58. A Meeting

28.6K 3K 168
                                    

Iklan-iklan: buku Mas Darma sudah publish ya, judulnya REPUTATION RESCUE. xoxo

*

Seyogyanya, Wira berunding dengan Salsa. Walaupun demikian, untuk kali ini, Wira hanya mengabari terkait makan malamnya lalu pergi sendiri. Ia sudah muak berjalan dalam koridor aturan perhumasan yang Salsa lakukan sejak kemarin. Sejak dulu, segala kelakuannya harus diatur. Sekarang, sudah saatnya ia berjalan sendiri dan menentukan apa yang harus ia kerjakan.

Wira bukan lagi anak kecil. Usianya sudah kepala tiga. Kenapa juga mereka semua harus berlaku seperti itu.

"Memangnya, lo punya rencana apa yang lebih bagus?" tantang Wira ketika Salsa dan Darma menentang ide gilanya.

Tak ada yang membalas. Wira tahu, mereka belum punya rencana apapun.

"Yang jelas, gue nggak akan ngerugiin lo semua!" Tulis Wira dalam grup percakapan bersama mereka.

Salsa jelas panik. Darma, apalagi. Tak terhitung berapa kali mereka sudah menelepon Wira. Tetapi, Wira mengabaikan semua itu sepenuhnya.

Lelaki itu tetap berjalan ke arah restoran dan tepat jam tujuh, ia sudah bertemu dengan lelaki berusia enam puluhan yang wajahnya saat-saat ini terpampang di baliho dan televisi, Galang Daneswara.

Wira mengambil napas sambil masuk ke dalam ruangan privat yang sudah Aisha pesankan. Dengan langkah tegap, ia duduk di depan lelaki tersebut.

Dulu, ketika masih berpacaran dengan Stefani, Wira selalu takut dengan lelaki itu. Mungkin, pengaruh memacari anak perempuannya. Wira jadi sedikit banyak menjaga sikap. Kini, Wira rasa, ia tidak perlu melakukan semua itu.

"Apa kabar, Wira? Lama loh Om nggak ketemu kamu. Sekarang jadi beda."

Kalimat pembuka itu membuat Wira jijik. Lelaki itu berpura-pura membuka buku menu. "Om mau pesan sesuatu?" tanyanya.

Galang menggeleng. "Tadi, Om sudah pesan minum."

Wira mengangguk pelan. Ia menekan bel. Sejurus kemudian, seorang pelayan datang dan Wira memesan secangkir teh lemon sereh hangat sebelum mepersilahkan pelayan itu pergi. Ia sama sekali tidak bernafsu untuk makan. Lagipula, pertemuan ini bukan tentang makan.

Wira kini menyilangkan tangan di atas meja. Ia menatap Galang dengan tajam. Tak ada ketakutan di kilat matanya. "Jadi, kenapa Om tiba-tiba mau ketemu saya?" tanyanya tanpa basa-basi.

Sejak dulu, Galang selalu sibuk. Pertemuan mereka di luar lingkup bisnis nyaris nol besar padahal Wira pacaran dengan anaknya. Tak ada waktu berkualitas yang dihabiskan dengan keluarganya. Bahkan sekadar makan malam bersama pada saat ulang tahun saja tidak ada. 

Mungkin, ini yang jadi faktor Stefani dan Lidya menjadi seperti sekarang. Kurangnya kasih sayang orangtua membuat mereka jadi pribadi yang rusak dan hancur.

"Om mau ngobrol-ngobrol saja sama calon menantu."

Kalimat itu membuat Wira mengangkat alis. Ia memicingkan mata kemudian. "Om, seperti yang saya sampaikan di press conference beberapa hari lalu. Saya sama Stefani sudah pisah sejak tiga atau empat tahun lalu sebelum pandemi."

Galang diam. Ekspresinya yang datar membuat Wira tak bisa membaca apa yang berada di pikirannya sama sekali.

"Asal Om tahu. Stefani selingkuh dan itu bukan hanya satu kali terjadi." Wira mengambil napas. "Jadi, saya rasa, pernikahan itu mustahil. Saya nggak ada minat menikahi Stefani juga."

"Kenapa nggak mungkin, Wira?" Galang tertawa. "Pernikahan nggak harus soal cinta, kan? Atau kamu sebegitu naifnya? Menikah itu tentang status dan saling menguntungkan. Sebuah permainan bisnis."

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang