Part 6

6.1K 546 168
                                    

Vote sebelum baca 🌟

Menjadi seorang mahasiswa ternyata sangatlah melelahkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menjadi seorang mahasiswa ternyata sangatlah melelahkan. Lebih melelahkan dibanding menjadi pelajar SMA.

Entah kenapa bisa begitu. Seharusnya SMA lah yang melelahkan mengingat jadwal sangat full dari jam 07.00 pagi hingga 16.30 sore.

Sementara perkuliahan hanya terdiri dari 2-3 mata kuliah dalam sehari.

Begitulah yang dirasakan Alana selama terjun langsung ke dunia perkuliahan.

Ternyata kuliah tidak sesantai yang dibayangkan. Ditambah lagi circle pertemanan di dalam perkuliahan cukup toxic.

Alana merasa mulai terjun ke dunia orang dewasa sesungguhnya. Mengedepankan individualisme dan egoisme. Sanggupkah Alana bertahan?

"Na, gue duluan ya. Sopir gue udah datang." Bulan menepuk pundak Alana yang termenung menatap rintikan hujan.

"Oke. Hati-hati di jalan."

"Gapapa 'kan gue tinggal sendiri?"

"Gapapa lah. Masih banyak kok orang di kampus." Meski jam sudah menunjukkan pukul lima sore, keadaan di sekitar kampus masih ramai. Ada yang terjebak hujan dan ada pula yang sekedar bersantai bersama teman-teman.

"Ya udah. Gue duluan. Bye bye!"

"Byeee!!"

Alana menggoyangkan kedua kakinya. Menanti kedatangan ojol dengan sabar.

Dua puluh menit berlalu, tapi ojol belum kunjung terlihat.

Sedikit kesal tapi gapapa. Alana bisa bersabar mengingat situasi dan kondisi. Barangkali driver sangat berhati-hati dalam menyetir.

Merasakan kehadiran seseorang, Alana pun melirik sekilas. Lalu, mengalihkan pandangan lagi ketika melihat sesosok lelaki berhoodie abu-abu lah yang duduk di sampingnya.

"Wah, gak bener nih. Masa orderan gue di cancel gitu aja." Gerutu Alana melihat notifikasi aplikasi.

Alana mengacak rambut gusar. Kemudian, menelpon sang ayah. Selang beberapa detik, telepon pun tersambung. "Halo, pa. Papa dimana?"

"Di kantor. Kenapa, Na?"

"Pengen minta jemput sama papa tapi gak jadi."

"Maaf, Na. Minta jemput aja sama mama. Kerjaan papa masih banyak banget nih."

"Iya, pa. Semangat bekerjanya, papa."

"Iya, sayang. Makasih. Nanti mau papa beliin makanan gak?"

"Gak usah, pa. Nanti Lana beli sama mama aja."

"Okay."

Sambungan telepon terputus. Alana beralih menelpon sang ibu.

"Halo, Lana? Kenapa nelpon mama?"

"Mama dimana?"

"Di jalan. Mama habis belanja di mall. Lana mau minta dijemput ya?"

Tebakan ibunya tepat sasaran hingga Alana tertawa kecil. "Tau aja sih, ma."

"Haha. Tau dong. Tunggu mama di tempat biasa ya. Sekarang mama otw ke sana."

"Thanks, ma. Hati-hati nyetirnya. Gapapa pelan asalkan selamat selamat sampai tujuan."

"Iya, putri cantik Mama. Mama pelan-pelan kok bawa mobilnya."

"Hehe, love you, ma."

Alana tersenyum sumringah sebelum beranjak dari kursi. Pindah ke tempat biasa menunggu jemputan. Ia mengernyit kala menyadari lelaki berhoodie abu-abu mengikuti pergerakannya.

Mata Alana memicing curiga. 'Mungkinkah stalker?' Pikirnya.

Tapi, pikiran itu terpaksa lenyap kala lelaki tersebut melewatinya begitu saja sambil sibuk bermain ponsel.

Alana meringis. Merasa bersalah telah sembarang menuduh. Mentang-mentang kebetulan duduk di tempat yang sama dan kompak bangkit dari tempat duduk, dia malah mencap seseorang sebagai stalker. Untung saja Alana belum memarahi orang itu. Kalau terlanjur marah, mau ditaruh dimana wajah cantik Alana?!

"Huh! Sejak stalker muncul, gue jadi nethink terus."

****

Hujan mulai berhenti. Digantikan oleh langit malam bertaburan bintang-bintang. Seakan tak pernah turun hujan sebelumnya.

Di bawah langit nan indah itu, Alana berkeliling kota Jakarta dengan motor matic kesayangannya. Alana takut sendirian di rumah karena kedua orangtuanya menghadiri pesta. Lebih tepatnya, takut stalker menerobos masuk ke dalam rumahnya.

Maka dari itu, ia memutuskan jalan-jalan di tempat ramai sambil menikmati kuliner malam.

Berbagai makanan telah dicoba hingga perutnya terasa penuh. Berbagai kerajinan tangan nan lucu juga dibeli. Healing sendirian tidak menjadi penghambat baginya dalam menikmati moment tersebut.

Alana berhenti di salah satu bangku taman. Duduk sendirian di saat orang lain duduk berdua. Memejamkan mata, menikmati udara sejuk khas sesudah hujan.

Saat membuka mata, Alana dibuat terkejut oleh kehadiran seorang badut di hadapannya. Jantung Alana seakan copot saat itu juga. "Ngagetin aja ih!"

Badut itu menyodorkan setangkai bunga mawar segar tanpa kata.

Meski masih terkejut, Alana tetap menerima bunga tersebut. Ia merogoh tas mininya, kemudian memberikan uang pecahan 50k sebagai balasan.

Badut itu berlalu pergi tanpa mengambil uang pemberian Alana. "Ada ya badut gak suka uang? Aneh bin ajaib." Herannya.

Alana menatap bunga mawar merah di tangannya. "Jangan-jangan ini barang pesugihan model terbaru? Hihh!!" Refleks melemparkan bunga ke sembarang arah. Membaca komik horor membuat otaknya berpikir di luar nalar.

Sementara di sisi lain, pria berambut pirang mengepalkan tangan kesal melihat bunga pemberiannya terbuang sia-sia dan diinjak-injak orang lain.

Alana sangat ahli membuatnya melayang tinggi, lalu menjatuhkan sedalam mungkin.

Kenapa Alana begitu sulit digapai di dunia nyata. Alana tidak memberikan kesempatan untuk menyusup masuk. Saat telah memberanikan diri berbicara di kampus dengan Alana, gadis itu malah pergi begitu saja.

"Bodohnya, gue tetap suka sama Lo meskipun sadar bahwa menggapai Lo sangat sulit, kitten."

Bersambung...

22/06/2024

firza532

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang