Jane berjalan sendirian di taman belakang Istana. Matanya terpejam merasakan angin sejuk yang dihasilkan dari pohon-pohon yang ada di sini. Sekarang dia menyukai tempat ini, begitu tenang dan sejuk. Tidak ada suara berisik dari pelayan dan prajurit yang berlalu lalang. Tidak ada juga suara cerewet Ana yang selalu melarangnya melakukan ini itu. Dia merasa Ana lama-lama menjadi seperti ibunya yang cerewet. Kedua tangan Jane mengeratkan pelukannya pada buku besar dan tebal yang ada di depan tubuhnya.
Jane berjalan mendekati kursi yang disediakan di bawah salah satu pohon. Dia meletakkan buku di pahanya. Membuka buku itu sesuai dengan pembatas yang sudah dia letak sebelumnya. Jane menghela napas, ini buku kerajaan terakhir yang harus dia pelajari.
Selama tiga bulan ini, dia selalu membaca buku-buku yang diberikan kepala pelayan. Bulan-bulan pertama sangat menyiksa baginya karena harus berbagi waktu dengan kegiatan sosialnya. Dia tidak tahu apakah usahanya berhasil atau tidak untuk mengambil simpati rakyat.
Jane mulai membaca. Baru beberapa kalimat yang dibaca. Dia kembali memejamkan matanya kesal. Tangannya terkepal kuat, salah satu tangannya meninju-ninju buku di depannya. "Julian sialan. Julian sialan. Julian sialan."
Jane membuang napas kasar. Dia sengaja membaca buku di taman belakang untuk menghilangkan kekesalannya pada Julian. Dari semalam dia tidak bertemu dengan Julian. Untuk menghindari Julian. Jane tidur ditenda milik ayah dan ibunya. Pagi-pagi sekali dia mendengar Julian sudah kembali lebih dulu karena harus menghadiri pertukaran jabatan panglima perang. Hari ini ayah Harry akan melepaskan jabatannya sebagai panglima tempur mengingat usianya sudah memasuki kepala enam tahun ini.
Seharusnya Julian yang menggantikannya namun itu tidak diperbolehkan karena jabatan yang akan dipegang Julian setelah menjadi Putra Mahkota dan usia Julian baru saja dua puluh tahun membuatnya tidak ingin menjadi panglima tempur. Dia akan ikut berperang tetapi tidak menyukai jabatan sebagai panglima tempur.
Jane masih kesal dengan kelakuan Julian semalam. Setelah membuatnya marah Julian kembali membuatnya malu. Mengapa Julian selalu melakukan tindakan diluar dugaan saat di tempat umum? Jane tidak mengerti dengan jalan pikiran Julian.
"Ternyata selain minim ekspresi dia juga minim rasa malu." Jane kembali meninju buku di pangkuannya. Dia meletakkan kedua tangannya membentuk lingkaran di depan mulut. Dia menarik napas siap-siap untuk berteriak. "Pria sialan kau pantas_""Pantas apa?"
"Ya Dewa." kepala Jane refleks menoleh ke belakang mendengar suara seseorang. Matanya terbelalak melihat Julian yang berdiri menjulang ke atas. Telinga Jane mendengar suara kepakan sayap burung yang banyak. Mungkin mereka juga terkejut mendengar suara teriakannya.
"Siapa pria sialan yang kau maksud?" Julian kembali bertanya karena Jane hanya diam menatapnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Ini masih sore. Jane pikir Julian akan sampai malam di tempat militer.
"Kau tidak menjawab pertanyaanku," balas Julian.
Bola mata Jane mengikuti Julian yang melangkah duduk di sampingnya. Jane selalu suka saat Julian menggunakan baju kebesarannya dan baju militer. Seperti sekarang, Julian menggunakan baju militernya yang berwarna hitam membungkus bahu lebar dan tubuh berototnya. Jane tidak tahu sudah berapa penghargaan dan jabatan yang dimiliki Julian. Dia melihat begitu banyak badge yang tergantung di dada bagian kiri Julian.
Dia melihat lirikan mata Julian, masih menunggu jawabannya. "Aku memiliki hak untuk tidak menjawab."
Jane menjauhkan kepalanya dari jangkauan tangan Julian yang ingin menyentil dahinya. Dia tidak akan membiarkan Julian menyakiti bagian-bagian dari tubuhnya lagi. Dia tersenyum bahagia berhasil menghindari Julian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigrasi ■ True Destiny
FantasyKembali mengulang takdir. Akankah semuanya tetap sama? Haruskah dia menghindar? Atau, Berjuang bersama untuk mengubah takdir masa lalu. Ini tentang mereka yang ditakdirkan bersama tetapi terhalang oleh sesuatu yang tidak terlihat. *Jane Georgiana Ma...