Jane merasa pengap, dia kesusahan bernapas karena terlilit sesuatu yang berat dan begitu erat. Dia menggerakkan tangannya mencoba melepaskan diri tetapi tidak bisa. Dia mencoba lagi namun hasilnya tetap sama.
Jane membuka pejaman matanya lalu berkedip beberapa kali. Mata itu kembali terpejam lalu terbuka lagi. Dia mendengus kesal karena sesuatu yang menghalangi pandangannya. Dia melihat ke atas dengan kepala sedikit dimundurkan. Alisnya menyatu menemukan wajah yang begitu familiar sedang menutup mata.
Bola matanya bergerak kesana kemari mencoba mengingat yang terjadi. Seingatnya semalam dia hanya sendirian dalam kamar.
Jane masih terus berpikir. Pipinya berubah merah muda saat ingatannya sudah kembali. Kejadian semalam sekarang berputar diotaknya, untuk pertama kalinya dia dan Julian begitu intim.Jane melihat mata Julian perlahan terbuka. Cepat-cepat dia menunduk lalu memejamkan kembali matanya. Dia menggigit dalam bibirnya. Dia belum siap berbicara dengan Julian sekarang.
Jane merasakan elusan tangan Julian di rambutnya. "Berhentilah berpura-pura," ucap Julian dengan suara serak baru bangun tidur.Jane tetap mempertahankan sandiwaranya. Dia tidak perduli jika Julian sudah mengetahui dia hanya berpura-pura. Bahkan saat pintu kamarnya diketuk oleh seseorang dari luar, itu tidak membuat Jane membuka pejaman matanya. Wajahnya menyerngit kesal karena pintunya yang terus diketuk. Dia yakin pasti ibunya atau Ana, hanya mereka berdua yang berani melakukan itu.
"Kau tidak akan membukanya?" tanya Julian.
Jane refleks menggeleng sebagai jawaban. Dia mendengar suara tawa pelan Julian selama dua detik.
Jane berdecak karena kebodohannya. Tidak ada gunanya terus bersandiwara. Dia mendorong kasar tubuh Julian, memberikan mereka jarak. Dia hanya perlu bangun dan membuka pintu, tidak perlu berbicara dengan Julian.
Jane tidak menghiraukan Julian yang terus menatapnya. Telapak Kakinya sekarang menapak di lantai kamar yang terasa dingin.
"Perbaiki bajumu."
Langkah Jane terhenti mendengar ucapan Julian. Dia menunduk, matanya terbelalak melihat kondisi bajunya dengan bagian kerah yang sobek dan memperlihatkan sedikit bagian dadanya.
Julian tetap mempertahankan ekspresi datarnya walaupun saat ini Jane melototinya dengan kedua tangan menyilang di depan dada.
Julian meletakkan kedua tangannya di belakang kepala, menumpukkannya di bantal. Bola matanya bergerak mengikuti Jane yang berlari masuk di ruangan lain di kamar ini, lalu keluar berjalan menuju pintu dengan tubuh yang terbalut mantel. Pandangannya jatuh pada leher Jane yang memiliki beberapa warna merah gelap.
Pintu kamar terbuka. Ana langsung masuk, wajahnya begitu panik. "Kenapa anda begitu lama?" tanyanya.
Kedua alis Jane terangkat. "Terjadi sesuatu?" Tangannya bergerak menutup pintu.
"Di bawah banyak sekali prajurit utusan dari Istana. Mereka mengatakan ingin menggeledah rumah ini, mencari keberadaan Putra Mahkota yang kabur dari penjara semalam," jelas Ana.
Jane berbalik, dia melihat kearah ranjang. Ana juga ikut menoleh ke belakang. Dia terperangah menemukan keberadaan Julian di ranjang Jane. Ana kembali melihat Jane meminta penjelasan dengan tatapannya namun hanya kedikkan bahu yang Jane berikan.
"Bagai_" Mata Ana kembali terperangah melihat bekas kemerahan di leher Jane. "Ya Dewa. Ada apa dengan leher Anda?"
Jane meraba lehernya. Keningnya berkerut melihat bola mata Ana yang hampir saja keluar dari tempatnya. Dia berjalan kearah cermin. Sekarang bola matanya yang hampir saja keluar. Dia melototi lehernya dari cermin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi ■ True Destiny
FantasyKembali mengulang takdir. Akankah semuanya tetap sama? Haruskah dia menghindar? Atau, Berjuang bersama untuk mengubah takdir masa lalu. Ini tentang mereka yang ditakdirkan bersama tetapi terhalang oleh sesuatu yang tidak terlihat. *Jane Georgiana Ma...