25. I Don't Give A... What?

38.8K 3.6K 67
                                    

Walau katanya Lia diminta untuk fokus kepada proyek Time Tales, kenyataannya, tak langsung terjadi demikian. Seperti pagi ini, Lia diminta untuk ikut serta dalam rapat bersama Dullin Pan—salah satu merek panci—yang rempong-nya setengah mati. Katanya, Dullin Pan hanya mau dipegang oleh Lia saja dalam kampanye-nya.

Cukup membuat tersanjung. Tetapi, cukup membuat kerepotan. Karena itu artinya, pekerjaan Lia jadi bertambah.

Berbeda dengan Time Tales yang memang dimiliki oleh perusahaan besar, Dullin Pan yang sejatinya cuma usaha sepasang suami istri memang punya kendala tersendiri. Selain karena keputusan dan dinamikanya kurang profesional, anggraran biaya promosinya juga serba mepet.

Seperti hari ini, contohnya. Eva sudah memijat pelipisnya karena tidak mencapai titik temu terkait harga jual. Dullin Pan tidak mau menurunkan harga barang selama 11.11 khusus untuk BuyMe. Padahal, dalam perjanjian, mereka menyanggupi harga produk mereka setidaknya sepuluh persen lebih murah di BuyMe daripada platform lain.

Sebagai gantinya, mereka akan memberikan anggaran untuk voucher sepuluh persen. Namun, voucher punya maksimal penggunaan dan penggunaan voucher kurang menarik daripada harga yang dipotong langsung.

Lia yang tidak terlalu mengerti hanya menonton sambil mengurus pembuatan mock up microsite untuk soft launching Time Tales sebelum diperiksa feasibility-nya dari tim UI/UX. Jika dirasa layak dan bisa dikerjakan, barulah mock up itu akan dikirim ke Sesil—menyertakan Wira, tentu saja—untuk meminta persetujuan.

"Bu, kalau harganya nggak bersaing, kami susah loh ngasih banner di homepage," ucap Eva menengok ke arah Lia. "Iya, kan, Li?"

Lia tergagap begitu dipanggil. Ia mendongak dari layar laptop. "Iya, Bu. Kami kan harus bidding dan nego juga ke tim homepage untuk taruh banner. Kalau nggak bagus deal-nya, nanti mental." 

Kalimat klasik. Pernyataan ini seperti hapalan mati untuk tim campaign sebagai bahan untuk menakut-nakuti brand. Karena sebenarnya, setiap kategori sudah punya slotnya sendiri, tinggal Lia yang menentukan, mau memasukan materi promosi yang mana.

Linda, salah satu pemilik Dullin Pan, hanya bisa menghela napas. "Kalau gitu, nanti kami hitung dulu deh, ya," ucapnya menutup rapat yang tak menemukan ujungnya tersebut.

Eva mengangguk. Percuma terus menerus mendebat. Pembicaraan yang sudah berlangsung hampir dua jam itu juga tidak menemukan hasil.

Linda berdiri dari kursinya sambil menenteng tasnya. Begitupula dengan Lia dan Eva yang mengantar si pemilik usaha ke luar sebelum menghela napas keras-keras.

"Gue stress ngehadapin Bu Linda!" desis Eva ketika mereka sudah berbalik dan masuk ke dalam lift.

"Well, everyone does." Lia mengangkat bahu. Sudah tak terhitung berapa kali ia harus makan hati dengan kelakukan pihak Dullin Pan yang kadang di luar nalar.

Berbeda dengan grup Adhyaksa yang terkenal banyak birokrasi dan super perfeksionis dengan segala aturan, maka Dullin Pan adalah merek yang suka plin plan dan semena-mena. Apalagi, karena kepalanya ada dua—suami istri pula. Jadinya, kalau mereka sedang bertengkar, ya, tim yang suka kena imbasnya.

"Gimana lo sama grup Adhyaksa? Gue lihat Mbak Tiwi sama Marchel kayak udah mau tipes!" komentar Eva. "Mereka bantuin nge-upload sama product mapping juga, setahu gue. Dan itu, udah kayak ratusan SKU nggak, sih? Awalnya bilang dua ratus, tiba-tiba nambah katanya."

Lia tertawa geli. Wira memang ada gilanya. Yang ia dengar dari gerutuan Tiwi,  di saat selesai rapat kemarin, Wira tiba-tiba menambahkan hampir seratus produk lagi untuk diikut sertakan dalam acara soft launching. Itupun awalnya, Wira meminta dua ratus produk tambahan.

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang