Bab 54. Tears and tears

592 35 9
                                    

Sesampainya di rumah aku merasa kesepian saat menatap seisi apartemen. Ruangan itu, meja makan, sofa, bahkan lukisan pemberiannya. Membuatku kembali menumpahkan air mata. Aku tidak ingin menangis lagi. Aku terlalu lelah. Mataku bengkak dan aku tidak memiliki energi lagi. Namun melihat sekelebat bayangan saat aku dan Adam menyantap makanan di meja itu kembali membuatku murka. Bayangannya yang sedang duduk di sofa membuatku kembali meraung. Hal ini menguras banyak emosi. Aku marah, sedih, dan juga kecewa semuanya menjadi satu dan sangat menyakitkan.

Aku terisak. Kembali mengingat pengkhianatan yang diucapkannya dengan begitu keji. Dadaku terasa nyeri. Aku hancur berkeping-keping. Pria yang selalu mengisi kekosongan hariku itu telah berkhianat. Tak diduga ternyata dibalik pintu-pintu kebaikan yang ia beri ternyata sebuah lubang yang menguburku dalam-dalam. Aku tak percaya bahwa duniaku hancur menjadi abu. Semua kepercayaan dan impian lenyap seketika. Oh, tidak. Apa yang kuimpikan dengannya? Aku muak dengan semua pikiran tentangnya.

Bola mataku menangkap benda yang terpajang di dinding. Lukisan. Pemberian dari si brengsek itu. Kebencian langsung terkandung dari tatapanku. Dengan kesal aku berlarian kearah lukisan itu. Aku menurunkannya, siap untuk merobek-robek dan menghancurkan benda pemberiannya. Aku tak ingin memiliki apapun yang membuatku terkenang dengannya. Anehnya, semua benda-benda yang berada di apartemenku selalu mengingatkanku padanya. Semua benda itu memiliki masing-masing kisah tentangnya. Ironi. Aku tidak mungkin membuang semuanya hanya karena dia. Kuturunkan lagi tanganku yang tadinya hendak merobek lukisan itu. Aku menatapnya nanar. Pandanganku memudar, gigiku terkatup rapat, dan aku kembali menangis. Aku tak bisa menahannya. Terlalu kesal untuk melupakan semua yang dilakukannya padaku. Lukisan itu tidak semestinya dimusnahkan hanya karena pria sepertinya. Walau bagaimanapun, lukisan itu dibuat oleh seniman favoritku. Tak seharusnya aku menghancurkan sebuah benda hanya karena kesal dengan pemberinya. Aku menunduk pasrah. Kutaruh kembali lukisan itu ke tempatnya dan melupakan orang dibalik pemberian itu.

Ya, aku tak bisa menghancurkan barang-barang karenanya. Itu tidak pantas dan sama saja membuatnya bertepuk tangan menang karena melihat keterpurukanku.

Selama hampir seharian itu aku tak keluar dari kamarku. Tak bergeming dari tempat tidur dan terus menangis di sana. Aku telah mengalami titik terendahku. Dimana hal itu memutar duniaku dengan goncangan terdahsyat. Pengkhianatan mutlak, kata-kata itu terus mengingatkanku pada peristiwa hari ini yang membuatku pada akhirnya akan kembali menangis. Meringkuk sambil memeluk guling dan menangis tanpa suara. Air mata itu sudah membasi cela di bantalku. Aku tidak tahu sudah berapa ribu butir air mata yang mengalir dalam hitungan menit. Aku merasa lelah. Mataku berat dan sipit karena bengkakannya. Dengan air mata yang belum mengering, akhirnya aku merasakan suatu kenyamanan yang membuatku melupakan segalanya. Mataku tertutup rapat. Nafasku terdengar teratur dan aku mulai tertidur.

***

Aku terbangun pada pukul delapan malam. Saat itu seseorang mengetuk pintu kamarku dan membujukku keluar kamar untuk mengisi makanan pada perutku. Aku mengerang malas dan merasakan sinar bulan yang berhambur masuk dari tirai jendela yang dibiarkan mengaga. Kamar itu gelap. Hanya cahaya remang bulan salah satunya penerang yang memapahku pada saklar lampu.

Klik!

Kamarku berbubah terang. Tepat di tempatku berdiri, aku berhadapan dengan cermin yang menampakkan sosok mengerikan. Seorang gadis frustasi dengan permasalahan pelik. Rambutku berantakan. Mataku bengkak dan memerah. Dibawahnya terlihat jelas lingkaran hitam yang menakutkan. Wajahku masih terasa lembab akibat air mata yang tak berkesudahan itu. Aku menyekanya hingga benar-benar kering. Kurapikan rambutku dengan jari-jari tangan dan mengaturnya sedemikian rupa.

Suara itu kembali membujukku untuk keluar. Aku membuka pintu, melihat Calvin duduk dan menyandarkan bagian kiri tubuhnya pada dinding sebelah pintu. Tangannya bergaya hendak mengetuk pintu. Ia terlihat frustasi. Barangkali Calvin sudah mengetuk pintuku berjam-jam lamanya. Saat aku meliriknya, Calvin segera bangkit.

The Secret Between You And LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang