Vote sebelum baca 🌟
Rintikan air hujan turun membasahi bumi yang kering. Menggenangi jalanan kering kerontang. Menimbulkan aroma khas nan menenangkan.
Di bawah guyuran hujan, Alana tampak berjalan riang dengan payung transparan yang melindungi tubuhnya. Senandung pelan keluar dari mulutnya. Senandung yang hilang ditelan hujan.
Di saat orang lain merasa kesal jika hujan turun, Alana malah bahagia. Bahagia bisa mengekspresikan diri. Bahagia bisa bernyanyi bebas tanpa takut terdengar orang lain.
Langkah cerianya itu sontak terhenti kala melihat seorang lelaki berhoodie hitam berteduh di halte, tempat tujuannya. Mata Alana menyipit melihat rambut pirang mencolok lelaki itu. Mulutnya sedikit terbuka menyadari identitas sosok tersebut. "Sean?"
Mata mereka beradu pandang. Dibatasi oleh air hujan yang turun begitu deras. Alana sontak mengalihkan pandangan, berpura-pura tidak melihat, dan segera melarikan diri dari sana. Berbalik arah. Kembali memasuki area kampus.
Lantaran tak berhati-hati, ia malah menabrak seseorang. Alhasil, barang bawaan orang yang ditabrak berhamburan ke tanah dan diguyur hujan.
Alana meringis. Merasa bersalah. "Maaf, gue gak sengaja." Refleks berjongkok, memungut semua buku dengan cekatan. Lalu, menyodorkan buku-buku itu sambil menunjukkan puppy eyes andalannya supaya tidak dimarahi. "Sekali lagi gue minta maaf." Sedikit terkejut melihat Matthew lah orang yang dia tabrak.
"Kok diam aja? Marah ya sama gue? Gue benar-benar minta maaf udah buat buku Lo basah." Pinta Alana memelas.
"Ah ya, gapapa. Santai aja, Na." Matthew tersenyum tulus. Membuat Alana kembali tenang. Untunglah Matthew tidak memarahinya.
"Kenapa lari? Sedang dikejar seseorang apa gimana?" tanya Matthew kemudian.
"Pengen aja. Seru tau lari-larian di bawah hujan." Cengir Alana polos hingga Matthew tertawa geli.
"Karena mengingatkan pada masa kecil ya?"
"Iya."
Matthew mengulurkan tangannya, menampung butiran hujan yang terus berjatuhan. "Hujan memang menyimpan banyak kenangan. Entah itu kenangan manis, ataupun kenangan pahit." Terlukis senyuman pedih di bibirnya kala kalimat itu terucap.
Alana yang tak ingin mengorek luka seseorang berpura-pura tak tahu. "Baru selesai kuliah juga ya, Mat?"
"Sebenarnya udah dari tadi siang. Cuma gue ngerjain tugas dulu di perpus."
"Wow. Anak rajin. Gue sih lebih milih ngerjain tugas di rumah daripada di perpus."
"Lebih enak nugas di perpus, Na. Suasana tenang di sana bisa membuat kita berkonsentrasi. Terlebih lagi, bisa mencari referensi sebanyak mungkin di sana."
Alana manggut-manggut pelan. "Iya sih."
"Lo kok belum pulang, Na?"
"Sedang nunggu jemputan."
"Oh gitu."
Alana merogoh ponsel dalam saku celananya kala merasakan benda pipih itu bergetar. Bibirnya tertekuk ke bawah setelah membaca pesan masuk. "Yah, papa gak jadi jemput," gumamnya.
"Uhm, mau gue anterin? Kebetulan gue bawa mobil hari ini. Jadi, gak akan basah deh Lo."
Alana menggeleng kuat. "Gak usah. Gue gak mau ngerepotin Lo."
"Gak ngerepotin kok. Ayok bareng gue aja. Hujan lebat kayak gini, pasti sulit dapetin driver."
Alana meringis di dalam hati. Takut menerima ajakan Matthew.
Biar bagaimanapun, rambut pirang Matthew membuatnya was-was.
Bagaimana kalau Matthew stalkernya?
Bagaimana kalau Matthew menculiknya?
Oke. Mungkin pikiran Alana sangat berlebihan. Mencurigai semua lelaki berambut pirang menyimpan niat buruk kepadanya. Terlebih Matthew sudah sering menolongnya, tapi ia tetap mencurigai pria tersebut.
Jika bersama Matthew di dekat orang banyak, Alana berani. Akan tetapi, berduaan dengan Matthew di dalam mobil, Alana tidak berani. Lebih tepatnya tak berani mengambil resiko.
Matthew mengacak rambut Alana gemas. "Gue gak berniat buruk ke Lo kok. Gue cuma pengen nganter Lo pulang biar gak kesulitan nunggu sendirian. Kalau Lo gak mau, ya udah. Gak usah pasang wajah takut gitu."
Ucapan pria itu membuat Alana melongo kaget. "Emang wajah gue keliatan takut? Perasaan gue biasa aja deh. Gak takut sedikitpun." Tandasnya tak terima.
"Ekspresi wajah Lo gak bisa bohong, Na. Semua yang Lo pikirkan, tergambar jelas di wajah Lo."
Alana menutup wajah malu. 'mudah banget dong ekspresi gue terbaca?!' batinnya.
"Okey. Gue duluan ya. Byeee!!"
Perasaan malu itu masih terasa meski Matthew sudah berlalu pergi.
Huh! Ini semua salah stalker!
Stalker membuatnya menjadi was-was.
Alana tertunduk lesu, menatap ujung sepatunya yang dibasahi air hujan. "Kalau gini terus, bisa-bisa semua cowok berambut pirang bakal menganggap gue aneh."
Alana menghela napas panjang. Berpasrah diri terhadap keadaan. Ia kian menghela napas panjang ketika melihat pesan masuk dari stalker.
"Arghhh!! Siapa sih nih orang?!" Alana melirik ke sana ke mari, mencari sosok yang telah memotretnya tanpa dia sadari.
Perhatiannya kembali tertuju ke layar ponsel ketika benda itu bergetar lagi. Masih pesan dari stalker. Dibacanya pesan tersebut kata demi kata.
Alana menghentakkan kaki kesal. "Kalau cinta, apa susahnya sih langsung ungkapin?!!" Teriaknya.
Sesaat kemudian, Alana menutup mulut malu menyadari beberapa mahasiswa di sekitar menatapnya heran. Lantas mempercepat langkah kakinya. Meninggalkan area tersebut.
"Andaikan semudah itu mengungkapkannya, kitten," gumam stalker yang sedari tadi masih berada di sekitar sana dan mengawasi setiap pergerakan Alana.
Bersambung...
Tembus 100 komen, baru lanjut💃
30/7/24
By: firza532
KAMU SEDANG MEMBACA
STALKER
Teen FictionKehidupan tenang Alana perlahan terganggu oleh kehadiran seorang stalker. Membayangi kehidupannya siang dan malam. Menjajah mimpi-mimpinya. Menanamkan keresahan di setiap langkahnya. Siapakah pria yang menjadi stalkernya? Apa alasan pria itu mengang...