15. Different One

38K 3.4K 73
                                    

Sedari tadi, seusai rapat sekitar setengah dua belas, alih-alih pergi makan siang seperti orang-orang lain, Lia duduk di kursi dengan wajah tertekuk. Waktunya semakin sedikit dan ia tak mungkin ikut rapat dengan tangan kosong.

Jadi, ketika satu setengah jam yang lalu Rana mengajaknya makan siang ke Abura Soba di Grand Indonesia, Lia langsung menolak dan memilih makan nasi kotak dari katering yang telah disediakan kantor.

Rough idea! Apa yang harus Lia lakukan? Lia bahkan tidak tahu harus memulai dari mana. Layarnya hanya menampilkan slide PowerPoint kosong tanpa isi.

"Lo beluman makan siang?" Suara bernada tinggi memecah konsentrasi Lia.

Lia mendongak. Ia mendapati Rana sudah kembali dari jalan-jalan singkatnya. Wajahnya lalu menoleh ke arah nasi kotak yang belum disentuh. Saat melihat jam di ujung kanan, waktu sudah menunjukan pukul setengah dua.

Kantornya memang tidak seketat orang-orang dalam hal jadwal makan siang. Toh, kebanyakan dari karyawan bekerja nyaris dua belas jam sehari.

"Orang Time Tales mau meeting sama Pak Syailendra hari ini jam tiga, tapi baru ngasih tahu tadi," gerutu Lia. "Dan gue harus present ide gue ke mereka."

"Tahu bulat banget!" komentar Rana.

"Nggak tahu, deh! Suka-suka mereka!"

Dalam hati, Lia kesal setengah mati. Ia tahu, ia harus membedakan personal dan profesional. Tetapi, orang yang akan mengadakan rapat dengan Syailendra adalah Wira. Dan Wira—mengenal—Lia. Nah, they even slept together.

Apakah Wira tidak bisa sedikit saja berperikemanusiaan dengan tidak melakukan aksi semena-mena seperti perusahaan kakak-kakaknya yang super menyebalkan itu? Atau memang darah menyebalkan dari keluarga Adhyaksa mengalir juga di dirinya?

"Adhyaksa, ya?" Suara lain menyahut. Ada Erika, rupanya. Perempuan berkulit eksotis itu menunjukan wajah prihatin seolah mereka adalah teman sepenanggungan.

"Siapa lagi?" gerutu Lia. "Gue jadi ngerti kenapa lo benci banget sama mereka."

Lia tahu, sebagai tim campaign kategori Fesyen Wanita. Erika paling sering bermasalah dengan tim Adhyaksa. Apalagi, ada dua kepala yang mengatur brand fesyen wanita di Adhyaksa.

Erika tertawa mendengar dumalan Lia. "Akhirnya, ada yang bisa diajak adu nasib lagi," balasnya. "Setiap orang akan berurusan dengan Adhyaksa pada waktunya, Li. Welcome to the club!"

Lia mendengkus sebal. Ia sudah gumoh karena terlalu sering mendengar cerita jelek soal perusahaan satu itu.

"Adhyaksa mana yang jadi urusan lo?" tanya Erika lagi.

"Wira..." Ada yang mengganjal saat menyebut nama lelaki tersebut. "Wiranata. Adiknya, Darmantara."

"Dharmantara yang pegang DigiPro, yang toko handphone itu?" Erika menaikan nada dan langsung melirik Irfan yang duduk beberapa meja di sebelah. "Fan! Coba testimoninya punya urusan sama Darmantara!"

Irfan—yang berwajah selalu mengantuk—menengok. Untuk kali ini, mata sayu itu membelalak. "Seriusan? Dari semua orang? Adiknya Darma? Good luck, deh!"

Lia tak perlu mendengar testimoni apapun dari Irfan. Dari semua tim campaign yang pernah berurusan dengan Adhyaksa, Irfan yang paling sering gontok-gontokan, bergadang bahkan menginap di kantor cuma karena pekerjaannya tertahan atau butuh revisi tambahan.

"Kalau sifatnya sama kayak kakaknya, mendingan lo minta partner buat bantuin," usul Irfan. "Bisa mati berdiri kalau nggak kayak gitu."

Lia menggigit bibir. Maunya juga begitu. Tetapi, cuma ada dua orang tim campaign yang bertugas di Home & Living, Lia dan Yessy. Jika Lia fokus di dalam proyek Adhyaksa, lalu ikut menarik Yessy, nantinya siapa yang akan mengerjakan proyek 11.11 yang super repot itu?

"Udah ah, jangan ganggu! Gue mau kerja!" Lia mengibaskan tangannya lalu kembali berkutat pada laptop. Menyumpal telinga dengan headset, ia mencoba untuk fokus pada kerjaannya.

Presentasi seadanya yang bisa Lia kerjakan selesai tepat setengah tiga. Rough idea. Ini benar-benar rough. Ia harap, ia tidak sedang mempermalukan dirinya sendiri—atau lebih buruknya, mempermalukan bosnya—dengan presentasi ini.

Jam menunjukan pukul tiga kurang sepuluh ketika Rana mengetuk-ngetuk pelan meja Lia guna perempuan itu melepas headset yang menyumpal telinga.

"Apa?" tanya Lia bingung.

Rana melirikan mata ke balik punggung, membuat Lia mengikuti arah pandang sahabatnya. Jantungnya terasa berhenti sepersekian detik begitu melihat orang yang dimaksud Rana.

"Itu Pak Syailendra jalan sama Wira Wira itu?" bisik Rana pelan.

Lia menengok ke arah lain dan berusaha menyibukan diri. Ia berharap tak bersitatap dengan Wira sama sekali apalagi sampai ketahuan tengah memandangi Wira seperti orang gila.

"Masih muda, ya? Ganteng lagi," lanjut Rana berkomentar. "Kayak CEO di film-film."

Secara refleks, Lia melirik kembali ke arah Wira. Lelaki jangkung itu tampak kontras dengan karyawan-karyawan BuyMe yang berpakaian santai.

Sejenak, Lia kemudian menengok kembali ke arah Rana. Apa perempuan itu sadar siapa lelaki yang tadi datang? Apa kemarin dia juga benar-benar mabuk seperti yang Wira ceritakan?

"Tapi, ngapain dia di sini?"

Mana dia tahu? Lia menggeleng. "Mungkin, mau meeting di ruang situ," ucap Lia sambil menunjuk ke arah salah satu ruang rapat internal yang terletak di dekat area kerja mereka.

"Ngapain? Kan di sini ruang rapat internal!" balas Rana. "Kalau rapat sama external biasanya di bawah, kan?"

"Mungkin, ruang rapat di lantai dua penuh. Kan, meeting-nya dadakan." Lagi, Lia mengangkat bahu.

Ia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Dari yang bisa dilihat, sepertinya Syailendra tengah menjelaskan Wira apa-apa saja yang berada di lantai ini. Seperti sebuah office tour.

Seketika, Lia terdiam. Ingatannya kembali ke percakapan dengan Wira di mobil. Ke pembicaraan terkait rasa penasaran Wira yang menggebu terhadap perusahaan-perusahaan rintisan berbasis teknologi seperti ini.

"Nah, ini tim campaign." Belum selesai Rana dan Lia bergosip, suara Syailendra terdengar saat memasuki kubikel mereka.

Rana dan Lia buru-buru memasang tampang pura-pura sibuk ketika langkah Syailendra semakin mendekat. Suara notifikasi Teams tampak dari ujung layar.

"Office tour, kayaknya?" Rana yang mengirim pesan.

Lia mengangkat bahu sambil menggeleng cepat. Perempuan itu kembali memerhatikan Wira yang seperti anak SD tengah dituntun ke kebun binatang. Sebuah keputusan yang salah karena kini, mata keduanya bertatapan di udara.

Senyum kecil merekah di bibir Wira. Lelaki itu kemudian kembali menghadap Syailendra. Lia tak tahu apa yang mereka bicarakan, sambil melangkah. Namun tepat ketika berada di depan meja Lia, Wira menghentikan langkah.

Wira sengaja memutar tubuh agar semua orang sadar bahwa dirinya menatap Lia. Gestur yang mau tak mau membuat Lia harus mengangguk sopan padanya.

"Hai," sapa Wira dengan penuh kepercayaan diri. "Yang kemarin datang sama Bu Wendy, kan?"

"Oh, iya, ini Lia. Kemarin sudah ketemu, ya? Hari ini, Lia bakalan ikut gabung meeting kita." Syailendra buru-buru memotong masuk.

Lia mau tak mau cuma meringis sembari mengutuk kemampuan akting Wira yang mumpuni.

"Ya, ya, ya. We've met already." Wira memasang senyum yang dibuat-buat.

"Kamu sudah selesai semua kan, Li?" tanya Syailendra memastikan.

"Su-sudah, Pak."

"Kalau gitu, ayo! Sekalian kita meeting di ruang sana." Syailendra menunjuk ruangan yang sedari tadi dicurigai akan dipakai untuk meeting bersama Wira.

Lia mau tak mau kembali mengangguk seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Ia menutup laptop seraya Syailendra dan Wira sudah lebih dahulu berjalan. Mata gadis itu bersitatap dengan Rana yang juga memasang wajah canggung.

"Good luck," bisik Rana yang hanya dijawab ringisan dari Lia untuk ke sekian kalinya.

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang