Mobil Wira berbelok ke arah Grand Indonesia. Sebenarnya, jaraknya sudah tidak sampai sepuluh menit lagi. Tetapi hujan dan macet membuat mobil bergerak seperti siput. Apalagi, setelah kalimat yang Wira lontarkan, waktu jadi berjalan semakin lambat.
Mata Wira menangkap Lia yang sibuk membuka ponselnya dan membalas pesan. Wira tak tahu dengan siapa Lia balas berbalas pesan seperti itu. Ingin rasanya Wira bertanya, namun sadar bahwa itu tak mungkin bisa terlontar.
Sementara, ponselnya bergetar sejak tadi. Wira yakin, Arjuna jadi penyebab ponselnya terus menerus berdering. Lelaki satu itu minta ditemani ke kelab malam ini dan awalnya, Wira menyetujui ajakan itu.
Pikirnya, ia mungkin bisa melepas penat. Atau, mencari perempuan dan menguji cobakan keberuntungannya. Atau, apapun.
Hingga, ia bertemu Lia. Persetan dengan Arjuna karena Lia di depannya jauh lebih penting.
Selama dua minggu setelah pertemuan pertama dan terakhirnya dengan Lia membuat Wira panas dingin. Bayangan akan sosok perempuan itu masih jelas di ingatan. Setiap sudut apartemennya seolah jadi saksi bisu setiap kegiatan maksiat yang mereka lakukan.
Seharusnya, Wira mengabaikan semua itu. Ia bertekat ingin jadi brengsek seperti kakaknya yang bisa menjalani cinta semalam lalu lupa apa yang terjadi. Nyatanya, ia tak bisa.
Wira tetap lelaki bodoh yang tak bisa mengabaikan hal-hal seperti itu begitu saja. Pulang ke apartemen malah membuatnya jadi seperti pecundang yang mereka ulang semua peristiwa. Kamarnya seolah kosong dan tak lagi sama. Akhirnya, ia cuma bisa mengurung diri di kamar mandi, membayangkan perempuan itu saat berada di bawah kungkungannya atau saat berdiri dengan menempel di dinding kamar mandi.
Jatuh cinta pada pandangan pertama adalah sebuah omong kosong. Tetapi, Wira seperti terjebak di dalamnya.
Selama dua minggu ini pula, Wira berpikir jika ia harus menghampiri tempat tinggal Lia. Memang, hatinya meragu. Ia tak ingin terlihat seperti lelaki yang memelas, walaupun nyatanya demikian. Lagipula, bisa saja perempuan yang dikenalnya sebagai Hazel itu malah menolaknya atau yang malah menganggapnya angin lalu. Kalau seperti itu, bukannya Wira yang jadi malu sendiri?
Jadi, Wira menunggu lagi. Sama seperti sebuah teknik psikologi pembelian dan konsumerisme, ia menunggu beberapa saat. Jika ia masih menginginkan Lia dalam satu bulan, ia akan memberanikan diri untuk bertemu dengan gadis itu.
Faktanya, belum satu bulan, Lia malah datang sendiri ke kantornya. Wira tidak tahu apakah ini mujizat atau kebetulan. Yang pasti, ia tak mau menyia-nyiakan kesempatan di depannya.
Wira tak terlalu piawai dalam mengaet perempuan. Tapi, kalau Lia sudah di sini, maka, ini sudah jadi tanda dari yang maha Kuasa bahwa perempuan itu harus jadi miliknya.
"Kamu ngapain ke GI?" tanya Wira mencoba bersikap santai.
"Janjian sama temen," jawab Lia mencoba menetralkan nada bicaranya.
"Ini sudah lewat jam delapan lewat, mau late dinner?" Wira mengerutkan dahi.
Jalanan yang macet membuat mereka tiba di mall Grand Indonesia nyaris setengah sembilan. Padahal, seharusnya, waktu tempuh yang dibutuhkan hanya setengah jam perjalanan.
"Yah, dinner di Paulaner sih."
Mendengar restoran Jerman yang identik dengan birnya itu membuat Wira menegang. Lelaki itu mendelik. "Mau makan atau minum-minum?"
Seketika, Lia meringis. Jawabannya sudah jelas. "Minum-minum, sih."
Bola mata Wira berputar. "Dalam rangka?"
"Memangnya kalau minum-minum harus ada acaranya, ya?" balas Lia pada pertanyaan Wira yang terdengar tidak jelas.
"Ya, biasanya kan ada sesuatu yang perlu dirayakan. Atau, ditangisin kayak dua minggu lalu," celetuk Wira asal yang malah membuat Lia merasa salah tingkah. "Jadi, yang mana yang jadi alasan minum-minum malam ini?"
Lia menarik napas lalu menghela karbondioksida itu sebanyak-banyaknya. "Nggak dua-duanya," jawabnya. "Mau minum karena capek ngehadapin hidup. Apalagi, harus ngerjain proyek Time Tales."
Wira spontan tertawa sambil menggelengkan kepala. "Padahal, selama kamu kemarin sama aku, kamu sudah berusaha menghindar dan nggak mau mendengar ceritaku soal kerjaan sama sekali."
Dari sisi kiri, Wira bisa mendengar decakan. Omongan Wira valid. Lia yang menghindar malah jadi yang bertanggung jawab dalam proyek ini.
"Iya, makanya, sekarang mau minum-minum sama temen, biar pusing sama alkohol dulu, sebelum pusing mikirin kerjaan dari kamu," gerutu Lia.
Wira tertawa geli. Gerutuan Lia terdengar begitu lucu. Lagi-lagi, Wira melirik ke arah Lia yang masih mengetik di ponsel.
Wira mendesah keras. "Habis itu balik sama siapa?" tanya Wira lagi.
Kini, dahi Lia semakin berkerut. "Kenapa memangnya?" balas Lia cepat.
"Cuma nanya." Wira mengangkat bahu dengan nada santai walaupun, dadanya bergemuruh seperti orang kesetanan. Berbagai macam pikiran bermain di kepalanya.
"Mau aku anterin balik?"
Seketika, Lia menggeleng. "Ada temenku, kok," jawabnya. "Jangan ngerepot—"
"Aku nggak merasa direpotkan," balas Wira kemudian. "Aku lebih khawatir kalau kamu kenapa-napa, Hazel."
Lia menahan napas. Setiap kali Wira mengucap nama Hazel, ada aura yang berbeda yang terdengar. Nama itu jadi terdengar merdu dan seolah mengingatkan Lia ketika Wira meneriakan namanya dua pekan lalu.
"Lagian, kamu sama alkohol bukan kombinasi yang bagus," lanjut Wira.
"Excuse me?" balas Lia dengan alis terangkat.
Wira mendesah. Bayangan percintaannya bersama Lia kembali terputar seperti kaset rusak di kepala. Ia mencoba mengatur kata-katanya.
"Kamu kalau udah ketemu alkohol tuh bahaya," terang Wira melihat Lia menunggu jawaban. "Bisa bertindak di luar nalar."
Lia melengos. Ia malas meladeni Wira yang malah sekarang bertindak seperti orangtuanya. "Seperti?"
"Dua minggu lalu," jawab Wira lemah.
Lia menengok. Ia menatap Wira yang mengulum bibir sebelum tersenyum getir.
"Yah, nggak ada yang lebih buruk daripada digondol cowok, sih." Lia mengangkat bahu. "Padahal, kemarin aku nggak semabuk itu."
Bibir bawah Wira maju, seolah mengejek Lia yang berada di sebelahnya. "Bukan pas di bar." Ia berucap. "Pas di kamarku."
Wajah Lia memerah hingga ke telinga. Ia hanya bisa menelan ludah. Ia mabuk namun tidak hilang ingatan. Jadi, Lia ingat betul apa yang terjadi malam itu. Racauannya mungkin tak jelas, tetapi, ia tahu apa yang ia racaukan walaupun samar sekalipun. Ia ingat bagaimana liar dirinya yang sudah seperti orang kesetanan.
"Jadi, kalian bertiga aja?"
"Kayaknya," jawab Lia mengangkat bahu. "Seharusnya, bertiga aja."
Mobil Wira akhirnya memasuki area Grand Indonesia. Lia sudah bersiap untuk turun ketika mobil itu melaju ke lobi, namun tiba-tiba, perempuan itu terkaku ketika mobil tersebut terus melaju dan bukan berhenti di area drop-off.
Lia membelalakan mata begitu Wira malah masuk ke parkiran. "Mas?"
"Aku laper," jawab Wira sebelum Lia sempat mengeluarkan pertanyaannya.
Mata Lia membelalak. Ia sudah tahu ke mana Wira akan mengarahkan pembicaraan itu.
"Aku ikut gabung, ya? Kalau nggak boleh, ya, aku cari makan sendiri aja di sekitaran mall." Wira berkata santai tanpa peduli setan. "Nanti, kalau kamu udah selesai, kamu bisa kontak aku."
Lia menarik napas. Ia tak mungkin menolak permintaan Wira. Tetapi kalau Wira ikut? Lia rasa, ia siap harus menerima cecaran dan desakan investigasi Rana.
Lia melirik ke Wira yang melajukan mobilnya ke dalam parkiran dengan santai. Kalau ada definisi 'cowok gila', Lia yakin, nama Wira sudah masuk dalam daftar panjang lelaki yang mencintai dengan ugal-ugalan seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lead Magnet
RomanceADHYAKSA SERIES no. 5 🌼 *** Lead Magnet (n.) An incentive to attract and capture potential customer. Lia--Hazelia Salim--nyaris jantungan ketika ia tahu, kekasihnya, Bryan ternyata sudah berpacaran dengan Lidya Kani Melatika, putri pemilik perusah...