Atas perintah Erwin pagi ini, Zara pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan tangannya. Untung lukanya tidak terlalu parah, jadi, tidak diperlukan penangan khusus.
Tangan Zara diperban lagi, kali ini lebih rapi dari perban Erwin tadi malam.
Sanji mengekorinya terus semenjak mereka keluar rumah tadi. Sama sekali tidak mau membiarkan Zara lewat pengawasan sedikit saja. Penampilannya yang terlalu mencolok dengan setelan tuksedo itu membuat orang-orang yang lalu lalang, kemudian memperhatikan.
Zara tidak mengenakan baju yang spesial, hanya gaun floral sepanjang lutut yang biasa dia gunakan. Tapi, berjalan di muka umum dengan Sanji di belakangnya membuat Zara terlihat seperti orang penting. Seperti Nyonya besar. Zara sedikit enek menyadari tatapan orang-orang terhadapnya.
"Aku ingin pergi ke suatu tempat lebih dulu," ujar Zara saat mereka berada di basement rumah sakit. "Aku sudah mendapat izin dari Mas Erwin."
Sanji mengangguk. Memutar setir, keluar dari basement, dan menyatu dengan padatnya jalanan kota siang hari itu.
Perjalanan kali ini membutuhkan waktu yang sedikit lama. Zara baru sampai tujuan setelah dua jam lebih. Saat menapaki tanah berumput, kaki Zara perlahan melemas. Tapi, Zara berusaha untuk tetap berjalan normal.
Hal ini memang selalu berhasil membuat tubuh dan hatinya melemah.
"Apa kabar, Bu?" Zara berjongkok di depan nisan Stephanie. "Zara datang."
Ada begitu banyak hal yang ingin Zara ceritakan. Ada begitu banyak kata yang ingin Zara ucapkan. Tapi, bibirnya malah kaku. Zara hanya menatap gundukan tanah yang mulai ditumbuhi rumput itu sambil memegang nisan kayu di hadapannya.
Kenapa sulit sekali mengatakan apa yang ada di pikirannya saat ini? Zara tidak mengerti. Semua ini terlalu pelik.
Ibunya ada di sini, di depannya, tapi, Zara bahkan tidak bisa menyentuhnya. Apalagi sakit yang lebih parah dibanding ini?
Semenjak kepergian ibunya, hubungan Zara dan ayahnya berjarak. Mereka menjadi seperti orang asing. Jarang bertemu atau mengobrol. Stephanie memang menjadi semacam penghubung bagi keduanya. Ayah Zara terlalu pendiam. Sulit mengajaknya berbicara. Apalagi, setelah Zara keluar dari rumah.
Menikah dengan Erwin adalah perintah yang membuatnya bisa berhubungan dengan ayahnya lagi. Meski ragu, Zara tidak bisa menolak sama sekali. Zara jelas telah berhutang budi begitu besar pada ayahnya. Mana mungkin Zara menolak permintaan ayahnya untuk menikah dengan pria pilihannya?
Zara hanya berharap pernikahan ini akan membawanya pada kebahagiaan. Hidup yang lebih baik.
Lepas mengecup nisan ibunya, Zara berdiri. Tidak ada yang bisa dikatakannya sekarang. Zara hanya bisa menitikkan air mata. Seperti biasa, selayak perempuan lemah yang tidak berdaya.
Langkah Zara terhenti di depan Sanji yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berjongkok tadi. "Kita pulang," ujarnya.
Sanji melirik sekilas nisan yang mulai ditumbuhi rumput itu, kemudian, mengekor Zara menuju mobil. Rinai hujan turun tepat sebelum Zara masuk mobil. Membuat Sanji bergegeas membukakan pintu dan membantu Zara naik.
Padahal, cuaca sedang panas-panasnya. Tapi, hujan tidak mau kalah saing.
Mobil melaju di tengah gerimis. Zara membuka kaca mobil. Menikmati petrikor, sapaan rintik pada jalan aspal yang mengepul, juga tanah kering. Gaunnya terciprat gemericik. Tapi, Zara tidak peduli. Suasana seperti ini terlalu indah untuk dilewatkan. Rasanya, Zara ingin sekali keluar dan berlarian tanpa alasan kaki di tanah berumput. Di jalan aspal yang sepi. Membasahi seluruh tubuh dan merasakan bagaimana hujan mampu menjadi pengingat kenangan pahit sekaligus obat paling ampuh atas rasa sakit di seluruh tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent (✓)
ChickLitPada malam pertama pernikahannya dengan Erwin, Zara diusir keluar dari kamar. Pernikahan mereka memang berjalan sangat cepat hingga Zara tidak sempat mengenal dengan baik siapa pria yang kini menjadi suaminya itu. Zara harus bersabar menghadapi sif...