59. Nothing Can Stop Us

29.3K 2.8K 57
                                    

This author note is purposely made to mark that today, 18 Feb 2024, this story has made into 200k views and this chapter is uploaded as a celebration of this little step that certainly has a big impact for me myself. And also, a token gratitude for all of you that read and love this story.

*

Lia memandang ke arah Siska, pimpinan divisi HRD yang kemarin memanggilnya. Perempuan berusia awal empat puluhan itu terlihat begitu tegas dengan kacamata tebal yang membingkai. 

Semua orang sepakat, Siska dijuluki sebagai penunggu kematian. Pasalnya, ketika Siska yang memanggil, maka, kasus yang memimpa tak main-main. Dan, ketika Siska memanggil, besoknya, karyawan tersebut sudah tidak akan berada di kantor lagi bahkan untuk sekadar beres-beres meja.

Jadi, Lia sudah mempersiapkan diri. Ia bahkan meminta Rana membereskan barang-barangnya terlebih dahulu.

Wanita itu berdeham pelan. Ia menatap Lia dengan tajam.

"Kamu sudah tahu kenapa saya panggil kamu ke sini, kan?"

Lia mengangguk pelan. Ia jelas sudah tahu alasannya.

"Jadi, saya rasa, kamu bisa ceritain, apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Feli?"

Pertanyaan Siska membuat Lia menghela napas kesal. Ia malas namun akhirnya membuka mulut, merunutkan ceritanya. Ia rasa, ia tidak perlu menyebut dan bercerita soal masalah pribadinya dengan Wira karena itu tidak termasuk dalam pekerjaan.

Siska mendengarnya dengan saksama. Ia seperti membandingkan sesuatu dengan catatannya. Mungkin, itu adalah pengakuan Feli.

"Saya tahu ini pribadi, tetapi, kamu dan Pak Wira... apakah sudah berhubungan dan kenal sebelum proyek BuyMe dan Time Tales dimulai?" tanya Siska setelah Lia mengakhiri cerita.

Lia menarik napas. Ia pikir, ia tidak akan ditanya. "Saya nggak tahu kalau Pak Wira yang pegang Time Tales. Terkait masalah anak emas atau keberpihakan, Feli memang seratus persen abai dengan apa yang sudah disepakati di awal. Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, Feli datang dan mengambil ide saya. Jadi, saya memutuskan untuk menyerahkan pada Feli. Turned out, Feli got different perspective and vision of what us—Pak Wira and I—projected and expected."

Siska hening. Ia menunggu Lia melanjutkan kalimatnya.

"Jadi, Pak Wira marah waktu melihat hasilnya nggak sesuai dan beliau protes ke Pak Syailendra. Mungkin, Bu Siska bisa cek proposal saya dengan apa yang Feli kerjakan. Memang sangat berbeda antara rencana awal dan eksekusinya. Itu yang membuat Pak Wira marah dan meminta Feli dicabut dari proyek, bukan karena hubungan kami." Lia menjelaskan semampunya. Ia merogoh tas. Tangannya mengambil iPad-nya. Sejak semalam, ia sudah sengaja mengunduh proposal di tablet tersebut. "Ini ide saya, ibu bisa lihat sendiri, bahkan hal se-esensial brand positioning-nya saja sudah berbeda. Konsep yang saya tanamkan soft selling, tetapi yang Feli berikan malah hard selling. Ini yang membuat Pak Wira marah."

Dagu Siska terangguk. Tangannya mengambil pena dan mencatat sesuatu di bukunya.

"Ini bukan kejadian satu kali, bukan? Saya dengar, kamu pernah bertengkar dengan Feli sampai jambak-jambakan. Apa terkait  masalah ini?" bredel Siska.

Dengan wajah memerah, Lia mengangguk. "Dia menyindir saya setelah peristiwa pencopotannya dari tim khusus Time Tales."

"Kenapa kamu tidak memberitahu sebelumnya?" tanya Siska tajam. "Ketika kemarin kami tanya, kalian berdua tak menjawab dan kami menganggap ini sebagai masalah pribadi."

Lia menelan ludah. Ia pikir, masalah itu bukan sebuah hal yang berarti untuk dibahas di HRD.

"Kamu tahu, kasusmu ini cukup merugikan perusahaan, bukan?" tanya Siska kemudian.

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang