"Mas, kamu sih jahat loh!"
Ucapan Lia di telepon membuat Wira tertawa. Malam ini, ia memandangi jalanan yang macet luar biasa. Lelaki itu duduk di bangku belakang mobilnya sembari menelepon Lia yang sepertinya baru pulang kerja.
Dua hari ini, ia diharuskan ke Kuala Lumpur untuk pertemuan bisnis. Ayahnya masih saja ingin Wira menutup Time Tales dan menyarankan beberapa opsi waralaba. Kali ini, pilihan lini usahanya jatuh pada perlengkapan rumah tangga dan furnitur yang memang belum dimiliki grup Adhyaksa.
Seharusnya, hari ini, ia tidak berpartisipasi dalam rapat antara Sesil, Feli dan Lia. Namun, waktu kosong yang ia miliki membuatnya berniat ikut untuk membunuh waktu, sekaligus menunggu pesawat yang akan berangkat.
Ya, Wira mempercepat kepulangannya. Setelah pekerjaannya selesai siang tadi, ia memutuskan untuk pulang alih-alih menginap satu malam lagi.
"Aku jahat kenapa?" tanya Wira sambil melirik ke arah iPad-nya untuk membaca-baca laporan yang masuk terkait perkembangan Time Tales.
"Ya, kamu ikutan rapat nggak bilang-bilang, mana pakai acara ngehajar Feli segala lagi!" Lia berucap dengan nada pura-pura marah sebelum tertawa keras-keras.
Wira yakin, Lia sedang bersorak sekarang.
"Ya, tapi, biarin deh! Biar tahu rasa!"
Wira hanya tersenyum. Ia yakin, Lia sedang mengumpat-umpat dalam hati, mensyukur-syukuri kemalangan Feli.
Tiba-tiba, tarikan napas terdengar dari seberang. "Tapi, Mas. Waktu Feli nggak banyak loh! Dia nggak akan mungkin bisa ngerubah semua proposalnya itu balik ke awal. Dua hari terlalu mepet. Kalau berantakan, gimana?" Nadanya tiba-tiba berubah. "Time tales itu penting banget buat kamu, kan?"
Wira berdengung sejenak. "Ya, karena penting, makanya aku marah!"
"Apa perlu aku bantuin Feli?" tawar Lia tiba-tiba.
"No! Itu tanggung jawab dia, Hazel." Wira berucap tegas. "Aku berekspektasi sesuai dengan apa yang kamu kerjakan, lalu dia ngambil alih, lalu ganti seenak jidat, yang salah siapa? Bukan kamu. Biar dia pikirin sendiri."
"Kalau proyeknya sampai gagal?"
Wira menyandarkan tubuhnya ke sandaran jok sambil menghela napas. "Yah, pasti kecewa, cuma... aku nggak mau juga jalan dengan strategi nggak jelas kayak gitu. Menggunakan ide Feli sama saja bunuh diri. Sebenarnya, kalau dipikir-pikir, sekarang pun, sudah mau menuju gagal, sih."
Lia bergumam seperti mengiyakan kalimat Wira. Debuman terdengar, pertanda Lia sudah menyentuh kasur.
"Kalau misalnya 11.11 ini nggak terlalu works, aku akan minta Syailendra untuk ganti balik semua ke kamu di 12.12, Hazel." Wira berkata dengan ragu. "I'm sorry. Aku tahu kamu sudah overwhelmed sama pekerjaan kamu. Tapi, aku butuh kamu untuk ini."
"Yah, aku juga harus profesional, Mas. Kalau memang Pak Syailendra nanti minta, aku nggak akan nolak." Lia berucap dengan tenang. "Tadi siang meeting gimana? All good?"
"Ya, oke. Kita ngomongin soal Living House untuk buka waralaba di Indonesia. Kamu main di kategori Home & Living harusnya tahu, deh."
"Ah, iya, supermarket furnitur kayak IKEA gitu kan, ya?"
Wira mengangguk walaupun anggukannya tak terlihat oleh Lia. "Nanti ah, bahasnya. Aku lagi mumet. Kangen kamu!"
Tawa renyah Lia terdengar di seberang. "Aku lagi tidur di pakai baju kamu. Baunya masih bau kamu. Lumayan ngobatin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lead Magnet
RomanceADHYAKSA SERIES no. 5 🌼 *** Lead Magnet (n.) An incentive to attract and capture potential customer. Lia--Hazelia Salim--nyaris jantungan ketika ia tahu, kekasihnya, Bryan ternyata sudah berpacaran dengan Lidya Kani Melatika, putri pemilik perusah...