38. Tale As Old As Time

39.1K 3.1K 63
                                    

Wajah Wira semringah ketika tangan Lia selesai menekan tombol kode pintu apartemennya. Perempuan yang tengah berjongkok di depan pintu itu menengok ke arah Wira dengan alis terangkat. Ia telah menentukan angka yang digunakan untuk kode pintu Wira.

Tanggal pertemuan pertama mereka.

"Biar Mak Lampir nggak masuk lagi ke sini!" kata Lia sinis sambil kemudian melenggang ke dalam ruangan. Ia menelisik seluruh apartemen itu. "Apa kamu nggak mau cek kalau-kalau dia taruh kamera di sini?"

Wira mengangkat bahu. Ia menelisik ke sekeliling. "Stefani agak buta teknologi. Aku nggak yakin dia pasang kamera," ucapnya. "Tapi, ya kalau dia mau ngelihatin kita ciuman, ya silahkan aja, aku nggak peduli."

"Sinting!" umpat Lia yang dapat kekehan dari Wira.

Perempuan itu berjalan ke sekeliling. Ia kemudian membanting tubuhnya di atas sofa. Matanya terpejam sejenak.

"Mas..."

"Um?" gumam Wira yang ikut duduk di sebelah Lia.

"Apakah kalian pernah...." Lia kelu. "Have you ever had sex here?"

Wira diam. Ia menghela napas keras-keras, "If I say I have never, would you believe me?"

Lia membuka matanya. Menengok dengan kaget.

"Kamu nggak percaya," ucap Wira tertawa. Ia menarik Lia ke dalam rangkulannya. "Aku yang nginep di tempatnya. Aku yang pergi ke sana. Dia nggak pernah ke sini."

"Uhum?" Lia mendengung tak percaya.

Wira mendesis mendengar ejekan Lia. Lelaki itu membuat wajah pura-pura sebal. "Aku lagi serius, Hazel," ucap Wira. "Dia nyaris nggak pernah ke sini. Aku pernah ngajak, tapi dia nggak mau."

"Karena?"

"Nggak tahu," jawab Wira. "Katanya, aku cowok, aku yang harusnya ke tempatnya. Dan, aku cuma nurut aja."

Lia memutar bola mata. Ia masih belum bisa mencerna dinamika hubungan Wira dan Stefani yang terasa membingungkan.

"Enough talking about her. Bukannya aku mau nutup-nutupin atau apa, tapi, aku sejak awal memang nggak mau ngebahas dia lagi. She was my past and you are my future." Wira berdiri dari sofa tempatnya duduk. "Mendingan, kamu bantuin aku."

Lia mengangkat alis. Di akhir pekan ini, ia hanya ingin bersantai. Pekerjaannya sudah segunung dengan pelaku utama Wira sendiri yang bertindak sebagai pemberi tugas yang tidak kira-kira. Setidaknya, hari Minggu ini, ia ingin menikmati harinya dengan tidak melakukan apapun.

"Kamu mau ngapain?"

"Beresin itu," ucap Wira menunjuk sebuah pintu.

Lia mengerenyitkan dahi. Setahunya, ruangan itu adalah sebuah ruang kecil yang diperuntukan sebagai gudang atau kamar pembantu. Lia belum pernah membuka pintu itu sama sekali dan tidak tahu apa di baliknya.

Kakinya ikut berdiri lalu melangkah menyusul Wira yang membuka pintu. Tampak di dalam sana, berbagai kardus besar bertumpuk. Di sisi kiri dan kanan, tampak laci-laci buku berbahan kayu dengan warna cokelat gelap.

"Sejak balik dari London, aku belum sempat beresin. Sampai hari ini, udah mau setahun juga masih aja belum diberesin," jelas Wira saat merasakan kehadiran Lia tak jauh di belakangnya.

Lia berjalan ke dalam ruangan. Matanya tertumbuk pada kardus yang tidak tertutup rapat. Ia membeliak.

"Ini... buku?"

Dagu Wira terangguk. "Aku rencananya mau ngurutin ini berdasarkan alfabet aja. Bisa kejang kalau genre lagi ikut-ikutan. Lagian kebanyakan bukunya novel, sih. Novel jadul, pula!" Wira mengambil satu dan memperlihatkannya pada Lia. "Kayak ini. The Three Investigator—atau Trio detektif. Buku tahun 60-an, kalau kamu tahu."

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang