Wira: Hazel, malam ini, mau main ke apartemenku?
Kalimat yang tertulis di pesan singkat itu pagi tadi membuat Lia mengerenyitkan dahi. Ia mendengkus pelan sambil meletakan catokannya di atas meja.
Wira: You've worked so hard this week. Pamper yourself won't hurt. Besides, I owe you hot tub and wine from our first meeting.
Lia menelan ludah kasar. Hot tub and wine. Kepala Lia menggeleng dengan senyum geli. Ia ingat betul hari itu dengan sangat baik.
Jadi, pikiran Lia tengah menimang-nimang. Ia mengetik pada ponselnya.
Hazelia: Just hot tub and wine?
Wira: And a dinner for two.
Hazelia: That's it? Nothing beneath?
Wira: finger cross I could behave.
Lia tertawa membaca pesan itu. Ia tahu, Wira tak akan sanggup menahan dirinya sendiri.
Menginap di apartemen Wira sama saja masuk ke kandang singa. Tetapi, harus Lia akui, ia suka. Malam panas bersama Wira di akhir pekan bisa jadi destinasi untuknya kabur dari realita.
Hazelia: Doain aja bosnya Time Tales nggak kasih kerjaan tambahan yang bikin lembur.
Lia terkekeh sambil meletakan ponselnya setelah Wira memberikan satu tanda jempol dan tangan terkatup. Brengsek! Padahal, Wira yang suka memberi kerjaan banyak-banyak.
Setelah mencabut catokan, kaki Lia berjalan ke lemari. Ia mengambil beberapa potong pakaian dan memasukannya ke dalam tasnya sebelum berangkat kerja.
Seharusnya, Wira tak memberitahu rencana tentang dirinya yang akan 'menculik' Lia malam ini. Segala khayalan sedari tadi terus bertandang ke kepalanya sepanjang hari. Lia mencoba berkonsentrasi sebisanya sembari mengerjakan presentation deck yang hampir selesai.
Motivasinya hanya satu, ia tidak ingin Wira kembali memberikan pekerjaan rumah tambahan untuk diselesaikan.
Dan untuk itu, Lia memutuskan untuk makan di kantin kantor alih-alih ikut dengan teman-temannya yang lain pergi ke mall. Walaupun sejujurnya ia ingin sekali ikut serta, masih ada pekerjaan yang harus ia kerjakan. Jadi, Lia mau tak mau merelakan jam makan siangnya diisi dengan mempelajari presentasinya. Ia tak ingin ada kesalahan. Sebagai gantinya, ia turun ke lantai tiga—tempat kantin khusus karyawan BuyMe berada untuk mengambil nasi kotak katering yang tak terlalu menggugah selera.
Semua ini demi kebebasan semu untuk akhir pekannya. Setidaknya, ia tidak ingin diganggu dengan beban pekerjaan dan bisa bersenang-senang—walaupun dengan pelaku yang sama yang memberikan banyak pekerjaan.
"Hazelia!"
Panggilan bernada tinggi dan suara besar itu terdengar dari ujung lorong. Lia yang masih mendekap nasi kotak dalam pelukan menengok ke arah seorang perempuan yang berlari-larian kecil ke arah dirinya yang tengah menunggu lift.
Lia menengok ke arah perempuan bertubuh pendek yang tampak tersenyum begitu ramah. "Hai, Fel."
"Tumben makan di sini?" tanya Feli dengan senyum merekah. Rambutnya dicatok masuk dengan sangat cantik. Gaun lengan pendek selutut berwarna kuning muda cerah yang ia kenakan tampak begitu bersinar, kontras dengan langit mendung dan udara dingin yang membuat Lia memilih mengenakan jumper dan celana jins.
"Masih ada kerjaan," jawab Lia singkat.
Feli menanggapi dengan senyum. "Oh, gue pikir kenapa lo nggak ikutan Rana pergi. Biasanya, lo kan nempel banget sama Rana!"
Lia hanya mendecakan lidah pelan. Walau tak terlihat terang-terangan, Rana dan Feli punya hubungan yang tidak terlalu baik. Tidak ada yang tahu alasan spesifiknya.
"Nggak jelas, tiba-tiba gue di-block di Instagram sama Whatsapp, jadi cuma bisa ngehubungin via email sama Teams aja." Itu jawaban Rana ketika Lia bertanya.
Banyak yang berasumsi bahwa Feli tersinggung karena Rana tiba-tiba diminta memimpin proyek 11.11 pada kuartal empat yang seharusnya ia prakarsai sepenuhnya tahun lalu. Keberhasilan Rana juga membuatnya dinobatkan jadi Pegawai Terbaik di town hall Februari kemarin sementara Feli bahkan tidak masuk dalam nominasi apapun.
Lia tak tahu pasti. Sebagai tim campaign yang bertugas untuk menangani kategori, ia tidak banyak ikut serta dalam rapat dan konflik yang berada dalam tim general campaign.
"Ngomong-ngomong, Li... nanti sore, ada meeting sama tim Time Tales, kan?" ucap Feli ketika kaki mereka masuk ke dalam lift.
Mendengar lontaran Feli, Lia terdiam sejenak.
"Gue disuruh bantuin lo ngurusin general campaign-nya biar bisa tap-in sama acara kita." Feli menjelaskan dengan santai.
"Oh," angguk Lia pelan. Terserah lah! Lia juga tidak terlalu peduli.
"Nanti Pak Wira datang nggak, ya?" gumam Feli pelan.
"Hm?"
Lia mengulum bibir. Ia sudah mengonfirmasi kedatangan Wira hari ini. Dirinya tidak mau olahraga jantung lagi saat dibredel Wira pada saat rapat.
"Katanya, Pak Wira mau datang lagi. Kira-kira, beneran nggak, ya?" Feli berucap lagi.
"Lo kepengin banget Pak Wira datang," tanggap Lia sambil menyilangkan tangan di dada.
"Ya, cuci mata, Lia! Pak Wira tuh kemarin ganteng banget! Mana pas lewat juga wangi. Makanya gue nggak nolak pas disuruh bantuin lo." Feli menjawab dengan lancang. "Memang ya, gen mereka nggak main-main. Kakaknya—Pak Darma—juga ganteng mampus! Sayang kalau Pak Darma udah nikah. Kalau Pak Wira katanya belum, ya?"
Lia mengangkat bahu. "Mana gue tahu," jawabnya ketus. "Gue nggak ngecekin background mereka."
Bohong sekali! Faktanya, Lia memeriksa latar belakang keluarga Adhyaksa bahkan di pertemuan pertama mereka.
"Ya, lumayan kan ya, Pak Wira bisa jadi kecengan sambil berkhayal. Kali-kali, besok jadi pacarnya beneran."
Lagi, Lia mengangkat alis mendengar cerocosan Feli. Ia menyimpan rahasianya rapat-rapat sambil mengatup mulut kencang-kencang. Takut kalau ia malah mengeluarkan apa yang sebenarnya terjadi antara Wira dan dirinya.
Lia tak akan mau munafik. Wira memang lelaki impian, baik itu ketika menjadi bos Time Tales yang sangat kaku atau ketika tersenyum jahil sambil cengar-cengir. Keduanya punya pesona yang membuat Lia tertarik, di bagian manapun itu.
Yang membuat Lia belum mau menerima Wira hanya ketidak percayaan atas dirinya sendiri. Juga, ketakutan jika apa yang mereka rasakan tidak kuat dan berakhir seperti Bryan. Ditambah status WIra yang terlalu tinggi, Lia tak ingin gegabah sama sekali.
"Gue boleh lihat-lihat presentasi lo dulu? Biar tahu gambarannya kayak apa."
Permintaan Feli membuat dahi Lia berkerut. Kaki Lia berjalan keluar dari lift, begitupula Feli yang mengekor mengingat area kerja mereka berada dalam ruang lingkup yang sama.
"Selama ini kan gue nggak di- in loop, nih. Jadi, gue nggak tahu strategi kalian apa-apa aja dan udah sejauh mana. Jadi, kan gue bisa nambahin." Feli berkata lagi.
Lia menghela napas. Ia sedikit menimang-nimang. Sebagai tim, ia memang sudah sepatutnya memberikan arahan pada Feli agar tidak kewalahan. Tetapi, ada sebagian hatinya yang tidak tenang.
Mau tak mau, Lia hanya bisa mendengkus pasrah sambil duduk di kursinya. Tak lama, ia membuka kunci pada laptopnya dan mengirimkan presentasinya pada Feli. "Sent ya, Fel."
Feli tersenyum dan buru-buru membuka. Belum sampai sepuluh menit, suara Feli kembali terdengar. "Jelasin ke gue dulu sekalian, biar gue ngerti juga." Feli mengambil tempat duduk di sebelah Lia secara tiba-tiba.
Mata Lia membola saat Feli memandanginya dengan tatapan memohon. Dengan terpaksa untuk ke sekian kalinya, Lia membuka mulut, menjelaskan presentasinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lead Magnet
RomanceADHYAKSA SERIES no. 5 🌼 *** Lead Magnet (n.) An incentive to attract and capture potential customer. Lia--Hazelia Salim--nyaris jantungan ketika ia tahu, kekasihnya, Bryan ternyata sudah berpacaran dengan Lidya Kani Melatika, putri pemilik perusah...