BAB 43. Changed

556 35 1
                                    

"Jadi, apa kau baik-baik saja?"

"Iya, Calvin. Aku baik-baik saja, maaf sudah membuatmu agak cemas."

"Tak masalah, tapi mengapa kau terdengar lesu? apa kau sakit? Aku akan ke sana sekarang, membawakanmu makan siang,"

Celaka! batinku agak panik. Suaraku terdengar seperti itu karena aku sengaja merendahkan nada suaraku supaya Adam tidak mendengar bila aku sedang mengangkat telepon. Dengan cepat aku menolaknya.

"Tidak! Maksudku, aku sekarang sedang berada di restoran dengan Josh, jadi aku sudah makan. Ngomong-ngomong, hey kau cerewet seperti ibu-ibu!" aku tertawa dibuat-buat karena mengalihkan pertanyaannya yang bertubi-tubi menyerbuku saat mulai mengangkat telepon. Tapi beberapa detik kemudian, Calvin tidak menjawab apa-apa, ia juga tidak tertawa. tawaanku memelan dan akhirnya berakhir. Aku yakin bila sekarang Calvin berada di depanku, ia pasti sedang menatapku dengan wajah datar. Terjadi keheningan yang cukup lama sebelum akhirnya sebuah suara muncul memanggil namaku.

"Celaka!" aku kembali membatin. Tidak, itu bukanlah suara Calvin melainkan suara Adam! Astaga, bagaimana bila aku ketahuan membohongi Calvin selama ini? Rasa panikku menyerbu ketika terdengar suara ketukan pintu di kamarku. Dengan cepat aku mematikan sambungan telepon dan menaruh handphone di atas nakas, pura-pura merapikan bagian seprai kasur hingga Adam membuka sedikit pintu yang memunculkan kepalanya.

"Apa kau berbicara pada seseorang?" tanyanya dengan wajah polos. Dia terlihat lebih tampan bila seperti itu. Seketika kepanikanku tergantikan menjadi kegugupan ketika mata elang Adam merasa mengamatiku dengan intens.

"Apa kau... menyimpan lelaki lain?"

LELAKI LAIN? GILA!

Alisku bertautan dan mulutku dibuka ketika hendak mengatakan sesuatu, namun Adam justru lebih dulu memotong sambil tertawa.

"Aku bercanda." ujarnya, kembali menutup pintu kamarku lalu aku tak tahu apa yang terjadi dengannya di luar, yang kutahu, dia masih menertawakanku-tak berhenti.

Suara tawannya terdengar bagaikan nyanyian dewa, tak pernah bosan untuk didengar dan menyenangkan. Seketika aku tertunduk sambil tersenyum, pipiku memanas. Saat itu senyumanku melebar layaknya ABG tolol yang sedang jatuh cinta.

***

Hari-hari berlalu dengan cepat, bagaikan sebuah roda yang tak berhenti berputar, memasuki awalan bulan November, aku dan Adam lebih sering menghabiskan waktu di rooftop apartemen saat malam hari. Dengan segelas cup kopi yang masing-masing saling kami genggam, kadangkala kami pulang hingga pukul satu pagi. Dan ketika di sekolah, kami akan kembali bertemu hingga malam hari kembali ke rooftop dan pulang saat jam satu pagi. Setiap hari obrolan kami terasa semakin menarik. Terkadang kami membicarakan hal-hal kecil yang terdengar sangat sepele. Tapi Adam menanggapinya dengan sangat luwes sehingga kami tak pernah kehabisan topik untuk dibicarakan. Semakin hari hubungan kami semakin dekat, hal itu yang membuat Adam menjadi orang diurutan pertama yang selalu berjumpa denganku. Hal ini menimbulkan kecurigaan dari Calvin. Tak jarang ia memancingku untuk membicarakan apa yang sedang aku rahasiakan. Tapi aku hanya mengatakan bahwa ia sedang mengigau dan aku tidak memiliki rahasia apapun. Bukan salahnya bila ia mencurigaiku, sebelumnya, aku juga merasa begitu bersalah pada Calvin karena kedekatanku dengan Adam membuat jarak pada hubunganku dengan Calvin. Yang biasanya kami bermain, saling mengunjungi, dan mengerjakan tugas bersama, hal itu tak pernah lagi kami lakukan. Barangkali karena itu pula Calvin mencari teman baru. Tidak, bukan teman baru, tapi teman lama yang dulunya tidak terlalu dekat kini menjadi sangat akrab yaitu, Christian, Bradley, dan Austin. Calvin masih berteman denganku. Ia tidak pernah mengabaikanku dan selalu menyambutku hangat ketika aku bergabung di mejanya saat makan siang. Dan aku mulai bisa beradaptasi dengan perubahan-perubahan di antara hubunganku dengan Calvin. Kami tak lagi makan berdua, melainkan selalu bergabung dengan Christian, Bradley, dan Austin. Lebih tepatnya aku yang bergabung bersama mereka karena Calvin selalu berada di kelompok mereka sekarang. Ketika di kelas, aku juga merasa sering terabaikan karena Bradley dan Christian selalu memindahkan bangkunya kemeja Calvin dan Austin, mereka mengobrol sepanjang waktu bila tak ada guru yang masuk. Meskipun mereka selalu bersikap ramah dengan menyuruhku membalikkan bangku dan bergabung dengan percakapan yang mengasyikkan itu, tapi aku selalu menolaknya. Perrie yang melihat itu hanya menertawakan seolah-olah dia tahu penderitaanku yang terabaikan. Biasanya, Calvin selalu memprioritaskanku dari apapun, namun kini ia tak lagi menunjukkan sikap itu. Calvin masih tak menganggap ada sesuatu di antara kami, dia baik, dan sesekali perhatian, tak seintens dulu, tapi dari perubahan yang menurutku bukan Calvin, aku tahu bahwa kami memiliki hubungan yang agak renggang. Dan hal itu membuatku agak menjauh, sedih karena aku merasa kehilangan sosok sahabat yang kuanggap satu-satunya keluargaku di London. Tak lama Adam mengirimiku pesan. Ternyata sedari tadi, ia mengamatiku dan teman-temanku, Adam mencoba menghiburku dengan cara mengirimi lelucon tentang 'gigi ompong Mr.Brown' (aku pernah mengatakan padanya bila hal yang paling lucu adalah gigi ompongnya) dan aku berhasil menarik sedikit bibirku agar tersenyum. Beberapa lama kemudian Adam kembali mengirim pesan menyuruhku untuk segera menemuinya di rooftop sekolah. Lalu Adam berdiri dari bangkunya, ia membuat bunyi yang tak terlalu keras ketika memundurkan bangku dari kakinya, namun aku bisa mendengar suara itu. Adam membuka pintu dan hilang dibaliknya. Beberapa detik kemudian, aku kembali menerima pesan dari Adam. Ia mengatakan bahwa aku bisa keluar kelas sekarang. Aku pun menurut. Berdiri, aku menggeser sedikit bangkuku ke belakang agar bisa melangkah. Ketika itu, aku dapat melihat Calvin yang tengah mengamati dari buntut mataku. Aku sengaja memperlambat waktuku dengan cara merapikan buku-buku yang berada di atas meja, berharap agar Calvin memanggilku atau setidaknya menunjukkan kepeduliannya. Sampai akhirnya aku menunggu detik-detik itu datang namun Calvin tak kunjung melakukan banyak hal selain terus mengamatiku layaknya patung liberty sedang mengamati orang-orang yang berjalan didepannya. Aku menyerah, tak ingin membuat banyak harapan karena akan membuatku semakin merasa kecewa. Akhirnya dengan langkah lunglai aku keluar dari kelas. Adam ternyata menungguku diluar, ia tersenyum, dengan gaya khasnya-memasukkan kedua tangannya disaku celana- menghampiriku yang berdiri di depan pintu kelas. Adam meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Seketika perasaan nyaman itu kembali hadir, aku menarik nafas panjang. Adam yang terus mengamatiku itu ternyata masih menampakkan senyuman manisnya. Kedua hal itu membuatku mampu melunturkan kesedihanku. Adam berjalan, membuatku mau tak mau mengikuti langkahan kakinya yang kuketahui kemana tempat yang akan kami tuju.

Aku dan Adam melewatkan pelajaran hingga pulang sekolah. Kami hanya berada di rooftop dan membicarakan banyak hal. Adam menghiburku ketika ia melihatku kembali diam. Menurutnya itu sangat aneh, ketika seseorang yang dianggapnya banyak oceh tiba-tiba menjadi bisu. Adam menenangkanku dan menjamin bila hubungan kami akan segera membaik. Anehnya aku mempercayai itu. Dengan diselingi beberapa kali candaan, Adam berusaha untuk membuatku yakin bila semuanya akan baik-baik saja.

"Dia hanya sedikit kecewa padamu dan itu tidak berarti banyak. Semuanya akan baik-baik saja, percayalah," kalimat terakhir Adam di rooftop membuatku begitu yakin. Ia menatapku penuh ketenangan seolah-olah ia adalah cenayang Profesional. Melihat lagaknya yang begitu meyakinkan, di hari itu, aku benar-benar mempercayai perkataan Adam seperti aku mempercayai diriku sendiri. Didalam hati aku terus berkata dan meyakinkan diriku bahwa "semuanya akan baik-baik saja"

The Secret Between You And LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang