41. Imagination

31.4K 2.9K 33
                                    

Wira mengenggam tangan Lia menuju parkiran lalu menuntunnya ke sebuah mobil Alphard Vellfire putih. Untuk kali ini, Lia bisa melihat seorang supir yang menunggu di depan mobil. Menandakan bahwa Wira tak sendiri.

Dengan helaan napas berat, Lia melempar tubuhnya di jok belakang mobil, bersebelahan dengan Wira. Ini pertama kalinya Lia melihat dan naik mobil ini. Sebelumnya, Wira lebih sering mengendarai Maybach, mobilnya sendiri.

"Bengong?" Wira menegur ketika mobil bergerak keluar parkiran.

Lia menggeleng. "Kamu nggak pernah naik mobil ini sebelumnya. Apalagi, pakai supir."

Wira terkekeh. Ia mengambil iPad dari kantong jok mobil. "Ini mobil kantor," jelasnya. "Biasanya dipakai buat mobilisasi terutama kalau lagi ada meeting di luar atau jemput di bandara dan hal-hal lainnya."

Lia mengangkat alis. Ia ingin mengejek namun urung. 

"Aku jarang pakai mobil kantor, soalnya aku lebih suka nyetir sendiri, Lagian, aku juga jarang keluar kantor buat meeting. Baru sama BuyMe doang," jelas Wira santai. "Palingan, kalau lagi pulang dari business trip."

Lia manggut-manggut. Ia memindai seluruh isi mobil. "Jadi, kamu tadi ke kantor dulu terus baru ke sini?" asumsi Lia.

Mendengar itu, Wira menggeleng. "Mobil ini hak—tidak tertulis—milik Mas Darma." Lelaki itu meringis. "Mbak Salsa nelepon Pak Agil minta tolong untuk jemput aku langsung ke apartemen."

"Lah, terus Masmu pakai apa? Nggak ada meeting?"

"Itu urusan Mas Darma sama Mbak Salsa. Aku nggak paham." Bahu Wira terangkat. "Yang jelas, kalau Mas Darma diadu sama Mbak Salsa, istrinya itu pasti selalu menang!"

Lia melihat tawa Wira yang pecah puas karena bisa mengulik kelemahan kakaknya.

"Ngomong-ngomong, kamu harus balik ke kantor atau—" Pertanyaan dari Wira itu menggantung, menunggu jawaban.

"Tadi, kalau aku masih di acara, aku rencananya langsung pulang. Kalau sekarang, aku jadi bingung," ringis Lia.

Wira tersenyum tipis menanggapi omongan Wira. "Kalau gitu, pulang, yuk? Aku butuh tidur."

"Tidur loh ya, Mas!" Lia memperingatkan. "Nggak yang lain!"

Senyum jahil terkembang di bibir Wira. Dan senyum itu membuat Lia bergidik.

"Mas Wira!"

"Iya, tidur, Hazel!" Wira menjawab dengan lembut. "Aku juga nggak sanggup kalau balik ke kantor hari ini. Dari kemarin diforsir mulu."

Lelaki itu  menyandarkan tubuh sambil meletakan iPad di pangkuannya. Matanya begitu berat. Melihat layar membuatnya semakin pusing.

"Ngomong-ngomong, kamu jadi ke Sukabumi minggu depan?" tanya Wira mengisi kekosongan suara.

"Jadi," angguk Lia. "Kamu beneran mau ikut?"

Wira memengok lalu mengangguk. "Iya, dong! Mau ketemu calon mertua, loh!"

Tawa Lia pecah. Ingin rasanya ia melempar Wira dengan sesuatu. "Baru juga pacaran sebulan lebih dikit!" balasnya sebal. "Kalau sibuk, nggak apa-apa, Mas."

Wira ikut tertawa. Ia mengulurkan tangannya, menggenggam erat tangan Lia.

"Aku masih nggak ngerti apa yang ada di pikiran Papa. Emang sih, udah dari aku SMA, Papa beli rumah dan tanah perkebunan sawit di Sukabumi. Aku pikir, buat investasi aja. Toh cuma sepetak tanahnya. Ternyata, dia beneran tinggal di sana setelah pensiun dan ngusahain sawit itu. Terus, rumah sekarang cuma diurusin sama kakakku."

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang