Part 35

5K 433 132
                                    

Vote sebelum baca 🌟

Percakapan dan tawa terdengar di setiap sudut cafe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Percakapan dan tawa terdengar di setiap sudut cafe. Semua orang terlihat menikmati malam Minggu bersama orang terkasih. Entah itu bersama kekasih, keluarga, ataupun teman.

Di tengah hiruk-pikuk, dua orang tampak duduk berhadapan. Si perempuan curi-curi pandang ke arah lelaki di hadapannya. Kemudian, tersenyum geli melihat sosok di hadapannya.

"Kenapa sih, Na? Dari tadi gue lihat senyum-senyum terus." Matthew bertanya gemas melihat ekspresi gadis di hadapannya. Sering mencuri pandang ke arahnya sambil tersenyum geli. Entah apa yang membuat gadis itu tersenyum.

"Lucu aja lihat cowok pakai Hoodie warna pink."

Cengiran Alana membuat alis Matthew naik ke atas. "Emang kenapa? Gak cocok sama gue?"

Bukannya tidak cocok, Matthew justru terlihat cocok memakai Hoodie pink. Kulit putih dan rambut pirang Matthew memberikan kesan menarik. Alana bahkan yakin para perempuan di luar sana menatap Matthew dua kali.

Sejujurnya, Matthew termasuk kategori lelaki tampan. Bukan karena bermodalkan putih dan blasteran, tetapi perawakan Matthew benar-benar sempurna. Dengan kulit hitam pun, Matthew pasti tetap terlihat tampan dan sexy.

Matthew bertubuh tinggi kekar. Wajah Matthew tampan sekaligus unik. Hidung mancung, netra abu-abu terang, dan berambut pirang lurus. Bibir tebal yang selalu terlihat manis saat tersenyum ataupun lesung pipi yang selalu terlihat setiap kali tersenyum kian memberikan daya tarik tersendiri.

Perlu diakui, Alana cukup tertarik melihat fisik Matthew. Tampan, manis, dan sexy. Siapa sih yang bisa menolak daya tarik seorang pria tampan?

Belum lagi, sifat Matthew sangat pengertian, perhatian, dan selalu ada untuknya. Matthew selalu bisa membuatnya tersenyum. Matthew selalu membuatnya merasa diperhatikan.

Berkat Matthew, Alana tidak terlalu merasa kehilangan Bulan yang notabenya selalu ada di sisi Alana.  Alana tak lagi merasakan kekosongan berkat kehadiran Matthew.

"Hei! Malah ngelamun! Gue aneh banget ya pakai warna pink sampai Lo gak bisa berkata-kata?" Celetuk Matthew. Membuyarkan lamunan panjang Alana.

"Gak kok. Lo cocok banget pakai warna pink. Kebetulan gue juga bawa hoodie pink loh, takut kedinginan ntar." Alana menunjukkan Hoodie dalam paper bag. "Couple nih kita. Gapapa 'kan ya? Gak ada yang marah 'kan?"

Matthew tertawa kencang. "Gak lah. Siapa juga yang marah. Gue aja jomblo."

"Masa sih cowok kek Lo jomblo?"

Matthew tersenyum manis. "Iya loh. Soalnya gue masih nungguin dia peka."

"Dia siapa?" Alana menyesap lemon tea sekilas, mengaliri tenggorokan yang terasa kering akibat berbicara terus dari tadi. Berlanjut menghabiskan brownies cokelat di hadapannya.

Lantaran tidak mendapat jawaban dari Matthew, kepala Alana pun terangkat. Menatap Matthew heran.

"Lihat tuh, senjanya udah muncul." Bukannya menjawab, Matthew justru mengalihkan pembicaraan.

Alana sebagai pecinta senja garis keras tentu segera mengalihkan pandangan ke langit. Benar saja. Semburat jingga telah muncul di langit. Mewarnai langit sore ini.

Alana sontak berlari kecil ke balkon cafe, mengeluarkan ponselnya. Secara kebetulan, view di balkon menyajikan pemandangan senja tanpa terhalang bangunan apapun. Ia memotret senja sepuasnya. Mengabaikan Matthew yang tersenyum geli menatapnya.

Senyuman lebar terus terpatri di bibir Alana saat memotret langit sore dan kegiatan mengaguminya terhenti kala menyadari Matthew sedang memotretnya.

"Boleh gue jadiin Lo Muse lagi? Kali ini ada lomba tema cinta dan senja." Matthew berjalan menghampiri Alana.

"Ohh, boleh dong. Masa gak boleh?" Alana tersenyum manis hingga matanya menyipit. "Nanti kalau Lo jadi seniman terkenal, jangan lupain gue."

"Gak mungkin. Meskipun gue gak jadi seniman terkenal, gue gak akan pernah lupain Lo," tutur Matthew penuh senyuman.

"Ah ya, kok Lo bisa jago gambar sih?"

"Ibu dan ayah gue seniman. Gue tumbuh dengan melihat mereka menggambar ataupun melukis. Masa kecil gue sering dihabiskan dengan menggambar bersama mereka. Dan, sepertinya karena terbiasa menggambar sejak kecil, gue juga jadi bisa menggambar."

"Lo suka menggambar?"

"Iya."

"Kenapa?"

Matthew tersenyum kecil. Menatap wajah cantik Alana di bawah langit senja. "Karena setiap kali menggambar, gue merasa ibu hadir di sisi gue dan tersenyum bangga melihat hasil gambar gue. Sama seperti waktu kecil."

Matthew tersenyum simpul setelah menceritakan latar belakangnya suka menggambar. Entah kenapa, Alana melihat sedikit kesedihan di mata Matthew saat menceritakan hal tersebut. Dan, sialnya rasa penasaran Alana sangat besar.

"Kalau boleh tahu, ibu Lo kemana?"

"Ibu meninggal karena penyakitnya pas gue kelas 2 SMA."

"Maaf. Gue malah ngungkit luka Lo," kata Alana tercekat.

"Gapapa kok. Udah lama juga."

"Terus ayah Lo kemana?" Sedetik kemudian, Alana menggigit bibir bawahnya gemas. Gemas dengan diri sendiri yang terlalu ceplas ceplos bertanya. Terkadang, rasa penasaran Alana memang tidak bisa terbendung.

"Ayah udah nikah lagi dan pindah ke luar negeri."

Habis sudah! Alana semakin merasa bersalah telah mengorek luka Matthew.

Pelan tapi pasti, Alana memutar tubuhnya menghadap senja. "Duh! Senjanya udah hilang," katanya sok kesal.

"Tenang, Na. Masih ada hari esok." Tawa Matthew melihat wajah sebal Alana.

"Kenapa ya senja datangnya sebentar banget?" Keluh Alana. Berjalan ke tempat duduk dan menyesap minumannya lagi. Salah tingkah akibat tak sengaja mengorek luka masa lalu Matthew sedangkan Matthew mengekori Alana dari belakang. "Padahal gue pengen senja bertahan lama, biar bisa menikmati sepuasnya." Curhatnya.

"Segitu sukanya sama senja ya?" Cetus Matthew.

"Ya iyalah. Senja kan cantik banget. Emang menurut Lo senja gak cantik?"

Matthew bertopang dagu seraya mengaduk kopi hitamnya. "Lo tau, Na. Ada yang lebih cantik daripada senja."

"Hah? Emang ada?" Heran Alana.

"Ada."

"Apa tuh?"

"Kalau mau tahu, lihatlah pantulan bayangan di dalam cermin setiap kali Lo bercermin. Itulah hal yang lebih cantik daripada senja."

Dengan polosnya, Alana menoleh ke samping. Menatap cermin yang kebetulan ada di sampingnya. Matanya menyipit melihat cermin. "Bunga?" tanyanya percaya diri.

"Emang sih. Bunga cantik banget. Baik bunga buatan, maupun bunga asli." timpalnya lagi.

Sementara itu, Matthew tersenyum paksa. Lalu, menyesap kopi hitam pahitnya. Sepahit kenyataan melihat Alana tidak kunjung peka dengan kode-kode yang telah diberikannya selama ini.

Haruskah Matthew semakin ugal-ugalan menunjukkan perasaannya kepada Alana?!

Bersambung...

21 Agustus 2024

Tembus 100 komen, ku kasih double up😋

firza532

STALKERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang