BAB 23. Birthday (3)

740 39 0
                                    

The song:
⚫the vamps- high hopes

"CARLEY!" seru seseorang yang berada di belakangku. Aku menoleh dan mendapati Calvin yang sedang berlari dengan nafas terengah-engah.

"Hey, Calvin! Kau dari mana saja? Aku mencari dari tadi," seruku dan berjalan menghampirinya.

"Hah! Yang benar aku yang mencarimu. Saat aku kembali ke kelas, aku tidak menemuimu disana. Apa Michael menyakitimu?" nada bicara yang tadinya kesal, kini berubah menjadi ke khawatiran di akhir perkataannya. Aku tersenyum sambil menggeleng pelan.

"Tidak. Dan apakah Alex menyakitimu?"

"Tidak. Tapi dia mengunciku di toilet pria sebelum dia kembali ke kelas," tiba-tiba aku merasa bersalah. Calvin tak mungkin dapat masalah jika bukan karena aku.

"Benarkah itu? Lalu siapa yang membukakan pintunya?"

"Ya. Petugas kebersihan. Mereka mendengar suara teriakanku,"

"Kurasa tidak ada salahnya membela diri. Kita bisa membalas perbuatan Alex mungkin?"

"Kau mau mencari masalah, hah?" suara itu bergabung dengan percakapan kami. Sontak aku dan Calvin menoleh pada sumber suara. Adam. Astaga! Aku baru ingat bahwa Adam masih bersamaku. Lelaki itu berjalan mendekati kami dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.

"Kau tidak akan melakukan itu Camryn," lanjutnya sambil menatapku dingin. Calvin membulatkan matanya sedikit. Ia melirikku dengan kedutan disudut bibirnya. Menahan tawa. Itulah yang sedang Calvin lakukan. Tentu saja, dia menertawai kesalahan nama itu.

"Y-ya. Tentu saja, aku hanya bercanda tentang itu," kataku gugup. Takut bila Adam akan mengadukan ucapanku pada Alex. Lalu mereka akan kembali mengerjaiku.

"Tapi... namaku Carley, bukan Camryn," ucapku pelan sambil menunduk. Aku menahan tawa kali ini. Alangkah susahnya orang ini mengingat nama. Bahkan dia sudah menyebutku dengan beraneka nama yang dianggapnya benar. Melihat ekspresiku yang memerah akibat menahan tawa, Adam beralih menatap Calvin yang sama saja denganku. Kedutan diujung bibir itu sekuat mungkin ditahan Calvin agar tak semakin melebar. Adam menjadi sangat bingung seketika. Namun disaat bersamaan ia terlihat malu karena sering sekali menyebut namaku dengan salah. Merasa tersudutkan, Adam pun membalikkan badan dan pergi menjauh dari kami. Ia mengambil langkah lebar-lebar agar segera menghilang dari pandangan kami.

Calvin melirikku ketika Adam tak terlihat lagi di penglihatan kami. Dan disaat itu pula tawa kami pecah. Suara tawa kami menggema di lorong yang sepi. Butuh waktu lama untuk menghentikan tawa itu. Dan pada akhirnya, tawaan kami berhenti ketika bel pelajaran selanjutnya berbunyi.

****

Mrs. Clara sibuk menjelaskan materi baru yang kami pelajari hari ini. Sedari tadi pula pandanganku tak luput dari papan tulis dan angka-angka yang tertera disana. Pelajaran matematika adalah pelajaran menyulitkan yang dibutuhkan konsentrasi untuk memahaminya. Setidaknya itu untukku. Maka dari itu, aku tak ingin melewati sedetik pun pelajaran ini. Apalagi sampai tak mengerti sedikitpun bagian dari cara mengerjakannya. Karena bagaiamana pun, aku tak ingin menjadi yang tertegun saat menatapi soal-soal itu pada lembaran ujian nanti. Pelajaran yang rumit serta penjelasan yang membosankan itu membuat semua murid sibuk sendiri dengan pekerjaannya. Raut wajah bosan itu terlihat dengan jelas diwajah mereka. Terlebih lagi mereka tak menangkap pelajaran dari awal yang tentunya sangat berkaitan dengan penjelasan selanjutnya. Alhasil mereka tak memahami sedikitpun penjelasan Mrs. Clara dari tadi dan memilih menyerah untuk memperhatikannya. Sebagian dari mereka sibuk memainkan handphonenya. Seperti Michael, Harry dan Alex yang tak tanggung-tanggung memainkan handohone di depan Mrs. Clara. Dan yang paling membuatku tercengang adalah Michael, dia sedang memainkan sebuah game di handphonenya dengan volume keras dan kupikir dia sengaja melakukan itu untuk mengganggu kami yang sedang belajar. Ditambah lagi, ia mengangkat kedua kakinya di atas meja, serasa seperti ia sedang berjemur di pantai. Namun Mrs. Clara tak berani untuk menegur apapun aktifitas mereka saat ini. Tentu, ia tak berani. Seluruh guru yang memasuki kelas ini tak pernah bertindak tegas. Apalagi menegur siswanya. Mereka terlalu takut dengan murid-murid kelasku yang sudah terkenal ke berandalannya. Baik dalam berperilaku maupun bertindak.

The Secret Between You And LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang