Mematikan kolom komentar. Satu-satunya yang bisa Lia lakukan hanya mematikan kolom komentar bahkan meng-non-aktifkan beberapa media sosialnya. Pelukan Wira di siang hari ini memang menenangkan tetapi tidak bisa membantu banyak. Saat ini, kantornya seperti tengah dilanda lautan api dengan hebatnya. Sudah tak terhitung berapa banyak pesan masuk hanya sekadar basa-basi yang ujungnya menanyakan Wira dan kasusnya.
Pelakor. Apa-apaan?
Siapa yang merebut siapa? Rasanya Lia marah setengah mati. Dan soal Feli, sekarang, Lia ingin merobek mulut perempuan itu sesegera mungkin.
Wira mengambil ponsel yang Lia pegang sambil melemparnya asal di atas meja. "Jangan dilihatin lagi," ucapnya geram.
Lia memajukan bibir. Ia meringkuk di dalam pelukan Wira sebagai gantinya. Matanya melirik ke arah Wira. Saat ini, keduanya duduk di sofa dengan lengan Wira melingkar untuk merangkul Lia dan menenangkannya. Dua cangkir teh kamomil hangat tergeletak di atas meja. Niatnya untuk membuat tenang, tetapi belum disentuh barang sedikit pun.
Wira pulang cepat hari ini. Lia yakin, ada sekian rapat yang Wira batalkan hanya agar bisa berada di sisi Lia. Seharusnya, Wira tak perlu melakukan tindakan seekstensif itu. Tetapi, Lia bingung. Haruskah ia marah? Atau haruskah ia bersyukur karena Wira memprioritaskan kesehatan mentalnya yang nyaris gila setelah dapat serangan bertubi-tubi di media sosialnya?
Jika serangan itu belum cukup, Lea, kakaknya, menelepon tadi. Menyatakan bahwa gosip itu sudah tersiar bahkan sudah diberitakan di infotainment televisi yang ibunya tonton pagi ini. Tentu, berita itu tersiar di kanal televisi milik keluarga Daneswara yang kini dipegang oleh Stefani dan Lidya.
"Mama syok, Li. You better have a good explanation for her. Gue udah tenangin dia. Tapi, dia masih marah-marah, bolak-balik di rumah ini, malah ngotot mau ke Jakarta. Sekeluarga besar juga udah tahu." Itu ucapan Lea tadi di telepon satu atau dua jam yang lalu. "Papa seems to be the calmer one here. Dia lebih logis dan sadar kalau lo juga mungkin clueless dan pasti syok, sih. Jadi, lo mending tenangin diri dulu. Nanti, kalau semuanya udah beres, lo bisa kabarin kita"
Lia mendesah pelan mendengar ucapan kakaknya itu. Ia memaklumi ibunya yang tiba-tiba tantrum. Bagaimana tidak? Orangtua mana yang tidak gila melihat wajah anaknya berseliweran di televisi dalam predikat yang buruk. Sebagai perebut lelaki orang, pula!
"Aku harus lihat keadaan kantor sekarang," bohong Lia mengulurkan tangan. Ia ingin mengambil ponselnya lagi untuk melihat keadaan di media sosial yang kian panas.
Wira menahan tangan Lia. Memeluknya erat supaya mengunci pergerakan tangan kekasihnya. "Nggak perlu. Aku udah ngehubungin Syailendra sambil marah-marah," ucap Wira mencoba tertawa untuk menenangkan. "Kamu nggak usah takut."
Lia menghela napas. Justru ini semakin menakutkan. Ikut campurnya Wira bisa membuat keadaan semakin kacau.
"Aku dipanggil HRD besok," ucap Lia serak. Ia mendesah keras. "Kalau aku dipecat, gimana ya?"
Wira membelalak mendengar penuturan Lia. Bola matanya berputar. "Nggak mungkin!"
"Nggak mungkin gimana?" Lia berkata sebal.
"Ya, perusahaanmu nggak mungkin memecat orang segampang itu. Palingan, kamu cuma ditanya-tanya. Dan karena Feli yang berulah, mungkin dia yang akan dipecat karena mencoreng nama perusahaan." Wira menjelaskan. "Tenang aja!"
"Huh?"
"Aku bisa minta Junet ngehubungin Marco. Atau, aku yang ngehubungin Marco kalau kamu mau."
"I hate power abuse!"
"More likely to be called as connection abuse, instead?" Wira tertawa.
Decakan sebal terdengar dari Lia. Arjuna dan Marco—pemilik BuyMe—yang menjadi komisaris utama perusahaan adalah sahabat baik sejak kuliah. Satu alasan yang membuat Adhyaksa memasukan semua merek yang mereka punya ke BuyMe secara eksklusif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lead Magnet
RomanceADHYAKSA SERIES no. 5 🌼 *** Lead Magnet (n.) An incentive to attract and capture potential customer. Lia--Hazelia Salim--nyaris jantungan ketika ia tahu, kekasihnya, Bryan ternyata sudah berpacaran dengan Lidya Kani Melatika, putri pemilik perusah...