Wira memangku dagu dalam keadaan mengantuk. Lelaki itu menatap ke arah layar laptopnya sementara Darma masih berceloteh soal penghitungan prospek Living Home padanya. Rapat dengan Living home berakhir jam sembilan malam tadi. Seharusnya, Wira bisa pulang. Tetapi, Darma menahannya untuk mendiskusikan terkait penawaran harga waralaba Living Home dan proyeksi masa depan bisnis itu.
Demi Tuhan, tubuh Wira nyaris ambruk. Ia tidak mengerti kenapa kakaknya masih bisa berceloteh panjang tanpa lelah begitu.
Tangan Wira mengambil gelas kopi lalu menegaknya cepat-cepat. Ia rasa, ini sudah gelas kelimanya dalam dua jam dan matanya sudah tak bisa diajak kompromi.
"Wira, kamu dengerin Mas nggak sih?" tanya Darma sadar bahwa Wira mulai hilang fokus.
"Honestly? No." Wira berdecak sambil meluruskan tubuhnya. Ia menguap. "Sumpah, Mas! Bisa nggak kita lanjut besok aja?"
Darma jelas memberikan tatapan nyalang ke adiknya. Tetapi, Wira bergeming. Ia sudah benar-benar tak kuat.
"Kita bisa bahas ini besok, Mas. Toh Living Home juga kasih kita waktu untuk pikir-pikir tentang penawaran harga waralabanya. Nggak perlu gegabah." Wira mengemasi barang-barangnya di atas meja rapat. "I'm out, Mas. Aku pulang. Ngantuk. Kangen Hazel!"
Darma mencibir pada Wira yang sudah berdiri dan pergi dari ruang rapat. Tetapi, Wira tidak peduli. Ini sudah mau tengah malam dan tubuhnya sudah remuk. Kakaknya memang gila kerja. Kenapa juga Salsa bisa mau jadi istrinya?
Wira menyampirkan tasnya lalu dengan cepat menuju parkiran. Keinginannya hanya pulang secepat mungkin, mandi lalu menggulung diri di dalam selimut bersama Lia di sebelahnya.
Dengan semangat itu, Wira mengemudikan mobil hingga sampai ke apartemennya. Ia menatap unitnya yang sudah gelap. Ia yakin, Lia sudah tidur.
Lelaki itu mengendap masuk ke dalam kamarnya. Matanya menatap sekelebat bayangan perempuan di dalam selimut. Ia berniat mendekat namun urung.
Satu hal yang paling Lia haruskan dari Wira adalah mandi sebelum naik ke atas kasur. Jadi, Wira berbelok ke arah walking closet miliknya. Ia mengambil pakaian dan mandi dengan cepat.
He miss Hazelia so much.
"Hazel, Baby..." Wira berucap parau saat selesai mandi. Dengan hanya mengenakan celana pendek, ia naik ke atas kasur. Tangannya meraih tubuh perempuan di sebelahnya. Ketika memeluk tubuh itu, ia membelalak.
Wangi itu. Bentuk tubuh itu.
Dia bukan Hazel.
"What the fuck?" Wira mengumpat. Ia melompat mundur.
Umpatan kerasnya membangunkan wanita yang tengah terlelap itu. Wira buru-buru menyalakan lampu. Matanya membelalak ketika tebakan di dalam kepalanya benar-benar terjadi.
"Stefani?"
Stefani terlihat mengucek dan mengerjapkan matanya. Ia menggumam seperti orang bodoh. "Wira..." Ia berkata pelan. "Kamu udah pulang? Aku ada masakin kamu dinner, tinggal kamu panasin."
"Fuck!" Wira masih berkata kasar. "Kenapa lo ada di sini, hah?"
"Surprise? Aku pulang kemarin. Sebenarnya, mau datang ke acaranya Mbak Atri. Tapi masih jetlag." Perempuan itu nyerocos.
Wira memicing. "Bukan itu! Kenapa lo bisa ada di apartemen gue."
"Aku punya kartu pass kamu. Dan kode pintunya juga masih sama. Tanggal ulang tahun aku, kan?" Stefani berucap lagi.
Wira ingin memaki dirinya sendiri. Ia lupa mengganti kode nomor pada pintu rumahnya. Kalau Lia tahu itu adalah ulang tahun Stefani, Wira pasti sudah dipenyet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lead Magnet
RomanceADHYAKSA SERIES no. 5 🌼 *** Lead Magnet (n.) An incentive to attract and capture potential customer. Lia--Hazelia Salim--nyaris jantungan ketika ia tahu, kekasihnya, Bryan ternyata sudah berpacaran dengan Lidya Kani Melatika, putri pemilik perusah...