Kaki Wira melangkah dari kamar mandi dengan handuk di kepala. Ia masih tidak mempercayai penglihatannya ketika membuka pintu kamar dan bertemu dengan Lia di dapur.
Lia di sini. Hazel-nya di sini.
Lagi, kaki Wira bergerak cepat. Tangannya menarik Lia, memeluk perempuan itu dengan begitu erat. Ia tidak peduli jika Lia masih membereskan dan mencuci piring dengan tangan basah.
"Mas..." Lia berusaha menggeliat, memisahkan diri. "Peluk-pelukan mulu, deh."
"Aku masih kangen. Bentar, sih! Lima menit!"
Lia menggerutu namun membiarkan Wira memeluknya. Perasaan hangat terasa mengalir di dada. Ia sama rindunya dengan Wira.
Mata Wira masih melirik ke arah Lia yang berada di dalam pelukannya. Tangannya memeluk perempuan itu kian erat untuk memastikan bahwa dirinya tidak sedang bermimpi.
"Kamu kok bisa di sini?" tanya Wira kebingungan. Ia masih tidak percaya dengan keberadaan Lia yang baru saja datang itu.
Tangan Lia berada pada dada Wira, mendorong pelan agar bisa mengurai pelukan dan mendongak untuk menatap wajah kekasihnya. "Kak Diki—kakak iparku—harus balik ke Jakarta karena cuma dapat cuti tiga hari. Jadi, aku sekalian ikut juga."
"Kamu katanya mau ngehabisin waktu sama orangtua kamu!" Wira menjawil pipi Lia.
Lia hanya tertawa-tawa kecil. "Sebentar doang. Weekend nanti, aku balik lagi." Ia menjeda ucapannya. "Sama kamu."
Wajah Wira bersemu merah. Ia tak bisa menyembunyikan senyumnya.
"Aku nonton press conference kamu kemarin." Lia berkata lagi. Ia mengambil tangan Wira. Memegangnya erat-erat. "Are you okay? Wajahmu nggak banget di sana."
Wira untuk pertama kalinya diam. Ekspresi cengar-cengir cengengesn yang biasanya ia tampilkan menghilang. Sebagai gantinya, wajah itu begitu tegang.
"Kamu mengakui bahwa video itu adalah kamu di depan banyak orang. Apa kamu baik-baik aja?" tanya Lia lagi. "Ya, sebenarnya, aku nggak perlu nanya ini, tapi..." Ia mendongak. Tangannya menangkup kedua pipi Wira. Tak ada kata sesudahnya. Menggantung begitu saja.
Wira menarik napas lalu menghelanya berat. Kepalanya menggeleng perlahan. Ia tak butuh berbohong di depan Lia. Kalau keadaannya buruk, ia akan mengakuinya dengan suka rela. Untuk apa berpura-pura kuat pada satu-satunya orang yang bisa menerimamu dengan apa adanya?
"No, I'm not." Wira menjawab lugas dan jujur. Lelaki itu mengambil napas. "But, that's okay. Keputusan ini udah jadi langkah terbaik setelah diskusi sama semua orang."
Dahi Lia berkerut. Ia memasang tampang bingung.
"Mbak Salsa bilang, dalam teknik perhumasan, ketika kesalahan kita terkuak, hal paling penting, pertama dan terutama bukan mengelak, tapi mengaku. Percuma kita membela diri, ujungnya, kesalahan akan terbuka dan kamu akan semakin kena cecar." Wira mengambil napas. "Dan itu yang kami lakukan. Aku harus mengakui bahwa orang di dalam video itu adalah aku."
Lia menghela napas. Ia tidak tahu menahu terkait perhumasan. Jadi, mungkin, memang itu strategi yang paling baik.
"Dengan mengakui, simpati masyarakat akan lebih besar ketimbang kita terus berkelit. Seenggaknya, itu yang Mbak Salsa bilang sama aku." Wira berucap lagi. "Sekarang, kalau menurut Mbak Salsa, sentimen yang terjadi di publik cukup positif. Beberapa orang mulai menyerang Stefani, menjadikan dua kubu setelah sebelumnya, aku dirujak habis-habisan oleh para warganet yang terhormat itu."
"Kakak-kakakmu, gimana?"
"Mereka ikut keputusan Mbak Salsa karena Mbak Salsa yang lebih ngerti. Mereka tinggal melakukan bagian mereka masing-masing: diam dan jangan berkomentar apa pun."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lead Magnet
RomanceADHYAKSA SERIES no. 5 🌼 *** Lead Magnet (n.) An incentive to attract and capture potential customer. Lia--Hazelia Salim--nyaris jantungan ketika ia tahu, kekasihnya, Bryan ternyata sudah berpacaran dengan Lidya Kani Melatika, putri pemilik perusah...