan pertolongan."

Danta melebarkan senyumnya. Membuat Zeff semakin ingin melayangkan pukulan sampai wajah itu berdarah dan tidak memiliki tenaga lagi untuk sekadar tersenyum. Namun, sekarang keselamatan Erwin lebih penting.

Mengabaikan Danta, Zeff dan Sanji membantu Erwin berdiri dan memapahnya keluar.

"Pada akhirnya, Erwin akan menjadikan semua orang sebagai pelayan. Bahkan temannya sekali pun." Danta menghela napas hingga mengeluarkan suara desahan yang terdengar seolah pria itu benar-benar lelah. "Kalau aku masih bersama kalian apa aku juga akan dijadikan sebagai pelayannya?" pria itu tertawa lagi.

Kali ini, Zeff benar-benar tidak bisa tinggal diam. Dia melepaskan Erwin dan menghampiri Danta, lalu memukul rahangnya. Danta tersungkur ke lantai. Zeff tidak memberinya ruang untuk mengoceh lagi. Kerah Danta ditarik dan dia dipaksa untuk menegakkan kepala. "Manusia sepertimu memang lebih cocok hidup sendiri. Lupakan kalau kita pernah berteman. Tidak ada gunanya meladeni orang sepertimu."

Zeff melepaskan cengekramannya dan bangkit. Sementara Danta masih dengan senyum yang seolah tidak ada habisnya, mengusap sudut bibirnya yang berdarah. "Kalian membela orang yang telah tega membunuh kakaknya sendiri. Lihat saja, suatu saat nanti, kalian sendiri yang akan dia bunuh. Cepat atau lambat, kalian akan menyadari kalau Erwin bukan korban dalam peristiwa itu. Hannah ..."

Langkah Zeff terhenti. Ia mematung di poros tempatnya berdiri.

"Dia adalah korban yang sebenarnya."

Suara debam yang cukup keras mengisi kesunyian ruangan itu tatkala Zeff memukul Danta sekali lagi dan mengakibatkan Danta tersungkur ke lantai. Kali ini, Zeff tidak berhenti di satu pukulan. Dia memukul Danta beberapa kali sampai Zara akhirnya turun tangan untuk menghentikannya. Zara menarik tangan Zeff untuk menjauh.

"Sudah cukup, aku mohon!" pinta Zara.

Wajah Danta penuh lebam. Pria itu tergeletak lemas, tapi masih sempat tersenyum seolah lukanya tidak berarti sama sekali. Zara tidak bisa mengerti pria itu. Meski bisa melawan, dia dengan tenangnya menerima semua pukulan Zeff.

Apa yang sebenarnya dia pikirkan?

Tatapannya yang kosong membuat Zara terheran. Mata itu berbinar getir.

Bukan, senyum itu bukanlah pertanda bahwa dia bahagia. Itu adalah senyum yang menyimpan kepedihan.

***

Erwin mengerjap, merasakan pening di kepala. Bau-bauan di sekitar membuatnya segera tersadar. Erwin terduduk, menyadari kalau dia berada di brankar rumah sakit dengan seseorang berada di sampingnya.

Zara duduk di sebelahnya, tertidur dengan posisi kedua tangan sebagai bantal. Lebam di pipinya sudah menghilang. Dilihat dari bagaimana lelapnya Zara tertidur, perempuan itu pasti kelelahan.

Ingatan kejadian beberapa jam lalu muncul di kepalanya. Erwin terpaku pada adegan di mana Zara menangkup wajahnya dan menatapnya, berusaha terlihat tenang. Mengajarkannya untuk tidak panik. Menuntunnya bernapas dengan normal.

Zara sudah mengetahui semua kebusukannya, tapi perempuan itu tetap berusaha menyelamatkan Erwin tanpa pikir panjang. Rona khawatir yang dia tunjukkan membuat Erwin merasa aneh. Zara selalu bisa menciptakan tanda tanya besar di benaknya.

Perempuan itu selalu saja membuat Erwin penasaran.

Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatiannya, Erwin segera mengangkat tangan agar Sanji tidak masuk. Sanji mengangguk, dia berangsur mundur dan menutup kembali pintu itu.

Erwin turun dari brankar, untung tidak ada infus di tangannya. Kalau tidak, dia akan kerepotan. Erwin keluar kamar dan menemui Sanji serta Zeff yang sudah menunggunya. "Cari perempuan itu ke mana pun. Temukan dia dan bawa dia ke hadapanku."

"Kau percaya dengan perkataan Danta?" Zeff sudah sering mendengar Danta berbual. Pria itu akan melakukan apa pun demi kesenangannya sendiri. Memercayai Danta adalah hal yang konyol.

"Aku hanya ingin berjaga-jaga. Jangan sampai Zara bertemu dengan perempuan itu. Aku tidak mau hal buruk terulang lagi."

***

Iridescent (✓) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang