52. Worth to Fight For

28.1K 3.3K 109
                                    

P.S. last vote putaran kedua (wkwk) Gayatri-Dikta atau Darma-Salsa duluan buat Maret ini?

*

Sepiring pisang goreng dan dua cangkir teh melati yang tiba-tiba tergeletak di depan meja pendek yang membatasinya dengan televisi membuat Lia mendongak. Di hadapannya, tampak si ibu tengah tersenyum sebelum bergerak dan duduk di sofa sebelah Lia.

Lia hanya mengukir senyum lemah sambil mengambil sepotong pisang berbalur tepung yang masih hangat tersenyum di atas meja. "Thanks, Ma," ucapnya tulus sebelum menggigit makanan itu. Cuaca sore hari ini cukup sejuk. Sangat cocok dengan kudapan dan minuman hangat yang disediakan.

Dari jendela, sepanjang mata memandang, Lia bisa melihat perumahan-perumahan berjajar dengan kebun sawit serupa. Di masa tuanya, Bayu dan Lani—ayah dan ibu Lia—membeli sebuah rumah dan sepetak tanah di sebuah perumahan di Sukabumi yang berkonsep plantation resort—setengah rumah dan setengah ladang. Sementara rumah atau vila bisa dibuat tinggal, ladang ditanami kelapa sawit oleh pemilik perusahaan properti yang nanti uang hasil panennya dibagi dengan pemilik tanah.

"Muka kamu kok lesu gitu, Li?" tanya ibunya sambil ikut menyeruput teh. "Karena pacarmu nggak jadi dateng?"

Lia lagi-lagi mengembangkan senyum getir. Ia menyandarkan tubuhnya sambil mendesah keras-keras. "Ini bukan tentang Mas Wira yang nggak bisa datang."

"Lalu?"

"Ini tentang alasan Mas Wira sampai nggak bisa datang ke sini," lanjut Lia kemudian.

Lani mengangguk pelan sambil membalik tubuh  agar serong pada Lia. Menunggu Lia untuk menjelaskan lebih lanjut. Tetapi, Lia rupanya bungkam. Ia tak ingin membahas hal tersebut dengan ibunya. Tak mungkin Lia bercerita soal sex tape yang tersebar.

Ini sudah hari Selasa. Berarti, jika dihitung, sudah empat hari berlalu setelah kericuhan terjadi di hari Jumat malam atau Sabtu dini hari. Tak ada pergerakan apapun dari Wira maupun Stefani. Ketika Lia bertanya, Wira berkata bahwa ia masih menunggu kelanjutan.

Saat ini, dunia maya mulai lebih reda. Walaupun tak mengartikan mereka bisa tenang.

"Kamu bertengkar sama pacarmu?" tanya Lani lagi.

Lia menggeleng. Ia tidak tahu apakah ini termasuk bertengkar atau tidak. Sepertinya, tidak. Ia dan Wira masih berinteraksi setiap hari. Mereka cuma membatasi pertemuan.

Kalimat demi kalimat yang Stefani lontarkan membuat Lia menahan napas. Sejujurnya, Lia berusaha mengenyampingkan omongan toxic dari Stefani. Tetapi, melihat grafik saham Adhyaksa yang menurun karena isu miring ini membuat dirinya semakin ketar-ketir. Berbagai pro dan kontra terkait dengan video itu masih marak walaupun bukan lagi tampak di media sosial tetapi dalam koran dan majalah bisnis.

Keluarga Adhyaksa tak boleh salah langkah. Keduanya sama-sama punya kerugiannya masing-masing.

Jika menikahi Stefani, maka, akan ada kecondongan politis secara tidak langsung dan itu akan membebani perusahaan. Jika tidak menikahi Stefani, maka sentimen negatif juga akan timbul dari publik.

Keduanya sama-sama membahayakan. Lia tahu itu. Baik Wira dan kakak-kakaknya pasti tengah memikirkan cara dan memutuskan yang terbaik. Maka dari itu, Lia memutuskan untuk mundur sejenak dari kehidupan Wira. 

Wira butuh fokus yang tinggi untuk berpikir jernih agar bisa menyelesaikan masalahnya dengan Stefani. Keberadaan Lia cuma akan jadi beban mental. Wira harus tega dan rela jika ia dinikahkan nantinya.

Sementara, Lia butuh waktu membiasakan diri, jika sesuatu yang paling buruk terjadi, jika pada akhirnya omongan Stefani terbukti, dan jika pada kenyataannya nanti, Wira harus menikahi Stefani, melepaskan Lia sebagai disposable casualty yang tak ada harganya—menjadi martir demi reputasi perusahaan gigantis tersebut.

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang