5. Don't Be Strangers

55K 4K 80
                                    

Secara definitif, brunch adalah gabungan dari kata breakfast dan lunch alias makan di antara sarapan dan makan siang. Tetapi, sepertinya, yang Wira dan Lia lakukan saat ini bukanlah brunch mengingat perut mereka baru terisi tepat di jam dua belas lewat.

Wira tak bisa berhenti. Lia tak ingin semuanya berakhir. Ikatan emosi macam apa ini? Ini seperti kali pertama untuk Lia merasakan hal yang seperti ini.

Tetapi, tidak. Lia tak ingin terlena dengan lelaki yang kini duduk di hadapannya sambil mengunyah pastrami sandwich-nya sambil membaca sesuatu di iPad dengan dahi berkerut. Sejak awal, lelaki itu yang memberikan pernyataan kuat bahwa cinta tidak untuk semua orang. Lagipula, Lia baru saja patah hati kemarin. Membuka perasaan untuk orang lain kurang dari 24 jam terasa begitu salah. 

Bagaimana kalau insiden seperti Bryan terjadi lagi? Melihat tempat dan gaya hidup lelaki itu, Lia yakin, lelaki ini pasti punya rahasia yang tak semua orang boleh tahu.

"It seems like the iPad is more interesting than me," celetuk Lia saat sadar lelaki itu sudah berdiam sedari tadi.

Wira mendongak sambil cengengesan dan mematikan layar tabletnya. "Well, as I told you, kerjaan gue lagi bikin kepala gue nyaris botak." Ia memandang Lia dalam-dalam. "But thanks to you, seenggaknya, kemarin, gue bisa ngelupain kerjaan sialan ini dan have fun ketimbang semalaman bergadang ngerjain sesuatu yang nggak ada hasilnya."

Alis Lia terangkat. "Nggak ada hasilnya?" 

"Well, lagi di masa dead end aja. Nggak tahu mau jalan lewat mana." Helaan napas terdengar.

"Dead end karena?"

Mulut Wira nyaris membuka sebelum tiba-tiba Lia mengangkat tangan.

"Nggak perlu diceritain, kayaknya mumet banget. Entar otak gue ikutan pusing," potong Lia cepat.

Lagi-lagi, Wira tertawa. Ia menyesap kopinya. Ini sepertinya sudah cangkir keempat di hari ini.

"Jangan bilang, malam ini lo mau cari pancingan lagi di bar atau club?" tuduhnya lebih lanjut sambil menunjuk Wira.

"Lo gila, ya?" protes Wira.

"Ya, kan, bisa aja!"

"Ya, lo pikir gue apaan!" sambar Wira sambil menggerutu.

Sejujurnya, kalau Wira punya kepiawaian seperti kakak-kakaknya, mungkin ia akan mau untuk datang ke club lagi dan mencari perempuan untuk ia tiduri. Faktanya, kemarin saja, dibalik omongan Wira yang terlihat sangat luwes, ia ingin mengubur diri secepatnya.

Ia beruntung. Ia beruntung karena gadis di hadapannya ini mengiyakan. Seperti kata Wira malam itu, 'Maybe, it's my lucky day.'

Tetapi, keberuntungan tidak akan mungkin datang dua kali.

"Lo harusnya punya pacar, deh!" celetuk Lia lagi.

Wira mengangkat alis. "Kenapa harus pacaran?"

"Ya, biar ada yang manjain dan bikin lo lebih nyaman," jawab Lia asal. "Tapi kayaknya, lo bukan cowok yang suka komitmen."

Mulut Wira menghela napas. "Siapa bilang?" Ia kini meletakan garpu dan pisaunya sebelum menyorot mata Lia dalam. "Gue pernah suka sama cewek dari SMA. Terus tiba-tiba, dia mutusin buat ambil S2 di London. Karena gue nggak kuat LDR, jadi, gue susulin—"

"—Oh, wait, gantian! Let me guess!" potong Lia. " Cewek lo selingkuh? Atau suka sama cowok lain?" 

Tawa Lia pecah. Apalagi, saat melihat ekspresi Wira yang menyiratkan persetujuan atas tebakan Lia.

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang