16. Ice Cold

37.8K 3.8K 83
                                    

Lia mengakhiri presentasinya terkait ide untuk pemasaran Time Tales dengan tangan berkeringat dingin. Pandangannya sedari tadi mengarah ke arah Wira yang memangku dagu dengan dahi berkerut. 

Keterbatasan waktu membuat Lia hanya mengerahkan strategi standar yang selalu diterapkan di dalam perusahaan itu: voucher, banner di situs, iklan di media sosial, dan hal lain yang sangat hard selling. Tak ada kebaruan, tak ada apapun.

Tatapan tajam Wira membuat Lia nyaris mati kutu. Ini lebih buruk daripada di sidang akhir saat skripsi.

"Ini cuma buat soft launching, kan?" tanya Wira mengonfirmasi. Di dekatnya, tampak buku agenda tebal yang ia coret-coret. Lia tidak tahu apa yang dituliskan Wira di sana. Sepertinya, presentasi Lia tadi.

Lia mengangguk. Ia mencari-cari, ke mana Wira yang kemarin bersamanya?

"Kalau cuma voucher  dan iklan media sosial saja, saya nggak yakin lima puluh juta terserap maksimal." Wira meletakan pulpennya sambil mendorong buku agenda itu. "Strateginya bener-bener cuma segini aja?"

Kalimat itu begitu tajam. Begitu merendahkan. Senyum sinis dan merendahkan tampak dari wajah Wira. Lia ingin marah untuk dirinya yang hanya diberi waktu kurang dari lima jam. 

"Ki-kita bisa prepare buat grand launching-nya, Pak." Lia berucap cepat. "Saya akan coba bagi lima puluh jutanya ke tim lain yang terkait."

Kalau saja Lia punya waktu lebih banyak, setidaknya dua hari, ia pasti bisa membagi-bagi strategi anggaran. Mungkin, dia bisa memanfaatkan social media influencer atau affiliate atau apapun. Sementara, sekarang, Lia tidak mau berbicara omong kosong tentang apa yang bisa ia lakukan kalau tidak punya data sama sekali.

"Lima puluh itu cuma untuk soft launching, Hazelia." Wira melipat tangan di dada.

Lia tercengang. Berapa banyak uang yang mau Wira gelontorkan untuk Time Tales sebenarnya?

Tatapan keduanya bertemu di udara. Tetapi, pandangan itu bukan seperti beberapa pekan lalu. Wira seolah seperti singa yang akan menerkam anak kucing yang ketakutan.

"Kasih saya waktu, Pak." Lia akhirnya buka suara.

Alis Wira naik. Ia menunggu Lia untuk melanjutkan kalimatnya.

"I will get back to you in two days." Lia berucap lagi. 

"Waktu kita nggak banyak, Hazelia." 

Untuk kedua kalinya, Wira memanggil Lia dengan nama Hazelia. Tetapi, Lia tidak peduli. Ia sedang sebal dengan rencana mendadak seperti ini.

"Ya, kurang dari dua minggu, saya tahu." Lia menjawab. " Saya minta maaf. Tapi, saya nggak bisa maju dengan tangan kosong begini. Ada banyak hal yang harus dimintai persetujuan."

Lagi, Lia mendongak. Menatap Wira dengan keberanian dan ketegasan.

 "Saya rasa, Bapak lebih mengerti tentang itu."

Wira mendengarnya dengan mata memicing. Dua pasang mata dari dua orang berbeda tingkat itu saling mengirim isyarat. Isyarat tentang pembicaraan mereka di mobil beberapa hari lalu.

"Oke, dua hari." Wira berucap cepat. 

Wajah Wira tampak mengeras. Ia menutup bukunya dengan kasar. Tampangnya benar-benar tampak sombong dengan dagu terangkat. Seolah-olah, Lia hanya tikus kecil yang tak bisa apa-apa.

"Ngomong-ngomong, di BuyMe, selain ada toko buku kecil, kalian juga sudah punya beberapa toko buku besar juga." Wira melirik ke arah agendanya.

Lagi, Lia mengangguk kecil. Nada Wira menyiratkan ketegasan yang membuat siapa saja bergidik ngeri.

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang