18. Failure

36.8K 3.6K 53
                                    

Jadi begini. Harusnya, bagian ini ada di part sebelumnya. Nggak tahu kenapa nggak ke save dan pas ke publish cuma yang itu. Untung masih ada salinannya. Sorry ya jadinya malah kayak anti klimaks banget itu part sebelumnya.

*

Lia mengalihkan perhatiannya dengan mengaduk-aduk mangkok yang nyaris kosong. Tak ada yang bisa ia ucapkan selain dengungan tak jelas. Lagi, keadaan berubah menjadi canggung. Setidaknya, untuk Lia yang tidak bisa bertingkah. 

Dari sudut matanya, Lia bisa melihat Wira yang dengan santainya memangku dagu. Lelaki itu sudah berulang kali menyatakan perasaannya. Perasaan yang menurut Lia invalid. Ia pernah merasakannya dengan Bryan dan sadar, itu bukan cinta.

Seharusnya, cinta tak seperti itu.

"Aku punya ekspektasi tinggi sama kerjaanmu ya, Hazel," kata Wira tiba-tiba. Walaupun diucap dengan santai, nada itu begitu tegas. "Biarpun tadi, lumayan mengecewakan. Tapi, aku maklumi karena cuma dikerjain kurang dari lima jam."

Lia memutar bola mata. "As long as kamu nggak semenyebalkan kakak-kakakmu, sih."

"Menyebalkan gimana?" balas Wira. "Kamu bahkan belum ketemu mereka."

"Bukan personal," sergah Lia buru-buru. "Adhyaksa terkenal ribet kalau urusan kerjaan."

"Itu karena kami semua perfeksionis," jawab Wira membela.

"Berarti, kamu juga?"

"Well, aku paling perfeksionis di antara yang lain," kata Wira santai sambil memasukan mi ubi ke dalam mulut.

"Lebih dari kakakmu?" tanya Lia membelalak tak percaya. Gaya Wira yang asal-asalan membuat Lia masih meragukan kredibilitas lelaki itu.

"Kakakku yang mana?" balas Wira. "Kakakku banyak! Sampai pusing kalau lihat mereka semua."

"Pak Darmantara yang pegang DigiPro," Lia memperjelas ucapannya. "Kakak kandungmu kan cuma dia."

Wira tersenyum miring. "Oh, Mas Darma." Ia diam sejenak bahkan menjeda makannya. "Kamu tahu, DigiPro itu unit usaha baru Adhyaksa. Sama seperti Time Tales, DigiPro juga bukan usaha waralaba. Kayaknya, memang anak-anak Papaku itu kerjaannya bikin usaha baru dan malas cari waralaba ini dan itu."

Lia mengerutkan dahi. Tidak mengerti maksud Wira.

"Karena unit usaha itu bukan waralaba, jadinya, membangunnya nggak mudah. Bangunnya dari nol. Apalagi, usaha ini adalah toko distribusi resmi Apple. Mereka butuh modal yang nggak sedikit juga bahkan untuk membeli lisensinya," jelas Wira panjang lebar.

"Mas Darma itu rese, soalnya modal buat bikin DigiPro paling besar di antara yang lain. Aku inget banget, dia ngotot-ngototan biar bisa dikasih ijin. Jadinya, Dia nggak mau rugi atau gagal yang berakibat dengan pencabutan posisi. Well, we are all do not want it either." Wira diam sejenak. "Hm, kecuali, Mas Arjuna, deh! Dia mah, bapaknya lebih kaya dari kita bapak-bapak kita semua! Dia masuk ke Adhyaksa karena nggak suka ngerjain usaha batu bara."

Lia tiba-tiba kelu. Penjelasan Wira membuat perempuan itu terdiam.

"Kami saudara, tapi kami semua saingan. Siapa yang bisa lebih banyak menguasai brand  di bawah Adhyaksa, atau siapa yang bisa mendapatkan omset paling banyak. Semacam itu." Wira mengangkat bahu. "Ya, persaingan udah biasa banget sih di antara kita. Biarpun saling ngejagain satu sama lain juga, kita nggak boleh sampai kalah."

Ketika Wira menyelesaikan pembicaraannya. Lia tak membuka mulut. Ia diam sejenak. Membiarkan suara-suara obrolan orang lain atau dentingan alat makan memenuhi indra pendengaran.

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang