8. Why On Earth

41.6K 3.8K 42
                                    

Wira menatap ayahnya dengan gusar. Di hadapannya, lelaki yang seharusnya sudah pensiun itu tampak mengeraskan wajah. Seolah merasa bahwa argumennya tak bisa diganggu gugat.

Di atas meja, tampak proposal terkait Time Tales yang Wira tawarkan. Setelah dua minggu menggodok program untuk mengembalikan kejayaan Time Tales, Wira menghampiri ayahnya untuk menawarkan proposal tersebut dengan maksud agar mendapatkan suntikan dana tambahan.

"Wira, ada saatnya di mana kamu harus melepaskan." Suara berat itu terdengar.

Wira memiringkan kepala tak mengerti.

"Lebih baik kamu lepasin Time Tales," jelas ayahnya lagi.

Wira menggeleng. Sebagai cucu paling bungsu dari keluarga Adhyaksa, ia selalu kebagian ampas dari kakak-kakaknya. Darma, misalnya. Kakak sulungnya itu memegang lini usaha elektronik—spesifiknya, ponsel. Sementara, sepupu-sepupunya, Gayatri—alias Atri—dan Kartika menjalankan fesyen wanita. Lalu ada lagi, Arjuna, kakak sepupunya yang kini mengambil alih fesyen pria. Dan yang terakhir, Ramdan yang menjalankan bisnis food and beverages.

Hampir tak ada yang tersisa untuk Wira ketika lelaki itu masuk. Para kakak-kakak saling menjaga bagian masing-masing. Tentu tak ada yang mau berbagi. Kalaupun ada yang bisa dibagi, sepertinya, tak akan menarik. Pasalnya, semua anak-anak perusahaan di bawah Adhyasaksa merupakan bisnis waralaba.

Maka dari itu, alih-alih mencaplok jatah milik kakak-kakaknya, Wira dengan nekatnya mengusulkan untuk membuat sebuah toko buku saat usianya hampir tiga puluh. Usulan bisnis itu dijalankan walaupun manajemen menganggapnya sebagai mainan untuk memuaskan ego si bungsu sekaligus mengakali pajak. Dan melihat penurunan performa, sudah saatnya mereka menutup usaha yang tak lebih dari sekadar mainan anak-anak itu.

"Kamu bisa bantu Ramdan di F&B, Wira." Ayahnya kembali mengusulkan. "Atau, pilih brand apa yang kamu mau jalani, nanti kita bisa diskusikan. Kemarin Papa dengar ada merek sepatu dari Jepang yang cukup populer, kita bisa coba ke sana."

Wira menggeleng. "Aku tetap mau Time Tales, Pa."

Lelaki paruh baya itu memijat pelipis. "Time Tales lebih baik ditutup saja. Perusahaan itu tiap hari rugi."

Wira menggeleng. "Pa, coba bayangin, berapa banyak orang yang harus kita rumahkan kalau Time Tales ditutup sepenuhnya? Lagipula, potensinya masih banyak."

"Potensi banyak dari sebelah mana? Pembajakan buku semakin meningkat. Orang-orang juga lebih banyak membaca dengan e-book atau versi digital. Bahkan, koran langganan Papa saja sudah jadi koran elektronik. Nggak ada yang bisa kamu lakukan."

Desisan terdengar. Ia tak bisa melawan. Rasanya, ia benar-benar sebal dengan keadaan sekarang. Ia juga menyesali kepergiannya. Mungkin, kalau dia tetap tinggal di Jakarta tanpa harus jadi bulol mengejar Stefani, perusahaan yang ia rintis sejak awal ini bisa jadi lebih baik.

"Pa... please." Wira menyodorkan proposalnya. Ia mengajukan permintaan dana untuk pemasarannya di platform online. "Sore ini aku bakalan meeting sama BuyMe. Kudenger, semua brand di bawah Adhyaksa buka online store di situ. Kenapa Time Tales nggak diikut sertakan?"

Pertanyaan itu tak butuh jawaban. Wira sudah tahu alasannya. Tak ada yang peduli dengan Time Tales—mereka menganggap perusahaan itu hanya mainan Wira. 

"Padahal, kalau Time Tales masuk platform online, aku yakin bakalan gede. Orang nyaris gila pas pandemi dan mereka butuh hiburan. Buku bisa jadi salah satunya." Wira berucap lagi. 

Ia tidak mengerti mengapa Time Tales tidak diikut sertakan dalam peralihan menuju online tersebut. Padahal, jika bisa mengakali momentum, Wira yakin, Time Tales akan meroket pesat. Dalam situasi pandemi yang membuat orang-orang tidak bisa keluar rumah, buku jauh lebih dibutuhkan daripada baju atau sepatu baru.

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang