2. This Is Not Right

67K 4.1K 27
                                    

Wira nyaris menggebrak meja saat melihat laporan penjualan Time Tales selama hampir satu tahun terakhir. Ia meringis, kesal dengan apapun yang terjadi selama dirinya tak ada. Lelaki itu menarik napas sebal lalu memutar kursinya agar menatap ke arah jendela yang menampilkan lanskap Jakarta dari lantai 47. Bukan pemandangan baik, yang dilihat Wira lebih banyak diisi oleh carut marut daripada pemandangan kota yang mewah. Tetapi setidaknya, pemandangan itu jauh lebih baik daripada melihat angka-angka yang tampak di layar.

Buat Wira, Time Tales adalah anak yang ia besarkan dengan sepenuh raga, hati dan jiwa. Berbeda dengan perusahaan Adhyaksa lain yang kebanyakan membeli lisensi merek-merek terkemuka, Wira membangun Time Tales tujuh tahun lalu semata-mata karena ia tahu bahwa mencari buku-buku internasional cukup sulit di Indonesia.

Tiga tahun setelah diluncurkan, Time Tales yang saat itu sudah punya lima belas gerai menjadi sebuah bisnis yang sangat prospektif. Banyak orang yang menjadikan Time Tales sebagai one stop solution untuk mencari buku-buku impor. Time Tales juga mulai melebarkan sayapnya untuk menjual buku-buku terbitan penerbit lokal.

Semua berjalan baik. Perkembangan Time Tales terus menanjak. Sepertinya, bisnis satu itu bisa mulai dioperasikan tanpa pengawasannya. Jadi, di tahun keempat Wira putuskan untuk keluar dari grup perusahaan keluarga lalu pergi ke London untuk melanjutkan studi dan menyusul Stefani, perempuan yang ia taksir sejak SMA. Dan, itu menjadi keputusan paling salah yang Wira ambil. 

Karena pertama, ketika sampai, Wira malah mendapati Stefani yang sudah berubah bahkan melabuhkan hatinya pada pria lain. Wira yang sudah membayar iuran universitasnya mau tak mau tetap harus bertanggung jawab untuk tinggal di London. Menyelesaikan studinya apapun yang terjadi.

Dan kedua, absennya Wira di Jakarta membuat Time Tales nyaris bangkrut. Apalagi, Wira tak bisa kembali ke Jakarta lantaran lock down yang berlangsung selama pandemi. Dari lima belas gerai, memang, jumlah Time Tales pernah naik sampai dua puluh, lalu tiba-tiba, semua gerai tutup secara massal, penjualan turun secara drastis.

Beberapa manajemen yang dipercaya Wira menyalahkan wabah COVID-19 sebagai alasan tutupnya belasan toko Time Tales. Kendati demikian, bahkan setelah pandemi berakhir, mereka masih belum mampu bertahan hingga menyisakan dua gerai. Jika begini terus,  tak menutup kemungkinan, Time Tales akan tutup permanen.

Bahkan sebenarnya, Wira tak perlu menunggu waktu. Para pemegang saham—termasuk ayahnya sendiri—berencana menutup permanen dua gerai lainnya yang tersisa jika di pertengahan tahun depan performa Time Tales terus turun.

"This is not right," ucap Wira kesal. "How could this thing happen?"

Seorang perempuan bertubuh kecil yang duduk di kursi yang berseberangan dengan Wira sedikit menunduk. 

"Jangan kasih saya omong kosong soal pandemi, Sesil." Wira membalik tubuhnya. Ia kembali menatap perempuan itu.

"We've tried all things, Pak. Kami bahkan buka pembelian via Whatsapp. Tapi, memang—"

"—Memang apa?" Wira memotong. "Kamu tahu, kemarin saya baru dari pameran Big Bad Wolf. Memang animo pasar sudah menurun dan tidak seperti beberapa tahun lalu tapi masih tetap ramai, bahkan mereka membuka pameran di kota-kota lain. Itu artinya, bukan alasan untuk kita bisa turun sejauh ini."

Sesil menahan napas. "Tapi, mereka juga buka toko di platform online, Pak. Dan itu yang bikin pamerannya terlihat sepi karena orang-orang dari luar kota bisa langsung membeli."

Mendengar itu, Wira mengangkat alis. "Lalu, kenapa kita nggak buka toko di platform online?"

Sesil tak membuka mulut. Dan Wira tahu jawaban apa yang Sesil ingin lontarkan.

Keputusan itu bukan berada di tangannya.

Wira mendesis. Ia melirik ke arah kalender perusahaan dengan merek-merek dagang di bawah Grup Adhyaksa berderet.

"Dari dua puluhan merek dan lini bisnis Adhyaksa, mana saja yang belum masuk ke dalam platform online?" Wira menyodorkan kalender, membiarkan Sesil melihat merek-merek itu.

Perempuan itu meringis. "Hampir semuanya, Pak." Ia menjawab ragu. "Kecuali, Time Tales."

"Lalu, kenapa kita ditinggal?"

Sesil tak bisa menjawab. Pertanyaan itu begitu sulit.

"Siapa yang bertugas mengurusi ekspansi seperti ini? Hugo?" tanya Wira menyebut lead dari Business Development yang selama ini lebih banyak berkutat untuk mencari lokasi baru untuk gerai.

"Kalau di tim fesyen sih, ada business development untuk online-nya, Pak. Mereka yang maintain untuk platform tersebut seolah-olah sebagai gerai terpisah dari offline," jelas Sesil.

"Siapa aja yang ada di sana?"

"Merchandiser, marketing, business development. Tiga itu sih, Pak."

Wira mengangguk. "Then, make it happen." Mata Wira melirik ke arah jendela yang menampakan langit gelap. "Senin siang after lunch, saya mau ketemu sama kamu, Hugo dan Peter. Saya mau kalian bertiga yang langsung hands on  di proyek ini."

Sesil hanya mengangguk pasrah ketika Wira sudah memutuskan dengan tegas.

"I want it to be done ASAP. Kalau perlu, ngejar Q4 dan Harbolnas. Saya dengar, acara tanggal kembar di kuartal empat cukup ramai di Indonesia."

Sesil lagi-lagi mengangguk. "Baik, Pak."

"Now, you may dismiss. Saya harap setelah akhir pekan, kamu sudah punya ide segar yang bisa kamu presentasikan ke saya hari Senin nanti tentang apa saja yang bisa kita persiapkan untuk proyek ini." Wira berucap mengakhiri rapat informal mereka.

Sesil berdiri dari kursinya lalu berjalan keluar dari ruangan Wira. Meninggalkan lelaki itu sendiri. Tak hanya karyawannya, Wira sepertinya juga butuh hiburan.  

Ia berjalan keluar ruangan setelah kembali membaca laporan penjualan. Kakinya melangkah gontai ke mobil. Napasnya terembus seraya menginjak pedal gas mobil.

Alih-alih menuju rumah, Wira malah mengarahkan mobilnya menuju sebuah Jazz Bar di bilangan SCBD. Tempat pertemuannya dengan Stefani.

Ia tidak tahu setan apa yang membuatnya kembali datang ke sini. Tetapi, terjebak di London selama empat tahun membuatnya tak tahu tempat mana lagi yang harus ia kunjungi. Banyak bar yang dulu ia kunjungi kini sudah tutup atau berganti nama. Dan Wira belum punya waktu untuk mengeksplorasi tempat nongkrong baru di Jakarta.

Lagipula, siapa yang mau menemaninya mencari tempat minum ketika teman-teman seusianya kini sudah sibuk lantaran punya istri dan anak. Untuk kesekian kalinya, Wira mengutuki dirinya yang begitu bodoh karena mau mengejar Stefani bertahun-tahun hanya untuk mendapatkan penolakan.

Kakinya melangkah masuk ke ruang paling familiar yang membuat hatinya rindu. Ia menatap meja yang dulu seolah tersedia hanya untuknya dan Stefani. Kini, meja itu sudah ditempati orang lain.

Pathetic. Ia berjalan menjauh. Pandangannya tertuju pada seorang perempuan yang duduk di bar counter. Menilik sekitar, ia tak menemukan tanda-tanda orang lain yang menjadi teman gadis itu.

Wira melangkahkan kakinya ke arah bar counter sambil memesan minuman. Ia melirik-lirik perempuan itu lagi. Mata mereka sesaat bertemu, menimbulkan senyum di bibir Wira.

"Caught in the act, huh?" Kalimat itu jadi andalan Wira dalam membuka percakapan. Same old phrase that also captured Stefani ten years ago.

Benar saja, wajah gadis itu langsung memerah malu. Ia tersenyum dengan sipu. Senyum yang begitu manis dan membuat Wira menahan napas.

Seperti tertarik magnet magis, Wira tak bisa melawan untuk tidak mendekati perempuan di depannya.

This is not right, yet, he does not want to make it right either.

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang