BAB 39. Beside You (2)

520 35 0
                                    

Malam itu menjadi malam pertama kalinya aku dan Adam menghitung bintang-bintang di langit. Meski berkali-kali Adam menolak ajakanku dan mengatakan itu hal yang kekanak-kanakan, tapi akhirnya ia mulai memperhatikan caraku menghitung bintang lalu bergabung bersamaku.

"tidak buruk," katanya sambil mengangkat kedua bahunya kilat.

Aku menoleh dengan senyuman tipis yang agak tertahan, menatapnya yang sedang mendongak ke langit malam, menghitung bintang meski ia tidak bisa benar-benar menghitung semuanya. Wajah pucat itu terlihat begitu tenang ketika angin menyentuh pelan kulit wajahnya. Seketika senyumanku sedikit lebih melebar. Merasa bersyukur betapa beruntungnya aku bisa berada di sampingnya saat ini, merasa beruntung bila aku bisa sedekat ini dengannya, dan merasa beruntung bila sedikit demi sedikit aku juga mengetahui ceritanya.

Senyumanku memudar ketika Adam menoleh kearahku, aku tergugup dan merasa malu ketahuan sedang mengamatinya. Tapi sepertinya Adam tidak keberatan dengan itu atau mungkin dia memang tidak menyadarinya.

"Seratus dua belas. Bagaimana denganmu?" Tanyanya yang menanyakan berapa jumlah bintang yang berhasil kuhitung. Jelas jumlah yang kudapati di bawah jumlah yang dimiliki Adam, itu karena kegiatanku terhenti ketika aku asyik memandangi wajah teduhnya.

"hmm....seratus dua puluh?" Sahutku yang lebih mirip seperti pertanyaan.

"Selisih sedikit," Balas Adam, kembali menatap lurus langit malam.

"Yah, sedikit," Kataku meski aku tidak benar-benar yakin jumlah yang kuhitung bisa melebihi Adam.

Aku melakukan hal yang sama seperti Adam, mendongak menatapi langit-langit malam yang menampakkan hamburan bintang yang kerlap-kerlip. Cahaya rembulan yang menerangi terlihat begitu serasi dibarisan bintang-bintang yang terpencar. Angin kembali berhembus dan aku kembali merapatkan jaket yang kugunakan. Oh, semoga aku tidak masuk angin esok hari.

Adam menutup matanya, menikmati angin yang terus berlalu-lalang. Sedangkan aku sudah merasa kedinginan namun tak bergeming dari tempatku. Aku merasa nyaman meski kedinginan, aku merasa senang meski kemungkinan besar aku bisa masuk angin habis ini. Kepalaku mulai terasa sakit karena lantai semen yang kami gulingi saat ini. Yah, sedari tadi kami berada pada posisi berguling di lantai rooftop. Menatap langit-langit malam hanya dengan sedikit dongakan. Tiba-tiba saja, Adam membuka matanya dan berdiri. Lantas aku segera mengikutinya. Kali ini tatapan kami tak lagi pada langit malam, tetapi beralih pada hamparan kota London yang terlihat sibuk dimalam hari.

"Lihat, kau bisa lihat itu?" Tunjuk Adam pada satu objek yang dituju bola matanya. Aku mengikuti arah jarinya yang menunjuk sesuatu itu, namun aku mengernyit ketika mendapati bagian pepohonan lebat yang sedang ia tunjuk.

"Sekolah kita," Ucapnya, lalu memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Aku kembali memperhatikan pepohonan itu, membuatnya menjadi jelas, bahwa aku tidak bisa melihat sekolahku dari sini. Tapi aneh bila Adam bisa melihatnya sedangkan aku tidak. Padahal kami berada di tempat yang sama. Akhirnya aku berpikir bahwa aku harus berpindah tempat dimana Adam berdiri. Lalu aku pindah ke sebelah kiri Adam, dan barulah aku bisa melihat sekolahku dengan jelas. Bangunan yang tak tampak megah, namun luasnya luar biasa tampak terang dari kejauhan. Semua lampu-lampu dihidupkan, bahkan lampu-lampu kelas yang-aku-tak-tahu-kelas-berapa-karena-aku-tidak-pernah-melewatinya sengaja dihidupkan. Membuatnya terlihat paling terang dari bangunan lain yang terlihat dari tempat kami berdiri. Setelah kupikir-pikir, wajar saja sekolah menghidupkan semua lampu, karena sekolahku berada sedikit jauh dari jalan raya. Ketika berada di jalan raya, maka kami harus memasuki jalanan sepi yang bagian-bagian pinggirya dipenuhi pohon pinus yang saling berdempetan. Lebih mirip seperti masuk ke dalam hutan lebih dulu agar sampai di sekolah. "Oh, ya. Ngomong-ngomong apa kau berada di sana ketika aku bertengkar dengan Liam dan Louis?" Tanya Adam tiba-tiba. Dia menoleh menatapku dan aku mengangguk. Seketika Adam menunduk, memainkan tangannya yang menyatu dan berkata.

"Maaf karena melihatku menjadi sangat menakutkan."

Aku mengangguk dan tersenyum. "Yah, kau menakutkan bila sedang marah."

"Apa kau takut?" tanyanya dan aku langsung menjawab. "Tidak, karena kau tidak sedang marah saat ini." sahutku jenaka, Adam berhasil tersenyum meski sangat tipis. "Lagipula, aku menyaksikan semuanya dan dari hasil pengamatanku kau tidak bersalah."

Adam menatapku seakan-akan ini adalah perbincangan yang menarik. "Mengapa kau berpikir demikian?" tanyanya cukup serius.

"Karena aku melihat bila Liam dan Louis yang menghampirimu lebih dulu lalu mereka mulai menyerangmu." Tatapan Adam terlihat lebih tajam dari sebelumnya. Seketika aku merasa dia bersikip dingin sama seperti aku pertama kali bertemu dengannya. "Bagaimana bila semua yang kau lihat itu salah? Bagaimana bila aku yang lebih dulu menyuruh Liam dan Louis kesana dan memang berniat untuk menghajarnya? Bagaimana bila aku tak sebaik yang kau pikirkan? Bagaimana bila...aku....akan menjatuhkanmu dari tempat ini sekarang....Carley...DARRR!!!"

"AAAAA..." teriakku terkejut. Spontan aku langsung melangkah menjauh dari Adam, sedangkan taawaan Adam menggelegar di keheningan malam. Aku termangu di tempatku sambil merasakan jantungku yang hampir meloncat saking kagetnya. Nafasku yang tercekat, terasa begitu sulit untuk kembali teratur. Aku menatap Adam, masih tertawa keras sedangkan aku ketakutan setengah mati seolah-olah Adam berubah menjadi iblis jahat yang hendak menghancurkan London beserta isinya. Aku kembali teringat tatapan jahatnya ketika ia bicara tadi, tatapan yang sama seperti pertama kali aku bertemunya. Raut wajahnya pun menyeluruh, menggambarkan bila ia seorang aktor yang benar-benar hebat. Akhirnya Adam berhenti tertawa, ia menoleh padaku dengan rasa bersalahnya.

"Carley," panggilnya. "kau tahu, aku tidak akan benar-benar bisa menyakitimu," mengakhiri perkataannya, Adam mengulurkan tangan berharap aku akan langsung meraihnya. Aku tahu ia hanya bercanda tadi, tapi rasanya hal itu seperti nyata. Aku merasa bimbang untuk menerima uluran tangannya walaupun itu hanya sebuah uluran dan tak terlalu berarti.

Bagaimana bila aku tak sebaik yang kau pikirkan? Aku tak yakin bila Adam akan berbuat jahat padaku, tapi mengapa perasaan itu sulit ditepis? Aku melirik Adam yang saat ini tersenyum tulus. Tatapannya begitu lembut untuk orang yang sedang berakting. Aku berjalan beberapa langkah dan menerima uluran tangannya. Di saat itu, Adam segera mengenggamnya erat seolah tak ingin kehilangannya. Rasa hangat genggamannya seolah-olah memberiku sedikit ketenangan namun lagi-lagi, perasaan itu begitu sulit ditepis. Bagaimana bila aku tak sebaik yang kau pikirkan? perasaanku tak enak. Ayolah, Carl. Mengapa kau mengkhawatirkan sebuah candaan yang tak penting itu? menghela nafas, aku membalas senyuman Adam. Dia tulus. Benar-benar tulus.

The Secret Between You And LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang