Mon maap baru bisa update, soalnya jaringanku mendadak hilang gesss🙂
Vote sebelum baca 🌟
Decakan kagum tak henti-hentinya keluar dari mulut Alana melihat rumah Tante Fitri. Minimalis tapi elegan. Semuanya tertata rapi. Mulai dari bagian luar rumah hingga bagian dalam rumah.
Halaman rumah Tante Fitri begitu asri dan indah. Dipenuhi berbagai macam bunga dan buah-buahan.
Strawberry dan raspberry berjejer rapi di dekat pagar.
Pohon apel, persik, lemon, jeruk, dan mangga ditanam di setiap sudut rumah.
Mata Alana terasa dimanjakan. Menggugah seleranya. Membuatnya ingin segera memetik buah-buahan tersebut.
Itu baru bagian luar rumah, di bagian dalam rumah ternyata tak kalah indah. Gaya klasik dipadukan gaya modern memberikan daya tarik tersendiri. Setiap perabotan ditata rapi sehingga bagian dalam rumah terlihat sangat luas.
Setiap kali melangkah, selalu disambut berbagai hal baru. Di antara semua itu, Alana lebih tertarik melihat lukisan-lukisan di dinding. "Bagus-bagus banget lukisannya. Om beli dimana?" tanya Alana penasaran.
"Om buat sendiri, Na."
Alana berhenti melangkah. Iris hazelnya menyiratkan keterkejutan sekaligus kekaguman mendalam. "Buat sendiri om?"
"Iya."
"Ya ampun, om. Jago banget melukisnya. Kok bisa sejago ini sih, om?"
"Namanya juga seniman ternama, Na. Wajar aja lukisannya bagus." Celetuk seseorang dari arah sofa.
Alana tersenyum melihat Tante Fitri sedang bersantai sambil menonton televisi. Lantas berlari kecil. Menghampiri Tante Fitri dan memeluk wanita itu manja. "Kangennn..."
Tante Fitri tertawa kecil melihat tingkah keponakan satu-satunya. Keponakan yang dijaganya sejak kecil. Keponakan yang sudah dianggapnya bak anak sendiri. "Tante juga kangen sama kamu."
"Boong. Pasti Tante udah lupain aku, 'kan? Tante udah jarang menghubungi aku sejak pindah ke sini."
Tingkah merajuk Alana membuat Tante Fitri tersenyum geli. "Sorry. Tante sibuk banget. Banyak hal yang harus Tante urus."
Alana melepaskan pelukannya dan duduk di sisi Tante Fitri. "Sesibuk apapun Tante, jangan sampai mengabaikan kesehatan sendiri. Tadi aku dengar Tante demam, sekarang gimana? Udah mendingan?"
"Udah, Na. Tante udah mendingan setelah minum obat."
"Beneran, tan?"
"Iya."
Alana mengecek sendiri kening tantenya dengan punggung tangan. "Kening Tante masih panas. Istirahat gih, tan."
"Duh, capek Tante rebahan terus, Na. Lagian Tante udah mendingan kok. "
"Ya udah deh." Pasrah Alana atas sifat keras kepala Tantenya.
"Minum dulu, Na." David duduk di sofa sebrang mereka setelah mengambilkan Alana minuman.
"Kebetulan aku udah haus. Makasih, om." Mengambil minuman tanpa sungkan dan menghabiskannya dalam sekali teguk.
"Mengenai ucapan Tante tadi, om hebat banget bisa menjadi seniman ternama." Puji Alana. "Sejak kapan om mulai melukis?"
"Dari kecil om udah mulai melukis, Na. Mungkin sejak umur lima tahun kali ya," sahut David.
"Pantesan bisa seahli sekarang."
"Om kamu emang ahli banget. Apapun karyanya, pasti selalu bagus. Bahkan lukisan abstrak sekalipun selalu terlihat bagus," Timpal Tante Fitri. Kagum dengan keahlian suaminya sendiri.
"Lain kali buatin lukisan wajah aku dong, om. Buat kenang-kenangan pas pulang nanti. Biar aku bisa pamerin ke mama papa."
David mengulum senyum melihat betapa bersemangatnya Alana. "Okey. Nanti om buatin. Kapan kamu pulang?"
"Pertengahan Februari lah, om."
"Lumayan lama ya liburannya." Celetuk Tante Fitri.
"Iya, tan. Hampir sebulan lah."
Tante Fitri mengelus puncak kepala Alana lembut. "Baguslah kalau gitu. Tante kangen main sama kamu lagi."
"Hilih, ngomongnya aja kangen, nyatanya malah lupa." Ambek Alana hingga Tante Fitri tertawa.
"Btw, kamu pasti capek. Istirahat dulu, Na," ujar Tante Fitri mengalihkan pembicaraan.
Alana yang pada dasarnya lelah, sontak mengiyakan.
"Biar om anterin ke kamar kamu."
"Makasih, om."
David menggeret koper Alana sedangkan Alana mengikuti dari samping. Mereka menaiki tangga satu persatu.
David tidak terlihat kesulitan sedikitpun walau membawa koper besar di tangga.
Alana tersenyum sumringah kala sampai di kamar barunya. Kamarnya terletak di lantai dua, dekat tangga. Kamar tersebut cukup luas. Warna putih mendominasi seisi kamar. Mulai dari warna dinding, atap, kasur, lemari, meja belajar, hingga gorden.
Setelah David pergi, Alana membuka hoodienya. Menyisakan tanktop berwarna hitam. Kemudian, menghempaskan tubuhnya ke kasur.
Alangkah leganya Alana kala punggungnya bertemu kasur nan empuk. Rasa lelahnya seolah menguap seketika. Menyisakan kenyamanan. Hawa sejuk di dalam kamar kian membuatnya merasa nyaman.
Alana mengedarkan pandangannya ke seisi kamar. Tak jauh berbeda dengan di lantai bawah, kamar yang ditempati Alana juga dipenuhi lukisan. Namun, dengan kesan berbeda. Jika lukisan di luar terkesan ceria, maka lukisan di dalam kamar terkesan misterius.
Di antara puluhan lukisan, mata Alana terhenti di sebuah gambar berbingkai kuning. Gambar paling berwarna di antara lukisan lainnya.
Seolah memiliki magnet, Alana tertarik mendekati objek pencuri perhatiannya. Berdiri cukup lama di sana. Mengamati dalam diam.
"Lah, bukannya ini gambar aku dan anak-anak panti? Kok bisa ada di sini?"
Bersambung...
26/8/24
KAMU SEDANG MEMBACA
STALKER
Teen FictionKehidupan tenang Alana perlahan terganggu oleh kehadiran seorang stalker. Membayangi kehidupannya siang dan malam. Menjajah mimpi-mimpinya. Menanamkan keresahan di setiap langkahnya. Siapakah pria yang menjadi stalkernya? Apa alasan pria itu mengang...