Vote sebelum baca 🌟
Semilir angin berhembus pelan. Memberikan kesegaran alami di tengah panasnya cuaca. Memainkan dress merah mudanya dengan nakal.
Jemari Alana memegangi ujung dress agar tak tersingkap oleh angin. Walaupun memakai hotpants, tetap saja malu jika roknya terangkat ke atas. Mau ditaruh dimana muka cantiknya?!
Alana mengomel kesal di dalam hati. Menyesali pilihannya memakai dress. Seharusnya memakai celana saja supaya tidak ribet. Kekesalan yang berakhir percuma lantaran sudah terjadi.
Langkah kakinya terus menyusuri jalanan. Tempat demi tempat dilewatinya. Terus melangkah tanpa lelah guna mengusir kadar overthinking.
Berdiam diri di dalam rumah sungguh membuat Alana frustasi akibat membayangkan reaksi Matthew. Maka dari itu, ia memutuskan refreshing sejenak sebelum memulai aksi di malam hari.
Alana menghela napas panjang. Layaknya memiliki beban hidup yang sangat berat. Overthinking benar-benar melelahkan.
Kaki Alana berhenti melangkah ketika melihat sosok yang sangat dikenalinya. Duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Gadis berambut panjang itu duduk di salah satu bangku. Matanya menyipit. Menajamkan penglihatannya.
"Bulan?" gumam Alana. Meski satu semester telah berlalu, Bulan masih terlihat cantik dan body goals seperti dulu. Mana mungkin Alana tidak mengenalinya.
Bulan sibuk berkutat dengan laptop. Terlihat gurat lelah di wajah cantiknya. Sesekali menyesap kopi. Pandangannya tak luput dari laptop.
Entah kenapa, kaki Alana melangkah begitu saja mendekati sosok Bulan. Kerinduan mendadak menggelayutinya. Merindukan sosok yang tidak pernah dilihatnya selama lima bulan.
Bulan pernah mengecewakannya, akan tetapi Alana tak bisa membenci Bulan. Sisi baik Bulan lebih banyak daripada sisi buruk Bulan. Karena itulah, ia tak pernah bisa membenci Bulan.
Mulutnya memang berkata mereka tidak bisa kembali seperti dulu. Namun, jauh dalam lubuk hati terdalamnya, Alana ingin mereka kembali seperti dulu.
Mungkin Alana terdengar bodoh dan naif, tapi begitulah adanya. Baginya, Bulan adalah sosok teman yang baik, asal mengecualikan masalah pria. Bulan terlalu bodoh jika menyangkut masalah lelaki. Otak Bulan seakan disetting bodoh jika menyangkut masalah satu itu.
"Bulan..."
Sosok yang dipanggil mendongak. Melongo syok melihat Alana berdiri tepat di hadapannya. Wajah lelahnya seketika berganti wajah ceria. Refleks meletakkan laptop di sampingnya dan memeluk Alana erat. "Alanaaa!!! Gue kangen banget sama Lo. Kok Lo bisa ada di sini? Lagi liburan ya?"
"Lepasin dulu, Lan. Gue sesak napas." Keluh Alana seraya menepuk pelan punggung Bulan. Pelukan Bulan terlalu erat. Membuktikan betapa senangnya Bulan melihat dia.
Bulan melepaskan pelukannya. Menatap Alana penuh sesal. "Maaf. Gue gak maksud buat Lo sesak napas. Habisnya gue gue terlalu senang sih melihat Lo di sini," ungkapnya dan kembali duduk dengan tenang di kursi.
Alana turut duduk di kursi samping Bulan. "Gue juga senang lihat Lo, Lan. Udah lama banget kita gak ketemu."
Bulan menatap Alana polos. "Lo gak marah lagi sama gue?" Bertanya hati-hati seolah takut menyinggung perasaan Alana.
"Gue gak pernah marah, Lan. Gue cuma kecewa, tapi waktu sudah menghilangkan kekecewaan gue."
Bulan tersenyum pahit. Kian menyesali perbuatannya. Ia sudah terlalu sering membuat kesalahan, tapi Alana masih saja mau menerimanya.
"Selama berada di sini, gue banyak berpikir. Gue memikirkan ulang semua perbuatan gue ke Lo. Mulai dari awal pertemuan sampai perpisahan kita. Dan, gue sadar kalau gue jahat banget. Gue egois banget. Kebodohan gue sering menyakiti Lo. Gue sering membuat Lo terluka. Gue gak tahu harus bagaimana karena tahu jelas bahwa permintaan maaf aja gak cukup." Sesalnya. Menyesali semua tindakan kekanakannya di masa lalu. Menyesali perbuatan buruknya terhadap Alana.
Alana menggenggam tangan Bulan. Membuat Bulan menatapnya.
Senyuman tulus tersungging di bibir Alana. Senyuman yang menenangkan Bulan.
"Gue udah maafin Lo, Bulan. Dalam beberapa bulan belakangan ini, gue juga banyak berpikir. Gue gak mau hubungan pertemanan kita kandas gitu aja. Bukankah terlalu sayang membuang kenangan manis hanya karena sedikit kesalahan?"
"Sumpah, Na. Lo baik banget. Masih mau maafin kesalahan fatal gue. Ntah setan apa yang merasuki gue saat itu sampai tega merebut pacar Lo dan nuduh-nuduh Lo," ujar Bulan penuh penyesalan.
"Udahlah, lupain aja. Toh gue pacaran sama dia karena pengen coba-coba aja. Lo kan tau gue pecinta cogan garis keras." Cengir Alana berusaha mencairkan suasana.
"Makasih, Na. Makasih udah maafin kebodohan gue. Di masa depan, gue gak akan ngulangin lagi. Kalau gue melakukan kesalahan yang sama, getok aja kepala gue biar cepat sadar."
"Oke. Ntar jangan protes."
"Gak akan!"
Keduanya saling bertatapan, lalu tertawa geli. Semua masalah yang mereka lalui selama ini seakan hilang tersapu angin. Bertekad membuka lembaran baru tanpa menyakiti lagi.
Wajah ceria mereka tidak luput dari pengawasan Matthew. Keningnya mengernyit tak suka melihat kedekatan mereka. Tindakan kasar Bulan di masa lalu membuatnya sangat membenci gadis itu.
Aneh bukan?
Alana yang ditampar, tetapi malah dia yang mendendam hingga sekarang.
Ia sungguh tak Sudi melihat Alana kembali berteman dengan Bulan setelah apa yang dilakukan perempuan menyebalkan itu.
Terlebih lagi, Bulan pernah membuang pemberiannya untuk Alana seperti seonggok sampah. Sangat menjengkelkan!
Bersambung...
6/9/24
Tembus 100 komen, ku kasih triple up😚😚
KAMU SEDANG MEMBACA
STALKER
Teen FictionKehidupan tenang Alana perlahan terganggu oleh kehadiran seorang stalker. Membayangi kehidupannya siang dan malam. Menjajah mimpi-mimpinya. Menanamkan keresahan di setiap langkahnya. Siapakah pria yang menjadi stalkernya? Apa alasan pria itu mengang...