BAB 53. Lier

667 37 9
                                    

Pagi itu, aku merasa segar bugar meskipun hanya tidur satu jam penuh. Seolah aktivitas-aktivitas yang membuatku begadang semalam hanyalah mimpi yang menemani tidurku. Udara pagi yang lembab meninggalkan jejak embun di jendela kamarku. Apabila aku menulis sesuatu dengan jariku dikaca itu, maka tulisannya akan muncul dengan jelas. Dari balik jendela, Sinar matahari yang lembut di awan abu-abu mendung terlihat tak biasanya. Udara pagi itu terasa lebih dingin dan asing. Bau tanah dan rerumputan memadati penciumanku saat aku melewati jalanan menuju halte. Angin yang berhembus berkali-kali meniupkan dedauan pohon ke kanan dan ke kiri, bergerak layaknya tarian hawai. hempasan dedaunan itu berdesir lembut. Orang-orang yang berlalu lalang di trotoar mengenakan baju berlapis-lapis ditambah coat berwarna gelap tampak tertib dan sunyi. Pagi ini tak banyak orang yang keluar rumah, udara yang semakin dingin membuat orang-orang memilih menyalakan pemanas ruangan dan berdiam diri di rumah.

Hari ini, aku pergi ke sekolah tanpa Adam. Dia tidak mengatakan ingin berangkat sekolah bersama denganku semalam, atau biasanya dia akan segera mengetuk pintuku lalu masuk ke dalamnya. Tapi Adam tidak melakukannya hari ini. Dan untuk beberapa alasan, aku tidak mempermasalahkannya. Calvin berbaik hati menawarkan untuk menjemputku dan pergi sekolah bersama. Mengingat udara dingin yang berkeliaran di atas langit London membuatku menolak tawaran Calvin. Ya, dia akan aman berada di dalam mobil dan menyalakan pemanasnya dari pada membiarkanku menunggu bus dan berlama-lama di halte. Tapi ada satu tarikan hatiku untuk membiarkan diriku menyendiri. Entah mengapa, aku merasa ingin menyendiri dan malas berkomunikasi dengan orang-orang pagi ini.

Aku berjalan tenang dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku mantel. Setiap langkahanku, aku mengucapkan pada diri sendiri 'semuanya akan baik-baik saja' bayangan kejadian semalam terus menggodaku untuk kembali mengingatnya secara detil. Bagaimana aku memanjati gerbang itu, meloncatinya dan berguling di tanah, berlarian di koridor sekolah malam-malam serta membuka lemari kaca itu dan mengambil map yang diperintahkan Adam. Semuanya terjadi bagaikan mimpi. Sungguh rasanya telapak kaki yang meninggalkan jejak di lantai sekolah kemarin hanyalah bunga tidur semata.

Kaki dan badanku terasa pegal-pegal saat paginya, cukup membuktikan bahwa semalam bukanlah mimpi. Dan sekarang, aku bertanya-tanya di dalam hati. Apakah Liam dan Louis akan mencari siapa orang yang mengerjainya? Lagi, aku bahkan malas mengangkat ujung bibirku untuk tersenyum.

Bus itu terlihat dekat ketika aku telah sampai di halte. Tak perlu berlama-lama menunggu, aku berdiri menantinya. Saat bus itu sudah dekat, kulangkahkan kakiku masuk. Hanya ada enam orang yang duduk acak di sana. Lalu aku memilih bangku paling belakang dekat dengan jendela. Dengan begitu, aku dapat memandangi keadaan luar yang sama sepinya dengan bus ini. Aku menopang wajahku ditangan kiri yang bersandar d ijendela. Berkali-kali aku menghembuskan nafas dari mulut. Akhirnya aku memilih memasang headset dan mendengarkan musik sambil menutup mata.

Seusai turun dari bus, keadaan di luar sangat gelap. Awan mendung itu menutupi semua cela awan yang kulihat saat di depan apartemen. Dengan malas, aku berjalan menuju gerbang. Aku berhenti sejenak dan menatap gerbang itu cukup lama. Semalam, aku memanjatinya dan meloncat dari atasnya. Kataku pada diri sendiri. Dengan senyuman bangga aku menyunggingkannya cukup lebar.

Dan ternyata, cuaca mendung itu sama mendungnya dengan hatiku. Seakan alam ikut merasakan kepedihan yang kurasakan. Alam pun tahu apa yang sebenarnya terjadi. Alam menjadi saksi bisu atas penghianatan mutlak itu. Saat aku masuk melewati gerbang, rombongan anak perempuan yang tadinya sedang mengobrol kini terdiam menatapku dengan pandangan tak suka. Merasa tatapan itu terus mengikuti setiap langkahanku, akhirnya aku menoleh. Melihat tatapan-tatapan tak suka mereka, sama seperti tatapan saat pertama aku masuk kelas 3-5. Hanya saja, mereka tak pernah menatapku sinis. Hanya anak kelas 3-5 yang menatapku seperti itu dan bahkan mereka tak menatapku sinis lagi sekarang. Ada yang aneh di sini. Ya, sesuatu telah terjadi. Dalam hati aku bertanya-tanya, apakah kami ketahuan? Apakah seseorang mengetahui semalam kami menyusup ke dalam sekolah? Apakah Liam dan Louis tahu bila kami mengganti nilai-nilai mereka?

The Secret Between You And LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang