BAB 36. Something happen

767 38 0
                                    

Pagi ini aku melihat Bella yang sedang melambaikan tangannya padaku. Aku menyapanya dan berjalan menuju meja resepsionis, tempatnya.

"Carley!" serunya.

"Bella!" balasku dengan senyuman yang selalu terukir.

"Ini ada kiriman untukmu, kemarin kurirnya mengantar ke apartemenmu tapi sepertinya kau pergi seharian penuh," jelas Bella dengan senyuman ramahnya. Ia menyodorkan sebuah kotak biru berukuran sedang dengan pita kuning diatasnya. Aku menerima kotak itu dengan bingung, bertanya-tanya siapa yang memberi hadiah ini. Tapi jawaban itu langsung kutemukan ketika aku melihat sebuah tulisan di atas pita kuning. ini dari Ayah!

"Oh! Kurirnya juga minta maaf atas keterlambatan barangnya dan sebagai permintaan maaf, ia memberimu...hmm... Aku tak yakin karena aku tak berani memeriksanya, tapi sepertinya ini adalah snack?" lanjut Bella dengan kening yang mengkerut. Ia menyerahkan sebuah plastik berwarna hijau serta isi di dalamnya.

"Oh, ya?" kataku sambil menerima plastik itu. Kubuka plastik itu dan menengok isi di dalamnya. Mengangguk, aku membenarkan hipotesis Bella mengenai isi tersebut.

"Waw, kau benar. Tapi serius, kurir itu tak perlu merasa bersalah seperti ini. Aku tak keberatan dengan keterlambatannya. Baiklah, Bella. Snack ini untukmu saja."

"Terima kasih banyak, tapi aku tidak bisa menerimanya. Ini untukmu Carl."

Bella kembali tersenyum sambil menyodorkan kembali plastik hijau tersebut.

"Kau yakin?" tanyaku yang langsung diangguki oleh Bella.

"Baiklah kalau begitu, aku pergi sekarang dan terima kasih," maka dengan demikian aku segera berlarian kecil keluar dari bangunan ini.

"Hati-hati di jalan, Carl!" seru Bella sambil melayangkan lambaiannya. Aku mengangguk dan mengacungkan jempolku kearahnya lalu kembali berlari menuju halte.

Kulirik arlojiku yang menunjukkan pukul 07:25. Lima menit lagi bus selanjutnya akan tiba dan aku tidak mau menunggu lama bila sampai tertinggal. Dengan tergesa-gesa aku berlarian hingga ke halte. Tepat sekali, di saat aku telah sampai di halte, bus berwarna merah itu muncul dari kejauhan. Perlahan bus itu makin membesar di penglihatanku.

Melangkah masuk, aku memilih bangku belakang paling pojok yang berdekatan dengan jendela. Pandanganku mengarah ke luar yang memperlihatkan berbagai macam kegiatan masyarakat London di pagi hari. Ada yang sedang berolahraga, bersepeda, serta murid-murid yang berjalan di trotoar hendak ke sekolah, sepertiku. Menghembuskan nafas berat, aku merasa sepi. Entahlah, mungkin karena Adam tidak berada di dalam bus yang sama denganku. Mungkin ia sudah lebih dulu, atau lebih lambat. Atau bahkan telah tiba di sekolah. Dua hari ini aku memang tidak pergi bersama dengannya ke sekolah, tidak seperti biasanya yang hanya kebetulan. Dan saat ini, aku baru sadar bahkan aku sangat menginginkan kebetulan itu terjadi setiap hari.

Dua puluh menit berlalu dan sampailah aku di halte sekolah. Aku turun dari bus dan langsung menginjakkan kaki di halte. Menuruni beberapa anak tangga, aku memegang tali backpackku, kembali berjalan menuju gerbang sekolah. Langit pagi ini terasa begitu cerah, udara sejuk berlalu lalang menyentuh wajahku, memberikan sensasi geli ketika helaian rambut-rambutku menyenggol pipi. Aku menghirup nafas dalam, tak melupakan langkah santai untuk terus melaju.

Saat mataku menyapu pandangan sekeliling, aku menangkap sosok Adam yang berlarian seperti sedang terburu-buru. Lantas senyumanku langsung mengembang, aku ikut berlari hendak memyusulnya. Namun hal itu membuatku mengurungkan niat ketika aku melihatnya menemui seseorang dari jarak sepuluh langkah dari gerbang. Kedua orang itu adalah Liam dan Louis. Liam menyeringai lebar seperti bajingan tolol, dia terlihat begitu licik. Sedangkan Louis, ia tersenyum tipis terlihat begitu sinis. Mereka benar-benar cocok menjadi pemeran antagonis dalam sebuah cerita maupun realita. Aku tak memungkiri ketika melihat wajah keduanya, ada sesuatu yang aneh. Mereka terlihat begitu licik dan senyuman mereka begitu menjengkelkan. Aku tidak tahu mengapa aku mempunyai perasaan semacam membenci mereka, tetapi dari pandangan mereka menatap dan sikapnya benar-benar memperlihatkan bahwa mereka adalah dua bajingan angkuh yang bertindak seenak perutnya. Bahkan aku bertanya-tanya mengapa bisa pemimpin siswa adalah orang seperti Liam. Dia bahkan tak pantas untuk mendapat posisi itu. Satu-satunya orang yang pantas mendapat posisi itu dari kelas 3-1 adalah Isaac, kurasa. Setidaknya hanya dia yang kuketahui memiliki kesucian hati yang tak dibuat-buat, tapi aku masih tidak menganggapnya jujur dengan perkataannya tempo hari. Oh, bahkan aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengingatnya. Mengingat hal itu hanya membuatku akan berpikir buruk tentang Isaac padahal dia tidak seburuk itu.

The Secret Between You And LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang