Pagi itu saat aku tiba di sekolah, orang-orang melirikku dengan tatapan kagum. Tak jarang orang-orang asing tersenyum ramah padaku, aku hanya membalasnya dengan sopan. padahal, waktu itu mereka membullyku karena fitnah itu. Pasti rumor beasiswa itu telah menyebar. Tak ingin berlama-lama terus di pandang, aku mempercepat langkahanku. Namun saat aku masuk ke gedung sekolah, di sana sambutan sebenarnya terjadi. Seorang laki-laki, entah siapa. Meniup terompet mini plastik berwarna kuning saat aku melewati segerombolan mereka. Tidak, itu terlalu berlebihan. Aku bahkan tidak mengenal mereka. Tapi aku hanya tersenyum sopan sambil berlalu. Pujian serta kekaguman di lempar seiring langkah kakiku.
"Hei, bung! Selamat atas keberhasilanmu!"
"Ya, kau bisa mengharumkan nama kelasmu sekarang. Kau hebat!"
"Tak ada yang bisa menyaingimu, bahkan anak kelas 3-1, semoga sukses!"
"Kau hebat! Padahal kau anak baru."
"Kau sangat pintar. Sekolah ini beruntung memilikimu."
Aku melempar senyuman lebar kepada semuanya sembari mengucapkan terima kasih. Tapi hal itu tak membuatku berlama-lama di sana. Aku tak suka di kerumuni. Maka dengan sopan aku berpamit kepada mereka untuk kembali berjalan menuju kelasku.
"Liam dan Louis pasti tidak bisa mengalahkannya, dia hebat!" di ujung koridor kulihat dua perempuan sedang berbincang-bincang. Aku pura-pura tidak mendengar dan terus melangkah.
"Huh, siapa yang peduli. Lagipula kedua lelaki itu brengsek. Aku bersyukur dia tidak bisa mengalahkan anak baru itu," jawab lawan bicaranya sambil memutar bola mata. Wanita itu berdiri sambil menyender pada dinding dengan kedua tangan yang di lipat di dada.
"Tentu mereka tidak bisa, mereka kan sudah di keluarkan," jawab wanita pertama yang memulai pembicaraan. Aku menyelipkan rambutku di telinga. Apa aku tidak salah dengar? Mengapa Liam dan louis bisa di keluarkan? Rambut blonde panjang tergerai hingga menutupi wajah wanita itu. Aku tak dapat melihat wajah mereka, tapi aku terus melirik sesekali sambil mencuri obrolannya.
"Dan ucapanku waktu itu benar, bukan?" lawan bicara itu tersenyum menang. Sementara temannya mengerutkan kening dan berusaha mengingat.
"Tentang siapa yang brengsek sesungguhnya. Liam dan Louis atau Adam," ucap temannya sebal. Seketika aku menoleh. Apa yang mereka bicarakan? sungguh aku ingin tahu pembicaraan mereka. Tapi mendengar namanya, membuatku tak ingin bertanya mengenai topik tentangnya.
"Ugh, kau benar. Ternyata Liam dan Louis-lah," ucap temannya pasrah seolah kalah taruhan.
Dengan rasa penasaran yang membuncah, akhirnya aku berhenti tepat di depan kedua wanita itu. Keduanya tampak kaget melihat kehadiranku dengan bayangan gelap di tengahnya. Aku tersenyum, membuat kedua wanita itu balas tersenyum canggung. Mungkin karena topik pembicaraan awal mereka telah berdiri di sini dan bergabung dengan mereka.
"Maaf, aku tak tahu sudah berapa lama kalian membicarakanku, tapi aku hanya mendengarnya sedikit. Ehm.. Bila kalian tak keberatan, boleh aku bertanya sesuatu?"
Kedua wanita itu tampak malu. Pertama: aku menyadari bahwa mereka sedang membicarakanku. Kedua: situasi saat ini tampak canggung. Ketiga: mereka ragu untuk memperbolehkanku bertanya karena kemungkinan, hal ini menyangkut pembicaraannya tentangku.
Aku tersenyum kepada keduanya, berharap bila mereka tidak perlu sesungkan itu. Wanita itu saling lirik, seakan berkomunikasi lewat tatapan mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Secret Between You And Love
Novela JuvenilCarley Sophia Tompson adalah seorang siswa pindahan dari prancis yang masuk ke sekolah baru di London. tak ada satu pun sambutan baik dari para penghuni kelas tersebut dari anak lelaki maupun perempuan. tapi ada satu pria culun bernama Calvin yang m...