14. A Regret Not To Kill Him

45.5K 3.4K 40
                                    

Weekly meeting selalu jadi momok paling panas setiap minggunya. Bukan tanpa sebab, tentu saja. 

Tiga jam dalam ruangan dingin itu seperti pembagian rapot untuk semua merchandiser. Apakah mereka sudah mencapai target? Berapa yang perlu dicapai jika belum? Bagaimana prediksi dan runrate di akhir bulan? Semuanya tampak begiitu mencekam. 

Apalagi kalau sudah mendekati akhir bulan, semua orang mulai kelabakan. Ditambah lagi, jika ada campaign besar seperti 10.10 kemarin. Tuntutannya akan jauh lebih besar.

Kalau sudah kepepet karena takut tidak dapat insentif bulanan, para merchandiser akan langsung menemui Lia. Meminta dibuat promo ini dan itu atau mendesak agar bisa masuk ke salah satu slot di homepage dan channel lainnya.

Kali ini, rapat lebih spesial karena dihadiri oleh Syailendra, Group Category Manager yang langsung berada di bawah CEO. Tentu bukan sembarang agenda yang mereka bicarakan. Kali ini, Tiwi tengah mempresentasikan rencana pembukaan gerai daring Time Tales di BuyMe dan proyeksi yang bisa diraup.

Tentu semua itu tak lebih dari omong kosong. Semua orang tahu, Time Tales sudah berada di batas garis finisnya. Dead end. Sekarang, Lia mengerti apa yang dimaksud dari Wira tempo hari.

Masuknya Time Tales tidak akan menguntungkan, malah menambah beban tim. Memang, Time Tales punya reputasi yang bagus. Sayangnya itu dulu. Dulu, sekali.

Tetapi, tak ada yang bisa menolak Time Tales masuk ke dalam BuyMe. Karena ternyata BuyMe punya koneksi khusus dengan Adhyaksa.

Jadi yang bisa dilakukan adalah menerima Time Tales dengan dua alasan. Pertama, menjaga relasi dengan merek-merek besar di bawah Adhyaksa. Dan kedua, menanamkan pikiran bahwa BuyMe punya toko buku impor karena sebelumnya kalah tender dalam Big Bad Wolf yang kini membuka toko eksklusif di e-commerce saingan.

"Kurang lebih, begitu sih proyeksi untuk Time Tales," ucap Tiwi mengakhiri presentasi. "Untuk campaign-nya, bisa dijelaskan ya, Lia."

Lia yang sadar bahwa sudah gilirannya presentasi mengangguk dan cepat-cepat mengambil kabel yang disodorkan Tiwi untuk dicolok ke laptopnya.

"Saya dapat kabar dari Pak Wira, Brand Director-nya Time Tales, dia minta percepatan jadi soft launching di 11.11." Suara parau Syailendra membuat Lia bahkan membeku sejenak.

"Hah?" Sangking kagetnya, Lia sudah tak peduli jika ia dicap kurang ajar pada lelaki berusia empat puluhan di hadapannya itu.

"Pak Wira baru chat saya pagi tadi. Dia bilang, mau bikin soft opening 11.11 nanti," ulang Syailendra. "Baru bikin grand opening 12.12."

Tiwi dan Lia sontak memeriksa kalender bersamaan. Sekarang sudah tanggal 28 Oktober. Kurang dari dua pekan untuk mereka mempersiapkan soft opening.

Lagipula, terminologi soft opening terasa begitu aneh untuk e-commerce. Memangnya ini toko fisik? Dasar om-om!

Kini, Lia menggeram dalam hati. Kalau ia bisa, ia ingin mencekik lelaki itu saat ini juga. Sepertinya setelah ini, kalau ia sudah benar-benar kesal. ia bisa memaki-maki Wira di telepon terlepas dari itu ponsel kerja yang mungkin dilihat asisten pribadinya.

"SKU-nya Time Tales itu ribuan loh, Pak." Tiwi yang lebih senior buru-buru menyergah.

"Nggak harus komplit. Yang penting ada tokonya dulu di kita, pakai layout standar, Anchor-nya nyusul. Sembari mereka masukin SKU. Katanya, mereka sudah siapin dua ratus SKU. Nanti, minta uploader kita juga bantuin."

DUA RATUS!? Lia membelalak. Ia memang awam dalam dunia merchandising tetapi Lia yakin, mengunggah dua ratus SKU cukup bikin engap.

"Mereka mau gelontorin 50 juta buat soft launching.

Mendengar angka 50 juta, mata Lia membelalak. Yang ini yang dia suka.

"Dari semua perusahaan Adhyaksa, baru kali ini yang ngasih uangnya nggak pelit," lanjut Syailendra. "Yang lain memang lebih besar, tapi AOV nya juga besar, jadi rasionya tetap kecil."

Lia tersenyum tipis. Ia tahu betapa frustasinya Wira dalam mengerjakan Time Tales. Jadi, sudah bisa dipastikan lelaki itu akan melakukan apapun.

"Pak Wira bilang mau meeting nanti sore jam tiga, dia minta kamu ikut, Lia." Syailendra kembali melanjutkan. "Sekalian kamu present kira-kira rough idea kamu buat soft opening-nya kayak apa."

Lagi, Lia memeriksa jam di ujung kanan layar. Lia hanya punya kurang dari lima jam untuk memikirkan ide apa untuk soft opening atau apalah namanya itu?!

Oke, Lia benar-benar akan membunuh Wira.

"Waktu kita nggak banyak, saya nggak mau kita ngecewain Pak Wira. Apalagi, dia sebenarnya owner yang turun langsung," pungkas Syailendra lagi.

Lia menarik napas sambil meremas angin. Wira benar-benar membuatnya gila.

"Oh ya, satu lagi, Lia." Syailendra berucap tiba-tiba.

Lia memiringkan kepala. Ia menunggu dengan cemas.

"Saya mau kamu fokus ngerjain proyek ini. Kamu tahu kan ini bukan proyek main-main."  Nada Syailendra begitu mencekam. Beliau memang dikenal bertangan dan hati dingin. "Saya sudah bilang Dani, Head Team Campaign kalau untuk sementara kamu akan fokus untuk ngerjain campaign Time Tales sampai akhir tahun."

Kini, dagu Lia nyaris jatuh. Ia pernah beberapa kali mendengar soal ribet dan pusingnya berurusan dengan merchant partner dan brand dari grup Adhyaksa. Setiap kali ada lini perusahaan dari grup tersebut yang akan membuka toko di BuyMe, pasti akan ada satu tumbal yang jadi representatif untuk mengurusi kampanye pemasaran mereka.

Siapapun tim dari grup Adhyaksa selalu punya tuntutan tinggi. Tak hanya itu, karena merek dagang yang mereka bawa juga merupakan waralaba atau lisensi, keputusan harus menunggu hingga ke pemilik merek dagang.

Lia ingat betul, Andrea—salah satu tim campaign di bagian Sport yang pernah mengurusi salah satu merek sepatu olahraga yang berada di bawah naungan Adhyaksa—sampai menginap di kantor karena tidak ada  kejelasan sampai jam dua dini hari terkait desain banner yang harus dinaikan padahal landing page sudah harus tayang jam sepuluh pagi.

Pernah satu waktu, ada brand fesyen wanita dari grup Adhyaksa itu punya citra mewah yang tidak boleh dirusak. Sehingga, perhitungan cost ratio pada diskon harus menunggu persetujuan terlebih dahulu agar tidak terkesan banting harga. Akibatnya, Erika yang menjadi PIC dalam kampanye tersebut harus rela dimaki-maki tim Finance yang bertugas men-generate voucher karena meminta perubahan rasio voucher yang mendadak.

Ribet dan menyebalkan. Itu yang selalu orang-orang katakan tentang proyek yang bersinggungan dengan Adhyaksa. Kendati demikian, ketika sudah berjalan katanya, semua akan jauh lebih mudah.

"Nanti kamu diskusi saja sama bosmu itu, siapa yang kelimpahan tugas untuk campaign 11.11 Home & Living," pungkas Syailendra.

Lia mengangguk. Ia tidak tahu harus berterima kasih atau bagaimana. Di satu sisi, itu artinya ia tidak harus mengerjakan proyek campaign kategori, tetapi di sisi lain, perusahaan pasti menuntut hal lebih dari sekadar ide kampanye pemasaran biasa.

Kini, Lia hanya bisa menghela napas. Kira-kira, apa yang Wira tuntut dan mau darinya?

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang