BAB 30. Quarrel in front of my eyes

869 48 7
                                    

Tepat saat aku membuka pintu, saat itu juga Adam hendak keluar dari apartemennya. Begitu kebetulan. Lantas hal itu membuat kami saling pandang untuk beberapa detik. Tak lama, aku tersenyum, menampilkan sederetan gigi-gigiku.

"Pagi, Carley," sapa Adam sambil membalas senyumanku.

"Pagi," balasku.

Cukup mendebarkan untuk kejadian selanjutnya, kukira Adam akan kembali menjadi lelaki dingin seperti pertama kali aku mengenalnya. Mengingat ia memiliki mood yang labil dan tidak bisa ditebak.

"Ingin pergi ke sekolah bersama?" tawarnya sambil mulai berjalan menuju elevator. Senyumku tak bisa ditahan bersamaan dengan itu. Aku mengangguk. Namun Adam tak bisa melihatku karena aku berjalan di belakangnya. Maka ia membuka suara dan menanyakannya sekali lagi. Cukup membuatku gugup karena merasa salah tingkah.

"Iy-iya," jawabku gugup. Seketika Adam menarik tanganku untuk mensejajarinya, hal itu membuatku sedikit terkejut.

"Jangan pernah lagi berjalan di belakangku. Sejajari langkahanmu," kata-katanya mampu membuat perasaanku campur aduk. Mungkin Adam memang biasa saja saat mengatakannya. Tapi menurutku, itu seperti menghentikan beberapa detik fungsi jantungku dan berhasil membangunkan kupu-kupu di dalam perutku.

Kejadian selanjutnya seperti berada di pulau mimpi, Adam mengoceh tentang hal-hal kecil yang ia lihat saat di elevator, sesekali juga ia mengajakku bercanda yang mana berhasil menghilangkan rasa gugupku. Hal ini tak pernah terjadi sebelumnya. Menjadi pria pendiam dan dingin selama ini banyak menutup dirinya dari apapun. Dan sekarang aku bisa sedikit lebih mengenal dirinya.

Elevator terbuka ketika aku kembali tertawa. Candaan yang tak terlalu lucu miliknya mampu membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Entahlah, mungkin alasannya karena aku terlalu senang mendapati moodnya yang begitu baik hari ini. Terlebih lagi, suara tawa Adam begitu menggemaskan dan dapat membuat siapa saja ikut tertawa ketika memdengarnya. Adam keluar lebih dulu sembari menaruh kedua tangannya ke dalam saku celana. Aku menyeimbangi langkahan kami. Sebagaimana yang telah diperingatkannya beberapa menit yang lalu. Adam kembali tersenyum ketika ia menoleh padaku yang mengiringi langkahannya.

Namun langkahan kakiku berjalan lebih cepat ketika aku melihat lukisan favouritku dari jarak yang tak terlalu jauh. Lantas aku segera menarik tangan Adam-seperti yang sering dilakukannya padaku- membawanya berdiri tepat dihadapan lukisan itu dengan semangat.

"Ayo Adam, kau harus lihat lukisan favoritku,"seruku bersemangat.

"Ini?" dahinya berkerut seakan meremehkan. Ketika kutunjuk lukisan itu.

"Ya!"

"Jelek. Aku yakin pelukisnya memang seorang amatir. Mengapa kau sangat menyukai karya-karya LM, Carl?" tanyanya sedikit memprotes. Ia menyerongkan tubuhnya sedikit ke kanan menatapku.

"Buka matamu Adam. Ini lukisan yang bagus. Memangnya seperti apa definisi 'bagus' menurutmu?" kataku sambil terkekeh.

"Kau ingin tahu?" ia memajukan wajahnya beberapa senti. Membuatku tertegun dengan posisi yang mendebarkan ini. Ya, dia bisa dengan mudah membuatku berdebar sangat hebat. Aku mengangguk seketika.

"Akan kutunjukkan lain kali. Sekarang cepat pergi ke sekolah, karena kita akan telat nanti."

****

Aku menginjakkan kakiku di halte setelah turun dari bus. Hembusan angin sepoi yang menghampiri berhasil mengacak rambut panjangku yang terurai. Membuatku harus merapikannya dan berhenti sejenak. Namun hal itu tak jadi kulakukan karena Adam yang baru saja turun, dengan sigap merapikannya dari belakang. Membuatku terdiam di tempat. Kini kurasakan detakan jantungku yang bertubi-tubi lebih cepat. Dengan lihai tangannya merapikan rambutku layaknya sisir. Sesekali tangan halusnya itu menyentuh bagian leherku yang mana berhasil membuatku bergidik geli.

The Secret Between You And LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang