Membuka mata, Lia dihadapkan pada kenyataan bahwa kamar yang ia tempati kosong. Sisi tempat tidur yang seharusnya menjadi tempat Wira berbaring sudah rapi. Tangan Lia buru-buru memeriksa ponsel. Sudah jam sepuluh, rupanya. Wira pasti sudah berangkat ke kantor.
Ia lupa jam berapa dirinya tidur. Pergulatan kemarin begitu panas. Keduanya menghabiskan malam penuh gairah hingga tak ada kekuatan yang tersisa.
Lia turun dari tempat tidur. Ia menatap dirinya sendiri di pantulan cermin. Bekas kemerahan akibat ciuman dan gesekan cambang Wira tampak di sekujur tubuhnya. Lia tak tahu, Wira bisa segila itu.
Lia mengambil kaos milik Wira di lemari, mengenakannya sebelum berjalan ke depan. Di atas meja, tampak sebuah tas kertas warna cokelat bertempel catatan post-it warna kuning dengan tulisan tangan Wira yang menyatakan bahwa lelaki itu telah membelikan roti lapis dari salah satu kedai kopi di bawah dan tinggal dihangatkan.
Lia membuka bungkusan roti lapis itu, meletakannya di piring sebelum kemudian memasukan makanan itu ke microwave untuk dihangatkan. Ketika ingin mengambil air minum di sela menunggu roti lapis di hangatkan, ia menemukan kembali kertas berwarna kuning lain tertempel di kulkas.
Ada minuman kesukaanmu di kulkas.
Mata Lia membeliak. Ia langsung menemukan segelas besar Matcha Espresso Fusion Latte dengan susu almond kesukaannya. Senyumnya mengembang tatkala mengambil kopi tersebut. Tak lama, Lia sudah kembali duduk di meja dengan minuman dan roti lapis di sana. Ia mengambil ponsel dan membidik kamera ke arah sarapan pagi yang tersedia.
"Thank you makan paginya!" Ia mengetik pesan itu dan mengirimkannya pada Wira.
Dalam sekejap, Wira langsung membalas pesan singkatnya. "Enjoy your breakfast. Nanti sore aku pulang on-time, kangen masakan kamu. Kalau kamu merasa bahan bakunya kurang, kabarin aja, jadi aku bisa minta supir jemput kamu buat belanja. Maaf karena nggak bisa nemenin."
Kalimat yang diuntaikan Wira selalu bisa membuat Lia menghangat. Ia menggeleng cepat walau gelengannya tak dapat dilihat oleh Wira. "That's okay! Aku nanti kabarin kamu kalau butuh sesuatu. Selamat kerja!"
Lia mengalihkan aplikasinya ke Instagram. Tangannya menggulirkan aplikasi seraya menikmati makan paginya. Hingga tiba-tiba sesuatu yang janggal terjadi.
Notifikasi masuknya begitu banyak. Komentar-komentar jahat tiba-tiba bermunculan. Ia mengerutkan dahi. Bingung dari mana asalnya.
Kalimat-kalimat itu begitu jahat. Lia dikatai macam-macam. Mulai dari pelacur sampai perebut kekasih orang.
Tangannya bergetar. Ia mencoba bersikap tenang. Mencari asal usul dan penyebab masalahnya. Belum sempat ketemu, sebuah telepon dari Rana membuatnya terkesiap.
"Lo di Sukabumi?" tanya Rana langsung.
Lia mendengung. "Nggak, di Jakarta. Kenapa?"
"Lo udah lihat berita di infotainment?" tanya Rana lagi.
"Belum, kenapa?"
Suara helaan napas terdengar keras dan berat. Lia kenal betul Rana. Ketika helaan napas terdengar, ada sesuatu yang besar menghadang.
"Apaan sih, Ran? Lo jangan kayak pembawa acara lomba ngumumin pemenang, deh!" desak Lia penasaran.
Rana masih terdengar mengatur napas. Ia bergumam tak jelas. "Kantor lagi ramai," ucapnya.
Dahi Lia berkerut. Apa hubungannya?
"Lo pasti udah tahu kasus Pak Wira dan Stefani—mantan pacarnya—itu, kan?" Rana mengawali penjelasan dengan pertanyaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lead Magnet
RomanceADHYAKSA SERIES no. 5 🌼 *** Lead Magnet (n.) An incentive to attract and capture potential customer. Lia--Hazelia Salim--nyaris jantungan ketika ia tahu, kekasihnya, Bryan ternyata sudah berpacaran dengan Lidya Kani Melatika, putri pemilik perusah...