BAB 7. That's them

981 51 0
                                    

Pilihan Calvin mengenai sneakers yang cocok untuknya sangat tepat dengan pilihanku. Ia memilih sneakers berwarna hitam polos. Simple memang tapi terlihat sangat mahal dan berkelas, cocok dikakinya yang jenjang. Kualitas sneakers yang ada di toko ini patut kuacungi jempol. Banyak barang-barang branded yang jumlahnya lebih dari satu brand.

Selama memilih-milih sneakers, aku dan Calvin terus bercerita. Aku mengatakan bahwa aku suka mengoleksi sneakers. Dimana itu membuatnya takjub. Ia berkata bahwa anak perempuan lebih senang mengoleksi accessories ataupun benda-benda untuk bersolek. Kukatakan padanya aku memang aneh, bahkan satu-satunya benda make up yang kupunya hanya lipgloss dengan rasa jeruk meskipun umurku hampir 16 tahun. Ia hanya terkekeh ketika mendengar jawabanku.

Setelah selesai memilih sneakers untuk Calvin, kami beralih pada rak selanjutnya tempat yang ditaruh banyak flatshoe terpajang rapi. Calvin sangat antusias membantuku memilih beberapa flatshoe. Pilihannya selalu sependapat denganku, ketika dia memilih satu flatshoe bermotif bunga daisy aku juga berfikir untuk memilihnya. Calvin mengatakan bahwa itu akan terlihat cocok dikakiku yang berukuran kecil sehingga terlihat imut.

Setelah selesai memilih sepatu, aku dan Calvin beranjak menuju bagian pakaian. Kami sibuk memilih pakaian untuk diri kami masing-masing. Aku merasa menyesal telah mengatai ibu 'gila belanja' karena kenyataannya aku juga terlihat gila belanja sekarang.

Aku meraih tshirt berwarna abu-abu. Tak ada motif. Hanya beberapa kata yang tertera pada bagian depan baju tersebut. Itulah pilihanku. Pada umumnya, aku lebih menyukai pakaian yang seperti ini. Calvin melirikku.

"Hey!" ia berseru. Lantas aku langsung menoleh. Ia memegang baju yang warnanya sama denganku. Terdapat kata-kata juga didepan bagian baju tersebut. Hanya saja, kata-katanya tak sama dengan tshirt pilihanku.

"Hey, kau menyontek. Jangan menurut-nurutiku membeli baju yang sama," kataku sambil melirik baju yang ia pegang. Calvin terkekeh sambil menunduk. Ia selalu melakukan hal itu. Anak ini terlihat sangat pemalu.

"Just kidding. Kau bebas memilih baju apapun."

Hampir dua puluh menit kami berada ditoko ini bersama. Masih memilih-milih baju di beberapa sisi toko. Aku yang paling banyak bercerita sedari tadi. Sedangkan Calvin hanya menjawab sesekali perkataanku. Ia terus menjadi pendengar yang baik seakan aku adalah ahli dongeng.

"Calvin, bagaimana bila besok aku akan mentraktirmu disekolah? Anggap saja itu seperti sambutan pertemanan dari teman baru?"

Calvin menghentikan langkahnya, kemudian duduk pada bangku yang ada di toko ini. Ia mengangguk sembari menunduk.

"Terima kasih." Calvin masih tertunduk tapi terlihat sunggingan senyuman dibibir penuhnya.

Bagus. Bayangan diriku menari-nari girang di dalam pikiranku. Dia akan menjadi temanku. Satu-satunya teman yang bersikap layaknya teman dan bukan menjadi seorang musuh. Aku sangat bersyukur karena Calvin, orang yang sangat berbeda dari orang-orang dikelasku. Dia terlihat sangat baik meskipun ia culun. Serius, aku tak masalah berteman dengan orang culun atau dengan gelandangan sekalipun.

"Dan besoknya aku yang akan mentraktirmu, sebagai jawaban dari penerimaan pertemananmu. Bagaimana?" Calvin menatapku. Ia memiringkan kepalanya ketika menoleh.

"Apa? Penerimaan pertemanan? Pffttt..." aku mutup mulutku. seketika ingin mengeluarkan tawaan yang akan meledak saat ini juga. Perkataannya sangat menggelikan.

"Hahaha..... Kenapa aku bisa mengatakan hal sekonyol itu yah?" Calvin tertawa sambil menggaruk rambutnya yang tak gatal. Aku dapat melihat garis bibirnya yang tertarik penuh keatas. Membuat tawaannya semakin melebar.

The Secret Between You And LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang