Ini panjangnya tiga bab, sekitar 3000 kata! hehe
Selamat membaca!
*
Wira berjalan cepat ke arah parkiran. Di ponselnya, tampak layar percakapan dengan Lia. Ada pesan masuk dari Lia beberapa belas menit lalu, rupanya. Menyatakan bahwa perempuan itu pulang lebih dulu ke kos dan akan ke apartemen setelahnya.
Wira tak ingin membuang waktu. Ia masuk ke dalam mobil dan melempar tasnya ke belakang. Baru ingin tancap gas, ia sudah mendapat kabar kedua bahwa Lia sedang berjalan menuju apartemen.
Jatung Wira berdegup kencang. Ia khawatir bukan kepalang. Tak ada yang bisa menenangkannya. Macet di jalanan membuat dadanya sesak karena ketakutan.
Bagaimana kalau Hazel pergi? Bagaimana kalau dia nggak mau mendengarkan penjelasan sama sekali?
Wira: Babe, don't go anywhere. Wait for me, kay?
Lelaki itu mengetik dengan cepat di ponselnya. Segala ketakutan membayangi. Wira hanya bisa menunggu dengan gelisah.
Satu pesan masuk membuatnya menghela napas panjang.
Hazel: Aku baru selesai mandi. I'll stay. Don't worry. Safe ride, Mas.
Wira menyandarkan tubuhnya pada jok. Ia mengambil napas sepanjang-panjangnya untuk menenangkan diri. Itu yang dulu diajarkan psikolog yang menanganinya selama ini agar bisa mendapatkan tenang.
Setelah memarkir mobil, Wira berjalan cepat menuju unitnya. Ia dengan tidak sabar membuka kode kombinasi angka lalu mendorong pintu.
Dari foyer, ia bisa melihat Lia dengan rambut basah terbungkus handuk tengah berjalan dengan semangkuk besar salad bersaus wijen sangrai di atasnya. Ia sepertinya akan menuju sofa. Terlihat dari televisi yang menyala menampilkan adegan drama Korea yang dijeda. Wajahnya tersenyum. "Udah pulang, Mas?"
Sejatinya, Wira tak pernah menyukai ide Lia yang selalu makan sambil menonton televisi. Ia suka mengoceh dan mengomel panjang lebar soal kepercayaannya bahwa makan haruslah di meja makan. Tetapi, kini, Wira tak peduli.
Ia berlari menghambur ke arah Lia setelah melempar tasnya sembarang di lantai. Tangannya memeluk Lia erat. Nyaris membuat perempuan itu limbung.
"Mas, kenapa sih?" protes Lia. "Bentar, ini makananku mau jatuh."
Wira mengurai pelukan perlahan sebelum Lia dengan sigap menuju meja terdekat untuk meletakan mangkoknya. Baru menaruh mangkok, Wira langsung memeluk Lia lagi. Kali ini lebih erat.
"Hazel, I thought you..." Wira tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia mengambil napas. Perasaan di dadanya begitu penuh.
"Left?" tebak Lia melanjutkan ucapan Wira. "You thought I will leave you?"
Wira tercenung sejenak sebelum menganggukan kepala pelan. "Soalnya, pas aku ke bawah, bukannya ketemu kamu malah ketemu Stefani."
"She's still there?" Mata Lia membola. Ia tidak menyangka perempuan gila itu masih berada di bawah.
Wira menggumam sambil mengangguk. Tangannya terulur. Menangkup pipi Lia lembut. "I thought I might lose you again, Hazel."
Lia menghela napas dengan senyum. "I promise you, don't I?" tanyanya sambil perlahan menjauhkan tubuhnya dari Wira. "I promise to believe in you. But, it doesn't mean you could take it for granted. I demand your explanation, Mas."
Wira mengangguk pasti. Ia tahu tentang itu.
"Dan, kalau penjelasanmu nggak masuk akal, kamu akan benar-benar kehilangan aku."

KAMU SEDANG MEMBACA
Lead Magnet
RomanceADHYAKSA SERIES no. 5 🌼 *** Lead Magnet (n.) An incentive to attract and capture potential customer. Lia--Hazelia Salim--nyaris jantungan ketika ia tahu, kekasihnya, Bryan ternyata sudah berpacaran dengan Lidya Kani Melatika, putri pemilik perusah...