61. Forever Here

39.2K 2.6K 21
                                    

Ada banyak hal yang terjadi di dunia ini. Ada banyak kejadian yang mungkin tak terelakan. Dari semua itu, kisah apa yang membuatmu menjadi dirimu yang sekarang? Setiap orang punya kisah yang berbeda, bukan?

Seperti kisah Wira yang mengalami masa gelapnya bertahun-tahun. Mencintai tanpa pernah tahu bentuk dari cinta. Menjalani hidupnya yang sekonyong-konyong hanya tercipta untuk satu orang yang salah. Terperangkap bertahun-tahun dalam sebuah angan yang tak terlihat. Hingga ia mencari arti cinta, kehidupan dan dirinya sendiri lalu menemukannya dengan cara yang tidak terduga. Aneh. Dunia itu aneh.

Lalu ada lagi anak manusia lain bernama Hazelia. Kisah cintanya tak ubah seperti bunga wijaya kusuma. Satu malam yang indah lalu mati. Cukup untuk mematikan hati sang puan hingga tak bersisa. Padahal, bentuknya begitu cantik jika mekar dengan penuh cinta.

Lalu, keduanya bertemu. Berjalan beriringan, mencari arti cinta yang sebenarnya seraya melewati terjalnya kehidupan.

Malam ini, Wira memacu tubuhnya di atas Lia. Ini mungkin bukan perayaan yang sesuai. Ada banyak hal yang ingin Wira lakukan. Mengajak Lia makan malam romantis, pergi kencan, dan sederet hal lain yang belum sempat terlaksana karena kesibukan.

Mungkin, nanti. Sekarang, seperti ini, cukup.

"Hazel, open your eyes," bisik Wira pelan. "Aku mau kamu lihat aku selama kita bercinta, are we clear?"

Lia membuka matanya dengan sayu lalu mengangguk sebisanya. Matanya menangkap Wira yang menatapnya dengan sorot lembut dan senyum yang memukau. Sesaat kemudian, Wira mendaratkan bibirnya di bibir Lia. Lidahnya melesak masuk, menyerang tanpa henti.

Mulut Lia terbungkam. Hanya erangan tertahan yang terdengar diiring dengan decapan. Lia menghela napas lega ketika Wira menarik bibirnya, tetapi sepersekian detik kemudian, ia kembali harus menahan napas karena serangan bibir Wira merangsek ke lehernya lalu turun ke dadanya.

Sentakannya tak berhenti dan Lia hanya bisa menyebut nama Wira bersamaan dengan hasrat yang membuncah. She wants him. She wants him over and over again. Lia tak akan pernah puas jika itu semua menyangkut Wira.

Tubuh terus berpacu bersama erangan yang mulai semakin menggila. "Mas Wira, damn! I'm coming."

Wira menggerakan tubuhnya semakin cepat. Berniat mereguk kepuasan bersama. Dalam satu dorongan, Wira menyentak Lia kuat-kuat bersamaan dengan kuku-kuku Lia yang menancap di punggung Wira. 

Lia masih memeluk Wira. Membiarkan getaran pada tubuh mereka usai dan napas yang memburu terdengar lebih beraturan. Ketika Wira mengangkat tubuhnya dan tatapan mereka bertemu, seulas senyum dilempar oleh keduanya.

"I promise you, this is just a beginning of our grandeur celebration later on." Wira mengecup ringan bibir Lia.

Lia terkekeh. Ia menggeleng pelan. "Tahun depan, kamu akan lebih sibuk. Aku nggak yakin kamu punya waktu buat what-so-called grandeur celebration. Lagian, buatku, ada kamu aja, itu udah lebih dari cukup."

Wira menggeleng. "Aku bahkan belum nembak kamu dengan layak atau ajakin kamu makan di restoran sambil confess dengan bunga."

"Mas, seriously?"  Lia mengangkat satu alisnya. "Kamu tuh bener-bener kayak anak SMA, tahu?"

Tawa Wira pecah. Ia memiringkan kepalanya. "I lost all of my youth days, jadi kurasa, ini jadi salah satu aksi payback-ku, deh!"

Kalimat itu terdengar riang, namun, terlalu dalam. Wira lost his youth days, indeed.

"Dengan bertingkah kayak gini?" Lia mencoba menetralkan suasana.

Wira mengangguk. "Dan dengan pacarin cewek yang lebih muda, biar bisa ngerasain pacaran kayak anak umur dua puluhan."

Lia tergelak. Wira dan tingkahnya selalu membuat dirinya tertawa. Namun, di balik semua sikap lembut, manis dan cengengesan yang ditunjukan, ada jiwa yang terluka. Jiwa yang mendambakan kehidupan cinta yang sebenarnya. Dan Lia berjanji, ia akan berada di samping Wira.

Wira mengerling ketika melihat Lia. Tubuhnya merunduk. Ia kembali menciumi perempuan di bawahnya. Hasratnya mulai mengebu lagi padahal baru saja usai beberapa menit yang lalu. Lia candu. Amat candu. Perasaan itu bukan sekadar nafsu semata. Ia tahu, ada perasaan berbobot lebih. Mereka bukan mengejar kepuasan sendiri, masing-masing ingin menyenangkan satu sama lain.

Wira menjauhkan bibir sejenak untuk mengambil napas. Ia ingin menyapukan bibirnya lagi ke bibir Lia sebelum...

"Mas Wira, Kamu tahu ripples of consequences?" 

Demi Tuhan! Wira ingin menepuk dahi kalau tangannya tidak menumpu untuk menjaga tubuhnya berada di atas Lia. Saat ini, Setelah semua hal yang terjadi selama ini, Wira ingin benar-benar merayakan kebebasannya. Tetapi, Lia malah tiba-tiba menanyakan hal tersebut di sela ciuman mereka.

"Hm? Kenapa tiba-tiba nanya begitu, Hazel?" Wira memicingkan mata.

"Aku lagi kepikiran," jawab Lia. Ia mengulurkan tangan. Jari jemarinya menelusuri wajah Wira. Dari dahi, ke mata, hidung hingga bibir. 

Wira menggeleng pelan. Ia berguling Tangannya terulur, mengarahkan Lia agar bisa masuk ke dalam rangkulannya.

"Ripple of Consequences, riak konsekuensi?" Wira malah menerjemahkan.

Lia mendesis. Ia memutar bola matanya karena sebal. "Iya, maksudnya, maknanya, Mas Wira."

Wira menghela napas. Kenapa pembicaraan seperti ini selalu terjadi di ranjang? Di tengah pergulatan panas dalam mereguk kepuasan. Aneh, memang. Tetapi, itu yang terjadi.

Ia menengok ke arah Lia lalu menggeleng. "Aku nggak mengerti. Mungkin, segala sesuatu yang kita lakukan sekarang akan punya dampak ke dalam urutan hal yang akan kita dapatkan atau yang terjadi setelahnya? Begitu?"

Dagu Lia terangguk. Ia menatap ke arah jendela yang menampilkan gedung-gedung tinggi itu. Sejenak, Lia kemudian memandang ke sekeliling ruang apartemen tersebut.

"Sekarang, setiap kali aku ke sini, aku merasa... sentimental." Lia menarik napas.

"Karena?"

"Tempat ini jadi tempat spesial buat kita." Lia mengangkat bahu. "Kadang, aku mikir hidup itu lucu."

"Hm?"

"Kalau aku nggak tahu Bryan jadiin aku selingkuhan, aku nggak akan ketemu kamu." Lia bertutur. "Dan kalau aku nggak ke bar itu, aku nggak ketemu kamu."

"Kalau aku nggak diselingkuhin Stefani, aku mungkin nggak akan ke bar itu sendirian. Dan kalau aku nggak dengan gilanya nyium kamu dan bawa kamu ke sini, kita nggak akan pacaran," sambung Wira.

Lia terkikik. Wira selalu lihai dalam menjawab semua kata-katanya.

"Things happened for reasons." Wira menyimpulkan. "Hal-hal yang kita kutuk karena terlihat dan terasa buruk, pada akhirnya berbuah menjadi sesuatu yang manis. It was the hell long ride but all things are paid off. Kamu yang sekarang ada di sini, I can't ask for more than this, Hazel."

Lia menarik napas. Ia berpikir, dirinya yang akan berkata seperti itu duluan, tetapi, Wira sudah mengutarakannya. Perempuan itu memeluk Wira.

"Mas, aku cinta kamu."

Kalimat itu meluncur setelah sekian lama hubungan itu berjalan. Wira membelalak. Raut bahagia tampak nyata darinya.

"Kenapa kamu?" tanya Lia bingung.

"Ini pertama kalinya kamu bilang kalau kamu cinta aku." Wira menjawab dengan nada pura-pura terharu. Ia bahkan pura-pura menyeka air mata yang langsung dapat cubitan di pinggang dari Lia.

"Nyebelin banget, sumpah!"

Wira tertawa. Ia mendekap Lia seerat yang ia bisa. "I love you too, Hazelia. Aku cinta kamu. Now and forever, you always be here." Lelaki itu mengambil tangan Lia, meletakan di dadanya. Lalu setelahnya meletakannya di pelipisnya. "And here. It always be you, Hazel. It's you and me. It's us."

Lelaki itu kembali mendekap sang puan sebelum menciumnya mesra. Akan ada banyak hal yang mungkin terjadi setelah ini. Mungkin, lebih berat dan terjal daripada apa yang mereka lalui sekarang.

Tetapi, janji itu tetap sama; bersama, selamanya.

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang