9. Hello, Again

44.1K 3.9K 85
                                    

Kick-off meeting yang tadi baru saja dilakukan dengan Time Tales berjalan dengan cukup baik. Seperti yang sudah disampaikan dari pre-meeting, toko buku satu itu akan membuka gerai daring pertamanya di BuyMe.

Yang Mereka masih kerjakan saat ini adalah mengumpulkan data produk untuk diunggah—dan itu akan jadi tanggung jawab Tiwi sebagai merchandiser BuyMe dan Peter sebagai merchandiser Time Tales. Sementara itu, Lia diminta menyiapkan proposal dan segala urusan pemasaran yang nanti akan tektokan dengan Sesil.

Kurang lebih, begitu yang Lia tangkap dengan susah payah lantaran Wira berada di depannya. Lelaki satu itu memang tak banyak melakukan sesuatu. Ia lebih banyak diam lalu memberi panggung pada anak buahnya sembari menimpali jika ada yang diperlukan. Tetapi, auranya membuat siapapun yang berada di dalam ruangan itu sesak seperti ikan yang dikeluarkan dari kolam.

He is totally different. Bukan. Wira tidak marah-marah pada saat rapat. Wira juga tidak menjawab semua orang dengan ketus seolah-olah bertindak jadi bos paling jahat seantero dunia. Tetapi, pembawaan tingkahnya tetap berbeda.

Wira yang Lia kenal dua minggu lalu punya aura yang memikat. Casanova yang selalu hinggap dari satu wanita ke wanita lain. Mulutnya manis seperti madu paling mahal. Rasanya, sangat nyaman berada di dekatnya. Dan jika menilainya sekilas, ia tampak seperti 'anak papi' dengan pesta non stop setiap akhir pekan.

Sementara, Wira yang sekarang terkesan intimidatif. Ia terlihat begitu pintar. Caranya membawa diri membuat siapa saja terkagum dengan kepintarannya. Seolah-olah, lelaki itu tak punya hidup selain bekerja. Memberikan imej pimpinan yang akhir pekannya diisi dengan segunung pekerjaan tanpa waktu libur.

Dua sisi yang seolah bertolak belakang satu sama lain. Tetapi, sama-sama memikat Lia hingga ke tulang.

"Sumpah, ya! Nggak rugi datang biarpun meeting-nya sampai malam. Ganteng banget sih si Pak Wira itu!" celetuk Tiwi begitu mereka memasuk lift. "Coba kalau gue belum nikah, ya!"

Lia meringis kecil. Andai Tiwi tahu betapa seksinya lelaki itu di atas ranjang. Mungkin, Tiwi bisa-bisa punya keinginan menceraikan suaminya yang kini berprofesi menjadi bapak rumah tangga lantaran dipecat karena ketahuan bermain gim online hampir setiap saat alih-alih bekerja di perusahaan lamanya. Menyedihkan, memang. Kalau Tiwi tidak bekerja dan menempati posisi senior, sudah dipastikan keadaannya jauh lebih mengenaskan.

"Lo langsung balik?" tanya Tiwi basa-basi ketika sudah menukar KTP-nya. Sementara, Wendy jelas sudah langsung pulang setelah melambaikan tangan seperti ibu-ibu sosialita pada dua kacungnya.

"Mau ada acara dulu sama temen," jawab Lia singkat.

"Oh, oke, gue duluan, ya? Kangen anak!" Tiwi berucap cepat sambil membalik badan. "See you, ya. Nanti kita tektokan soal launching ini."

Lia mengangguk pelan sebagai tanda perpisahan dengan Tiwi. Gadis itu kemudian mendengkus ketika melihat langit yang sudah gelap dan hujan yang mengguyur tampak terlihat dari jendela. Satu hal lagi yang membuatnya membenci kuartal empat setiap tahunnya.

Ya, hujan.

Dengan keadaan seperti ini, sudah dipastikan, tidak akan ada yang mau mengambil pesanannya. Jadi, mau tak mau, Lia hanya berjalan dengan lunglai ke kedai kopi yang berada di lobi.

Memesan vanilla latte hangat, ia kemudian menghempaskan dirinya di salah satu sofa Tangannya mengirimkan pesan pada Nana, menyatakan bahwa dirinya mungkin telat atau tidak datang sama sekali akibat hujan.

Tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu. Daripada mati bosan, Lia menarik laptopnya. Setidaknya, ia bisa mengerjakan apapun di sana. Mengejar revisi dari merchant atau sekadar berselancar di dunia maya.

Ada satu hal yang ingin Lia cari: identitas Wira. Seharusnya, Lia sadar dari awal, ketika Wira membawa Lia ke apartemennya yang super mewah, Wira pasti bukan orang sembarangan.

Tangan Lia mengetik tuts kibor. Matanya mencari nama Wira di internet. Hampir semua orang tahu keluarga Adhyaksa. Generasi keduanya diteruskan oleh dua anak lelaki sulung dan bungsu, Aditya dan Satya. Sementara, si anak tengah yang adalah perempuan—bernama Kinanti—memilih untuk tidak melanjutkan dan ikut suaminya yang memiliki usaha batu bara. 

Dalam sepuluh tahun belakangan ini, perusahaan-perusahaan yang sudah berdiri puluhan tahun di Indonesia mulai diambil alih oleh generasi ketiganya. Tak terkecuali, Adhyaksa.

Ada Gayatri, Kartika dan Ramdan—anak dari Aditya. Lalu Arjuna—satu-satunya anak dari Kinanti yang ikut dalam perusahaan Adhyaksa. Yang terakhir, Darmantara dan Wiranata—anak dari Satya.

Wiranata Adhyaksa Putra. Wira. Si bungsu dari generasi ketiga Adhyaksa.

Dari generasi ketiga Adhyaksa itu, Wira sepertinya satu-satunya yang paling tertutup. Media sosialnya diprivat, tidak seperti kakak-kakak sepupunya yang  lain yang menciptakan citra anak konglomerat dengan berbagai kegiatannya. 

Ambil Kartika sebagai contoh. Perempuan itu menjalankan media sosialnya dengan persona seorang mompreneur dan sosialita dengan keluarga bahagia.  Atau, kalau berkaca pada media sosial milik Arjuna, maka semua pengikutnya bisa melihat kecintaannya terhadap mobil mewah.

Lia akhirnya menemukan wajah Wira di salah satu media sosial milik Ramdan yang menuliskan"Welcome home, Bro!" pada tajuk fotonya. Habis dari mana lelaki itu? Apakah selama ini Wira hampir tak pernah tersentuh radar karena berada di luar negeri?

Lia kembali mencari-cari artikel tentang Wira. Dan dari artikel yang dicari Lia, sepertinya... Wira bahkan tidak memegang satu lini perusahaan apapun. Namanya tidak pernah disebut. Sepertinya, ia belum diberikan apapun. Ya, tidak ada yang dikelolanya. Kecuali, Time Tales yang nyaris bangkrut.

Lia tak tahu apakah Wira memang dipersiapkan sebagai kartu AS dari perusahaan ini, atau justru, ia adalah si bungsu yang paling tak diperhitungkan mengingat jarak umurnya agak jauh dengan kakak-kakak sepupunya yang lain? Bahkan, salah satu yang paling tua dari mereka sudah berusia empat puluh akhir dan siap menyerahkan batonnya pada si generasi keempat.

Dahi Lia masih berkerut-kerut. Ia terus menggulir halaman demi halaman hingga, "Hazel...?"

Panggilan itu membuat Lia terkesiap. Dagu Lia mendongak. Ia buru-buru menutup laptopnya dengan cepat.Matanya Menemukan seorang lelaki dengan jas yang tersampir di lengan dan tas laptop tersampir di bahu.

"Masih di sini?" tanyanya lagi.

"Hai, Pak eh..." Lia kelu. Lelaki di hadapannya adalah lelaki yang sama yang menghabiskan malam dengannya. Tetapi juga, merchant yang akan dia tangani. Lebih lanjut, ia adalah salah satu generasi ketiga Adhyaksa. That explains the Kempinski Private Residence.

"Don't 'Pak' me, please!" Wira terkekeh. 

Lia memandang ke arah lain. Ia gugup. Ia yang bilang persentase kemungkinan mereka bertemu nyaris tidak ada. Tetapi kini, di hadapannya, menjulang Wira yang membuatnya kehabisan napas.

"Jadi, kenapa masih di sini?" tanya Wira lagi.

Lia memandang ke arah jendela. "Hujan, nggak ada yang mau ngambil order-an jadinya." Ia menggerutu.

"Mau nebeng?" tanya Wira lagi.

Lia buru-buru menggeleng. "Nggak, itu, aku mau ke Grand Indonesia, Mas."

Mas. 

Alis kiri Wira terangkat. Sadar akan perubahan pilihan kata Lia yang lebih sopan dan formal. Lagi, ia ingin merutuk. Gadis di depannya itu kini bukan lagi stranger yang ia temui di bar. Perempuan itu kini jadi tim-nya dari perusahaan lain. Dan jelas, tak mungkin Lia bersikap santai seperti apa yang ia lakukan dua minggu lalu.

"Grand Indonesia." Wira mengangguk-anggukan kepala. "Ayo, bareng."

"Eh!" Lia buru-buru mengibaskan tangan. "Ja-jangan, nggak enak, nggak sejalan ju—"

"—Kamu nggak lupa rumahku, kan?" potong Wira cepat. 

Kempinski. Apartemen Wira persis di atas Grand Indonesia. Bahkan, ada akses khusus dari apartemen menuju mall.

Wira menggedikan kepala. Mengisyaratkan Lia untuk ikut bersamanya. "Ayo!"

Lia yang tak bisa berkutik mau tak mau hanya bisa mengikuti. Ia membereskan barang-barangnya, membuntuti Wira seperti orang bodoh. Lia sadar, ia telah menggali kuburnya sendiri.

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang