49. Pause Button

26.1K 2.8K 72
                                    

Tak ada yang membuka mulut. Masing-masing masih kalut dengan pikirannya. Wira memeluk lutut dengan mata terpejam. Sedari tadi, napasnya berat. Serangan panik sedikit banyak mengganggunya.

Sementara, Salsa dan Darma masih memantau pergerakan lini masa. Khawatir jika video tersebut masih tersisa.

"Sekarang, kita harus gimana? Harus jalan ke mana?" tanya Wira dengan getar yang masih terdengar begitu jelas. Ia terdengar begitu ketakutan.

"Tidur. Jalan ke kamar," jawab Darma singkat dengan nada begitu ketus.

Wira membuka satu matanya. Ia melirik Darma dengan sorot sebal.

Melihat itu, Salsa melempar pandangan kesal ke arah Darma sejenak sebelum perempuan itu berdiri dari kursinya. Ia berjalan ke arah Wira dan memegang bahu adik iparnya.

"Maksud Darma, lo butuh tidur," terang Salsa dengan nada tenang.

Wira tampak heran dan tidak terima. "Tapi..."

"Tidur dulu, Wira. Gue tahu lo nggak akan bisa tidur. Tapi, lo harus istirahat. Belum ada yang bisa kita lakuin juga. Kita masih harus ngelihat respon Stefani dan belum bisa bertindak." Salsa menenangkan namun nadanya begitu tegas. "Dan mungkin... lo harus menyelesaikan dulu masalah lo sama Hazelia—kalau lo mampu."

Wira menarik napas. Kepalanya menengok ke arah pintu yang tertutup. Ada Lia di dalam sana. Ia yakin, Lia masih kecewa juga kaget.

"Lakuin apa yang bisa lo lakuin dulu. Lo nggak kasihan lihat Lia?" lanjut Salsa lagi. "Dia juga pasti sama sakit, takut, kaget dan kecewanya."

Wira diam. Ia tahu. Lelaki itu mengangguk lemah pada akhirnya. "Gue ke kamar dulu, nyoba tidur. Kalian juga. Pakai kamar tamu dulu aja. Sorry, gue jadi ngerepotin."

Kepala Salsa menggeleng dengan senyum lembut yang terulas di wajahnya. "That's what siblings are for. Sana lo, pergi tidur!"

Wira membuka knop pintu, sekali lagi, ia melihat Salsa yang mengibaskan tangan sebelum memutar knop pintu dan matanya bertemu Lia yang berada di atas tempat tidur.

Kakinya melangkah ke arah Lia yang menggelung di atas selimut. Walau perempuan itu terlihat tidur, Wira tahu, Lia belum terlelap.

"Hazel," panggil Wira pelan.

Lia tak menjawab. Ia bergeming.

Wira mau tak mau duduk di tepi tempat tidur. "Hazel," bisiknya. "Maaf, aku jadi harus ke sini karena Mbak Salsa sama Mas Darma pakai kamar tamu."

Lia masih bergeming. Tetapi, napasnya masih berat dan tidak beraturan. Sarat dengan emosi yang meletup-letup dan belum padam.

"Boleh kita bicara sebentar? Habis itu, aku janji, aku pindah ke sofa, aja," kata Wira lagi.

Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Lia. Ia berpura-pura tidur dengan memejamkan matanya.

Wira membaringkan tubuhnya di samping Lia lalu memeluk tubuh perempuan itu erat dari belakang. "I'm sorry. Kamu pasti syok. Maafin aku," bisik Wira perlahan di telinga Lia. Ia tidak bisa membela diri, hanya bisa meminta maaf. 

Lia masih diam. Ia tak menjawab sama sekali. Namun tubuhnya yang bergetar dengan isak yang lolos dari bibirnya sudah jadi respon yang menyayat hati.

Wira semakin mempererat pelukannya pada Lia. Ia tak punya alasan dan dalih apapun selain kata maaf. Ia membiarkan Lia menangis dalam diam. Tak ada yang berbicara, hanya jarum jam yang terus berdetak.

"Aku tahu..." bisik Lia parau pada akhirnya. Ia mencoba mengatur napas dan kata-katanya. "Aku tahu itu bukan salah kamu. Aku tahu aku harusnya menerima kamu, Mas. Tapi, kenapa... kenapa ini sulit? Kenapa ini tetap menyakitkan?"

Lead MagnetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang