BAB 56. A new day has come

623 37 0
                                    

Seiring dengan berjalannya waktu, aku benar-benar yakin bila aku telah pulih sepenuhnya. Semuanya kembali normal dan berjalan baik. Aku telah menyelesaikan segala novel dan DVD yang diberikan Calvin, nampaknya Calvin senang karena pemberiannya tidak berakhir dengan sia-sia.

Dua bulan hampir berlalu. Selama itu pula aku meninggalkan sekolah dalam waktu terlama di hidupku. Dan untuk alasan itu pula, tiga hari sebelum kembali masuk sekolah aku menyalin banyak catatan dari buku Calvin dan mempelajari banyak materi yang tertinggal. Calvin menjelaskan dengan detil mengenai pelajaran-pelajaran itu. Dia juga menceritakan apa saja rangkaian kegiatan di sekolah selama aku tak ada dan bercerita tentang hal-hal yang ia alami disekolah.

"Oh iya, Austin, Christian, dan Brad sangat merindukanmu!" seru Calvin disela-sela ceritanya saat itu.

"Oh ya?" aku tersenyum lebar sambil mengerutkan kening.

"Ya," Calvin mengangguk. "Saat itu mereka memaksaku memberi alamatmu, tapi waktu itu keadaan belum memungkinkan."

Calvin menyuap keripik tortila yang menjadi camilan ditengah-tengah kesibukan belajar kami. Gurihnya keripik itu menimbulkan bunyi kriuk yang memenuhi keheningan. Aku baru saja akan kembali menulis ketika Calvin kembali berkata.

"Perrie dan Michael juga," kali ini aku terdiam. Aku menatap kertas putih di hadapanku dengan kosong. Mereka juga terlibat. Untuk apa mereka ingin menemuiku? Apa mereka ingin meminta maaf atas kebungkaman itu? Aku menggeleng pelan. Kutepis pikiran-pikiran dendam itu.

Semuanya sudah berlalu, Carley. Semuanya telah membaik.

Untuk beberapa detik, kulirik Calvin yang kembali menyuap keripik itu ke dalam mulutnya. Dia tidak tahu. Tentu tidak tahu. Aku belum menceritakan pada Calvin semuanya, tentang Isaac, peringatan Michael dan Perrie saat itu, kejadian detil malam itu, bahkan mimpi seram yang berhasil membuatku bergidik ngeri. Sekali lagi, semuanya telah membaik. Aku tak perlu kembali mengungkitnya.

"Kau tahu...." tiba-tiba Calvin berhenti ditengah ucapannya yang belum selesai. Ia menatap lurus televisi yang menayangkan acara talk show-acara malam yang selalu kami tonton- seakan menerawang masa depan. Setelah beberapa detik mempelajari ekspresinya, Aku tahu Calvin tidak sedang menerawang masa depan. Itu ekspresi yang sering kulihat saat ia ragu untuk mengatakan sesuatu.

"Bila itu tentang dia, aku tidak mau dengar!" tegasku dengan cepat sebelum dia kembali meneruskan ucapannya. Kali ini aku menggenggam pulpenku dengan erat. Aku kembali menulis tanpa memedulikan lagi topik bahasan ini. Dari buntut mata aku dapat melihat bila Calvin menatapku dengan rasa bersalah.

"Tolong, jangan pernah membahas sedikitpun hal kecil tentangnya. Aku tidak mau tahu lagi," akhirnya aku mengucapkan kata-kata yang sudah kutahan sejak tadi. Calvin mengangguk pelan dan lagi-lagi, ia terlihat bersalah.

***

Meskipun kata hatiku bersikeras untuk terus membencinya, tapi percayalah ada secuil dari diriku yang merasa hampa ketika menyadari semuanya telah berakhir. Buku itu akhirnya benar-benar tertutup dan entah kapan akan dibuka lagi. Kini, aku kembali memulai semuanya dari awal, mulai bersekolah seperti biasa. Murid-murid tak pernah lagi memandangku dengan sinis, meskipun dihari pertama mereka terlihat agak kaget. Teman-temanku mulai bersikap ramah-tentu saja merasa iba dengan kejadian yang menimpaku waktu itu- mereka mengajakku berbicara lebih lama terutama Chloe dan Lilly yang selalu memutar bangkunya ketika jam kosong. Aku seakan menemukan impian awalku, dimana teman-teman kelasku menyambutku dengan ramah dan beberapa anak perempuan ikut bermain denganku. Teman sebangkuku, Perrie. Dia sudah sering mengajakku berinteraksi dan tidak lagi sinis. Bahkan ketika aku melamun dia selalu membuka topik yang membuat kami larut di dalamnya. Kemudian Chloe dan Lily akan memutar kursi mereka dan kami akan mengobrol sesama perempuan. Keadaan telah berubah, bila dulu aku yang selalu memutar bangku ke belakang dan mengobrol pada anak laki-laki saja, kali ini mereka (Calvin, Austin, Bradley, Christian) yang membawa kursi mereka ke meja kami sehingga membentuk suatu komunitas paling besar di dalam kelas. Keseruan itu kadang membuat kami bahkan menghabiskan jam istirahat di dalam kelas, melanjutkan obrolan yang tidak berujung kecuali terpaksa berhenti karena tiba-tiba saja ada guru yang mengajar.

The Secret Between You And LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang