Sudah sejak pagi buta, Lia berada di Golf Island, Pantai Indah Kapuk. Bukan tanpa sebab. Pagi ini, tepat pukul sepuluh, konferensi pers peluncuran dan afiliasi Time Tales dengan BuyMe akan diadakan di toko Time Tales cabang Pantai Indah Kapuk yang baru saja buka setengah tahun lalu sebagai upaya Wira di awal tahun untuk mempertahankan bisnisnya itu.
Tubuh Lia tak hentinya bergerak bagai setrika. Ia mengurus ini dan itu. Padahal konfrensi pers ini diadakan oleh tim Time Tales, bukan dari BuyMe. Walaupun ada Dewi, Senior Public Relations dari BuyMe serta Martha dari grup Adhyaksa, rasanya Lia masih kerepotan memastikan semuanya berjalan dengan sempurna. Terutama hal-hal yang menjadi porsi BuyMe seperti landing page, media sosial, kuota voucher dan produk yang terunggah.
"Santai, Lia. Semua udah rapi, kok." Dewi menenangkan.
Lia menghela napas. Time Tales adalah proyek yang penting. Bukan hanya karena ini adalah proyek besar, tetapi karena ada Wira di dalamnya.
Lelaki itu mempertaruhkan banyak hal untuk Time Tales karena toko buku ini adalah medium satu-satunya yang menghubungkan lelaki itu dengan ibunya. Dan, kerjasama dengan BuyMe adalah satu-satunya serta opsi terakhir Wira untuk mempertahankan Time Tales.
Lia menghela napas sambil memerhatikan kembali panggung kecil yang sudah disusun. Acara sebentar lagi akan dimulai. Ia memerhatikan Wendy yang baru saja datang sebagai narasumber dari BuyMe.
"Bu Wen!" Lia melambaikan tangan.
Wendy tersenyum tipis. Dengan gayanya yang bak sosialita, ia berjalan ke arah Lia. Wanita itu masih terus saja memikat siapapun di usianya yang sudah empat puluh akhir.
"Baru kamu sendiri? Tiwi mana?" tanya Wendy bingung.
"Mbak Tiwi masih di jalan, kejebak macet. Rumahnya kan jauh di Bekasi." Lia menjelaskan.
Wendy menganggukan dagu. Pandangannya menyisir sekitar.
Di sela pembicaraan, tiba-tiba, terdengar suara detakan hak tinggi. Lia menengok. Matanya menangkap seorang wanita berusia empat puluhan awal yang berjalan ke arahnya dan Wendy. Ia mengenakan gaun kasual berbahan rajut warna biru tua, seolah tepat dengan cuaca akhir-akhir ini yang selalu mendung. Rambutnya yang kecokelatan di-blow keriting. Senyumnya begitu ramah dan memesona siapapun yang lewat.
Martha berada di belakang wanita itu. Tergopoh-gopoh dengan gestur agak merunduk.
"Pagi," ucapnya hangat. "Mbak Wendy, ya? Saya Salsabilla, bisa dipanggil Salsa, Head of Public Relations-nya grup Adhyaksa. Boleh kita bicara sebentar? Kami butuh briefing Mbak Wendy sebentar untuk key point yang mau dibicarakan pada sesi konferensi pers ini. Bareng Mbak Dewi juga kalau boleh, biar selaras."
Lia memberikan senyum sopan serta mengangguk seolah memberi ucapan sampai bertemu pada Wendy dan Dewi yang mau tak mau harus pergi. Ia berdiri dengan kikuk. Sementara, Martha, Dewi dan Wendy meriung bertiga di ujung lain ruangan, Salsa rupanya masih bergeming di sebelah Lia.
"Mana Wira?" tanya Salsa cepat. "Dia belum datang kok, ya?"
"Hah?"
"Kamu nggak pergi sama dia?" tanya Salsa lagi.
Lia mengerjapkan mata sejenak. "Itu... nggak, Bu. Eh..." Ia kikuk. Bingung harus bersikap bagaimana.
"Nggak usah panggil 'Ibu'. Santai aja, kali!" Salsa mengibaskan tangannya.
Lia menegak ludah sambil mengangguk. Salsa tak semenyeramkan Gayatri ketika di pesta. Tetapi ketika di sini, ia tak ada bedanya.
"Jadi, kok nggak bareng?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lead Magnet
RomanceADHYAKSA SERIES no. 5 🌼 *** Lead Magnet (n.) An incentive to attract and capture potential customer. Lia--Hazelia Salim--nyaris jantungan ketika ia tahu, kekasihnya, Bryan ternyata sudah berpacaran dengan Lidya Kani Melatika, putri pemilik perusah...