"Aku nggak nyangka kita ketemu lagi."
Kalimat itu jadi pemecah canggung yang dingin di dalam mobil. Lia menengok, menatap Wira yang tengah memutar roda kemudi setir. Tidak ada yang menyangka mereka akan bertemu lagi. Apalagi, bertemu dalam kondisi seperti ini.
Lia beberapa kali mengambil napas karena sesak dengan aura Wira yang berbeda. Tampang selengean yang ia tampakan dua minggu lalu luruh sudah, berganti dengan wajah keren seorang pimpinan perusahaan. Ia sudah menggulung lengannya hingga ke siku.
Tubuh Wira yang tinggi menyebabkan kepalanya hampir menyentuh langit-langit mobil. Lia jadi penasaran, berapa tinggi Wira? Sepertinya, lebih dari 180 sentimenter, deh!
Mata Lia turun ke bawah. Ke wajahnya yang kecil dan putih yang—seperti—tak pernah kena matahari. Pandangannya lalu turun lagi.That hand. His biceps. The broad shoulder. Fuck! Lia buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah jendela penuh tetesan air.
"Sejak kapan kerja di BuyMe?" Wira memberikan pertanyaan lanjutan. Pertanyaan klasik yang selalu ditanyakan oleh semua orang.
"Dari lulus. Mungkin, sekitar... empat tahun." Lia menjawab cepat.
Dagu Wira terangguk. "Lama juga," tanggapnya. "Empat tahun... jadi umurmu dua puluh tujuh?"
"Dua puluh enam," koreksi Lia
"Ah! Now I know the reason you called me 'Om-Om' two weeks ago," canda Wira dengan tawa ringan di sela kata-katanya. "Kupikir kamu udah tiga puluhan, seenggaknya, nggak sejauh itu sama aku."
Wira boleh tertawa, tetapi kini, Lia tegang luar biasa. Dan itu, tertangkap jelas oleh Wira yang masih menyetir. Lia tak sebawel ketika mereka bersama kala itu.
"Emangnya tampangku setua itu?" balas Lia dengan nada pura-pura tersinggung.
Wira terkekeh pelan. "Nggak juga," jawabnya. "Atau, aku nggak tahu. Aku bukan orang yang pintar nebak umur."
Wira mengerem begitu mobil-mobil di depannya berhenti. Jalanan Jakarta di hari Jumat tak ubahnya seperti neraka. Ditambah hujan, semuanya jadi berantakan.
Kini, Lia hanya bisa menghela napas. Bersama Wira di dalam mobil ini terlalu lama bisa berbahaya untuk jantungnya.
"Kamu bahkan seumur keponakanku. Dia baru lulus kemarin, beda sedikit lah sama kamu. Kalau inget begitu, jadi sebel sendiri," dumal Wira. Mata Wira melirik cepat ke arah Lia. "Awas kalau kamu manggil aku 'Om'!"
Lelaki itu melirik Lia yang mulai tersenyum geli saat mendengar ancaman kecil bernada canda yang terlontar. Ia butuh cara untuk mencairkan ketegangan yang terjadi di antara mereka.
"Gimana kerja di BuyMe? Senang? Dengan kamu yang belum pernah pindah selama empat tahun, kayaknya, kamu kerasan di sana." Wira berucap lagi. Lelaki itu jadi cukup bawel sekarang, walaupun lagi-lagi, ia mengeluarkan pertanyaan klasik.
"Yah, lumayan. Gajinya oke. Fasilitasnya juga oke. Mas tahu sendiri siapa yang jadi backing-an BuyMe." Lia mengangkat bahu.
Wira menarik napas. Ia tahu siapa yang berada di belakang BuyMe, keluarga Tjiakarsa. BuyMe adalah salah satu anak perusahaan berbasis digital yang dibentuk oleh salah satu generasi kedua mereka, Marco. Wira tak terlalu mengenal lelaki itu, tetapi Marco cukup sering nongkrong dengan Arjuna.
Dan, itu yang membuat Adhyaksa membuka toko daring mereka di BuyMe secara eksklusif.
"Aku selalu penasaran sama kantor yang isinya Milenial semua kayak gitu. Memangnya, beneran ada perosotan dan snack gratis sampai bisa main PlayStation di sana?" tanya Wira. Kali ini, Lia bisa menangkap nada keingin tahuan di sana. Wira tak bercanda saat bilang bahwa ia sangat penasaran. "Memangnya, kerjanya jadi efektif?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lead Magnet
RomanceADHYAKSA SERIES no. 5 🌼 *** Lead Magnet (n.) An incentive to attract and capture potential customer. Lia--Hazelia Salim--nyaris jantungan ketika ia tahu, kekasihnya, Bryan ternyata sudah berpacaran dengan Lidya Kani Melatika, putri pemilik perusah...